Terima kasih untuk Mas Anis Fuad dan Mas Ilham Akhsanu Ridlo dua teman baik saya yang selalu kritis, yang membagikan dua berita di bawah ini di Twitter.
—-
Terkait situasi yang menjadi dampak dari Permenpanrb 1/2023 ini, saya (dan seluruh dosen atau ASN di kementerian manapun) jelas tidak pro dengan kebijakan yang berubah tiba-tiba di awal tahun 2023, tanpa ada peringatan apapun sampai akhir tahun 2022. Tapi tolong beritahu saya bila ada semacam sosialisasi di tahun 2022 yang menyampaikan semacam peringatan bahwa akan ada kebijakan seperti ini.
Idealnya regulasi baru diumumkan enam bulan atau setahun sebelum dirilis
Kenapa amar-amar atau peringatan setidaknya enam bulan (idealnya satu tahun) sebelum kebijakan baru dirilis sangat penting, khusus untuk dosen (ASN maupun non ASN)? Setidaknya ada tiga alasan di bawah ini.
- Karena terkait dengan karir, profesi dosen tidak membedakan antara ASN dan non ASN. Kondisi ini pasti berbeda dengan profesi lain. Untuk profesi lainnya, karyawan swasta akan punya jalur karir yang berbeda dengan rekan sejawatnya yang ASN. Jadi kebijakan apapun yang berkaitan dengan dosen, akan mempengaruhi lebih dari 300.000 dosen (menurut Pangkalan Data DIKTI per 12 April 2023, 6.00 am) ASN dan non ASN.
- Karena proses promosi yang memakan waktu lama. Kebijakan yang berkaitan dengan karir dosen akan berhubungan dengan waktu pengurusan jabatan pertama dan/atau kenaikan jabatan yang dapat memakan waktu satu tahun, bahkan lebih. Salah satu penyebabnya adalah prosedur yang bertingkat (Catatan: Mari kita eliminasi dulu penyebab lainnya yang berhubungan dengan publikasi).
- Karena satuan waktu terkecil untuk mencatat kinerja dosen adalah semester (enam bulan). Dosen sudah terbiasa merencanakan karirnya berdasarkan kinerja yang dicatat per semester. Beragam karya dan aktivitas dosen itu dicatat di dalam SISTER.
Pasti ada banyak rekan saya yang tidak setuju kenapa hanya ada tiga alasan di atas. “Kenapa”, tanya Anda?
Ya jelas karena penyebabnya bukan hanya tiga hal di atas. Salah satu yang terberat sudah dibahas di dalam artikel koran di atas. Dosen itu punya beban kerja administrasi.
Wah kok bisa? Bukannya ada banyak dosen yang bisa “ke sana dan ke mari”?
Bisa. Karena kalau Anda lihat ada dosen yang bisa “ke sana dan ke mari”, itu karena sebagian besar tugasnya telah didelegasikan ke rekannya yang lain. 😀 Silahkan lanjut membaca. Saya ceritakan di bawah.
Apa saja tugas dosen yang dibilang berat itu?
Saya beri contoh.
Salah satu tugas berat dosen ketika tidak sedang memperbarui data kinerjanya di tabel PAK adalah melayani berbagai permintaan akreditasi prodi setiap lima tahun.
Ada banyak tabel yang harus diisi disertai berbagai lampiran. Salah satu lampirannya adalah menyampaikan instrumen pengajaran seperti SAP (Satuan Acara Perkuliahan) yang saat ini dikenal sebagai RPS (Rencana Pembelajaran Semester). Nah membuat RPS dari SAP ini adalah hal baru. Walaupun isinya mirip-mirip, tapi formatnya berbeda, isinya juga lebih rinci. Setiap dosen wajib mengisi berbagai instrumen pengajaran itu sebagai dasar agar asesor akreditasi dapat meyakini bahwa proses belajar mengajar di prodi itu sudah bagus.
Nah kalau ada dosen masih bisa “ke sana dan ke mari”, selain karena rajin dan pandai mengelola waktu, bisa jadi sebagian pekerjaan-pekerjaan tersebut dikerjakan oleh sekretarisnya (kalau ia mampu menggaji seorang sekretaris) atau ia punya mahasiswa sebagai asisten (ada dosen yang mampu memberi honor tapi tidak sedikit yang hanya mengucapkan terima kasih) atau dosen itu meminta bantuan dosen baru (biasa disebut dosen muda) untuk membantunya.
