Meet Tushar

Melanjutkan analogi menjual rumah dan perlu atau tidaknya agen properti. Ini contoh iklan agen properti di Sydney. Namanya Tushar, dia menawarkan properti untuk disewakan atau dijual, atas nama pemilik properti, kepada orang yang mencari. Sebagai agen, dia pasti ingin punya pelanggan (orang yang mempercayakan propertinya untuk ditawarkan) dan para pembeli yang luas.

Read more

Tanggapan untuk artikel Ali-Wallace

Kemarin secara masal dibagikan artikel berjudul Ilmuwan Indonesia akankah selamanya menjadi Ali oleh Dyna Rochmyaningsih

Dalam artikel tersebut diceritakan mengenail ilmuwan Indonesia yang sering tidak terekspos perannya dalam suatu riset. Terutama bila riset dilakukan bersama pakar dari luar negeri (LN). Terima kasih untuk Mbak Dyna yang telah mengutip peran serta INArxiv dalam menyemangati ilmuwan Indonesia.

Berikut ini adalah tanggapan saya.

Read more

Strategi “bertahan hidup” saat s3

Strategies to survive your PhD

link to my google drive: https://drive.google.com/open?id=1Iv1PSu63eNd-KX8195e8pRUOqmhMfTeN

Saya menerima pranala ini dari salah satu grupWA yang saya ikuti. Terima kasih Prof. Hasanuddin Z. Abidin yang telah membagikannya. Judulnya “Simple strategies to survive your PhD”. Barangkali ada yg tertarik. Disusun oleh penulis lain Julio Peironcely pendiri blog Next Scientist.

Suasana malam Natal (foto ada di flickr/dasaptaerwin)

Read more

Jurnal OpenAccess: Kualitas vs prestise (2)

Posting ini saya copy paste dari pesan saya ke salah satu Telegram Group yang saya ikuti. Jadi mohon maklum kalau masih perlu banyak penyuntingan. Kalau anda melihat banyak bagian seperti diulang-ulang, maka benar memang saya ulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Kenapa? Karena pertanyaannya memang TIDAK pernah berkembangan dan TIDAK pernah bergeser. Diulang-ulang setiap hari, setiap minggu.

See hires image at flickr/dasaptaerwin

Read more

Jurnal OpenAccess: kualitas vs prestise

Pendahuluan

Saat ada waktu senggang, saya membuat gambar di atas. Apakah memang relevan dengan kondisi dunia publikasi ilmiah saat ini? Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun, via Twitter, saya memantau hal ini. Jurnal OA (open access) selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah (setidaknya bila dibandingkan dengan jurnal non-OA). Tidak diindeks oleh ini dan itu. Tapi kalaupun telah diindeks ini dan itu, publik tetap meminta lebih. Fenomena di Indonesia, publik tetap meminta jurnal produk LN, yang diposisikan di atas produk DN. Apakah benar?

Beberapa hal berikut ini merupakan persepsi yang paling umum saat penulis mendengar kata-kata “Open Access”. Beberapa referensi utama yang saya gunakan dalam artikel ini adalah:

  1. Thinking about prestige, quality, and open access yang ditulis oleh Peter Suber untuk SPARC Newsletter isu no 125 yang terbit pada bulan September 2008. Sudah hampir 10 tahun, tapi nampaknya masih relevan hingga sekarang. Terutama di Indonesia.
  2. Deep impact: unintended consequences of journal rank yang ditulis oleh Björn Brembs, Katherine Button, Marcus Munafò (ketiganya ahli syaraf) yang terbit di jurnal Frontiers of Neuroscience, tapi ada versi preprintnya di Arxiv.

OpenAccess: selalu salah :)

Read more