Tentu saja saya bersimpati untuk para dosen senior yang sudah mulai punya keterbatasan fisik. Bisa jadi ibu/bapak itu sudah sulit untuk mengikuti perkembangan aplikasi dosen yang makin rumit. Saya sangat memahami ini. Tapi jangan lantas dosen yang masih segar-bugar ikutan minta dibantu dosen baru, tanpa empati.
Jangan lupa juga, selain mengajar, dosen juga punya dua tugas lainnya, yaitu meneliti dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat (pengmas).
Mari kita keluarkan dulu yang pengmas, karena proyek layanan kepakaran yang dilaksanakan oleh para dosen untuk pihak ketiga, juga dikategorikan pengmas. Dalam kegiatan layanan kepakaran, dosen dihonori atas jasanya.
Kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh seorang dosen tidak akan dihargai (atau tidak akan dihargai maksimum) kecuali ada makalah yang terbit dari kegiatan itu. Jadi “mata uangnya” adalah makalah. Asal ada makalah terbit, maka selesai semua masalah.
Hanya perlu satu makalah untuk solusi masalah
😀
Makalah jenisnya juga macam-macam. Tidak perlu saya sampaikan di sini. Waktu yang dibutuhkan sampai sebuah makalah terbit juga beragam. Dari hitungan minggu, bulan, hingga (yang terbanyak) adalah tahun. Jadi mengerjakan risetnya sudah lama (setidaknya satu tahun anggaran atau ekivalen dengan 9 sampai 10 bulan efektif) untuk menerbitkan luarannyapun perlu waktu tambahan yang tidak sebentar.
Jadi ketika dosen sedang tidak merekap karyanya di tabel PAK, jelas ia punya kegiatan lainnya.
Pembuktian aktivitas yang “mrinthil”
Ketika seorang dosen ingin membuktikan bahwa ia telah selesai mengerjakan suatu aktivitas, maka pembuktiannya “mrinthil” (sangat rinci dalam Bahasa Jawa). Saya kasih contoh.
Untuk membuktikan bahwa kuliah telah dilaksanakan, maka seorang dosen harus menunjukkan Surat Keputusan (SK) penugasannya. Jadi kalaulah setiap kuliah Anda direkam dan disiarkan ke seluruh duniapun, itu tidak akan bisa diakui secara formal (dalam sistem penilaian kinerja) kalau Anda tidak dapat menunjukkan selembar SK.
SK itu bisa dari Rektor atau Dekan. Jangan lupa, SK itu dibutuhkan untuk membuktikan satu kuliah per semester. Jadi kalau Anda mengajar lima kuliah semester ini, maka buktinya adalah lima kopi SK yang sama. Tentunya zaman sekarang SK ini dapat digantikan oleh tautan penyimpanan awan (Google Drive, ONEdrive, atau Dropbox). Jadi data itu tetap harus dimasukkan per baris. Satu per satu.
Kemudian ulang kegiatan itu sejumlah semester yang akan anda akan masukkan.
Untuk kegiatan pengajaran yang rutin, tidak masalah, kampus pasti membuatkan SK itu dan mengarsipkannya, walaupun seringkali kampus tidak punya sistem yang mumpuni agar SK itu muncul ketika dicari.
Bagaimana dengan kegiatan memberikan pelatihan atau webinar tentang kepakaran yang Anda miliki. Kan sering seorang dosen diminta membagikan wawasannya sebagai nara sumber di sebuah seminar atau webinar.
Nah untuk kegiatan seperti itupun Anda sebagai dosen harus mendapatkan SK penugasan dari kampus. Jadi perlu membuat seolah Anda ditugaskan.
Ketika ada argumentasi bahwa Permenpanrb 1/2023 terbit salah satunya agar penugasan dosen bersifat institusional, saya jadi bingung. Bukankah selama ini sudah begitu (ada surat penugasan dll).
Saya juga berpikir, kalau seluruh kegiatan dosen harus atas penugasan, saya yakin kampus tidak akan berjalan baik. Selama ini harus diakui bahwa inisiatif dosen adalah yang mampu menggerakkan kampus.Renstra sebuah kampus hanya akan menjadi sebuah rencana, kalau tidak ada dosen yang berinisiatif (walaupun secara sporadis) untuk mendukung renstra itu dengan apa yang dia bisa dan dapat lakukan.
Ada dosen yang memang tidak (tepatnya malas) memperhatikan karir
Dengan berbagai tantangan di atas, maka memang tidak sedikit dosen malas mengurus karirnya. Jabatannya bisa saja berhenti di jabatan pertama yang 10 bahkan hampir 20 tahun yang lalu ia dapatkan ketika direkrut di suatu kampus.
Terlepas dari infrastruktur kampus yang belum mendukung dan prosedur kenaikan jabatan yang “mrinthil”, tidak seharus dosen abai dengan karirnya. Kalaupun seorang dosen merasa tidak membutuhkan peningkatan pendapatan karena jabatannya naik, tidak menghapuskan kewajibannya untuk memperhatikan karir. Karena apapun alasan mereka, keputusan untuk tidak memperhatikan karir pada suatu titik akan berimbas ke kampus.
Kalimat di atas adalah pengingat untuk diri saya sendiri.
Dampak ke kampus yang mudah adalah posisi peringkat kampus yang salah satunya ditentukan oleh proporsi jabatan akademik dosen. Berapa yang masih baru, berapa yang sudah Lektor Kepala (LK), dan berapa yang sudah Guru Besar (GB). Kalau jumlah LK dan GB rendah, maka dianggapnya kampus tidak memperhatikan karir dosennya.
Yang lebih parah (menurut saya), dosen yang abai ini juga mengabaikan pengarsipan berbagai aktivitas dan karyanya. Ini salah satu kendala terbesar pengisian PAK seperti yang diberitakan dua media di atas.
Melacak kembali karya berjenis makalah di jurnal dan prosiding sepertinya sudah lebih mudah, misalnya dengan Google Scholar dan ORCID. Tapi perlu diingat juga tidak semua dosen dengan sadar membuat akun profil akademik seperti itu.
Bahkan untuk membuat saja, masih minta dibuatkan.
Dosen juga sering mengabaikan pengarsipan karya-karya yang tergolong “informal” seperti salindia webinar dan pelatihan yang telah dipresentasikan dalam suatu acara. Padahal salindia itu bisa menjadi titik awal mengingat kembali aktivitas di masa lalu.
Untuk karya dan aktivitas yang tidak menghasilkan makalah memang jadi masalah, karena bukti mungkin hanya sertifikat. Walaupun tiap webinar saat ini, para peserta selalu meminta sertifikat pada kesempatan pertama, tapi saya ragu apakah mereka juga mengarsipkan berbagai sertifikat itu.
Para dosen yang tidak memperhatikan karir seperti ini adalah dosen yang paling terdampak dengan diterbitkannya Permenpanrb 1/2023.
Jadi posisi saya bagaimana?
- Saya melihat Permenpanrb ini mengakibatkan dampak yang signifikan. Dosen jadi akrobat untuk dapat mendata kembali karya-katyanya. Oleh karenanya, para pembuat kebijakan (terutama yang tidak berasal dari Kemdikbudristek) harus belajar betul bagaimana cara menyiapkan para dosen yang terdampak sebelum merilisnya. Apalagi dengan fakta bahwa dosen adalah profesi yang unik.
- Mestinya dosen dapat disiapkan dengan literasi digital tentang pengarsipan karya. Ini sejalan dengan berbagai webinar bertema literasi digital yang diselenggarakan Dikti sejak Feb lalu. Tapi sayangnya materi tentang pengarsipan pribadi belum termasuk dalam daftar materi.
- Saya berdiri bersama para rekan dosen yang masih terus ingin berkarya dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Salut untuk ibu/bapak dosen yang seperti itu. Saya ingin mengingatkan bahwa terus berkarya sangatlah penting, tapi pengarsipan juga tidak boleh dilupakan.
- Saya menghormati rekan-rekan yang turut menandatangani petisi tentang Permenpanrb, tapi mohon maaf saya tidak ikut menandatanganinya. Alasan saya adalah bahwa petisi itu akan dengan mudah dipatahkan dengan pertanyaan, “kemarin-kemarin kok tidak diurus jabatannya?” Para dosen tidak boleh marah. Kalau marah menpanrb dapat menganggap kita semua mengabaikan kewajiban. Bukankah kita sudah tahu sejak awal dulu bahwa kewajiban tridarma itu tidak mudah? Lalu Ibu dan Bapak dosen dengan lantang bisa menjawab, “lo selama ini kami kan sudah melaksanakan tridarma?” Jawaban yang di atas pasti, “Kalau memang sudah mengerjakan, maka mestinya bisa dong Anda mengisi tabel PAKnya”. Silahkan baca buku “Catatan untuk dosen baru”).
- Di tengah berbagai tantangan yang diberikan kepada para dosen yang berada di garis terdepan, pemerintah perlu memperhatikan tentengan yang dapat dibawa para dosen pulang ke rumahnya masing-masing.