Konon katanya jadi dosen atau peneliti harus banyak (pintar) nulis. Tapi saat nulis kita terlalu banyak mikir. Akibatnya mikirnya terus-terusan tapi tulis tidak pernah jadi. Jadi saja belum, bagaimana bisa di-submit.
Sebagai contoh tulisan ini, yang saya mulai tulis tanpa persiapan. Saat ada ide, langsung saya tuliskan saja, saat kepikiran situasi beberapa tahun ke belakang ini tentang banyaknya masalah dengan tulisan para dosen. Banyak kasus plagiarisme, kepenulisan tidak sah, ghost authorship, joki, dan yang sejenisnya.
Yang menurut saya itu semua berawal dari kemalasan untuk menulis dan perasaan selalu tidak punya waktu untuk menulis. Padahal bisa jadi konten penelitiannya cukup baik dan tidak ada masalah. Tapi karena ada misconduct saat menulis, lalu pembaca mulai mengira ada masalah juga dalam kegiatan menulisnya.
Tulisan ini menjadi pengingat untuk saya sendiri.
- Sampai di sini, Anda bisa melihat bagaimana tulisan ini berawal. Mungkin Anda melihatnya masih kasar, belum menggunakan tata bahasa atau penulis yang baku, dst. Tapi ya itulah namanya menulis. Selalu awali dengan spontanitas, dengan asumsi bahwa kita memang tidak akan pernah dapat mengalokasikan waktu khusus untuk menulis. Sekarang lihat tulisan yang sudah hampir jadi di bawah ini.
Konon, menjadi dosen atau peneliti memerlukan kemampuan menulis yang baik. Namun, saat menulis, kita sering terjebak dalam pemikiran yang berlebihan. Akibatnya, kita terus berpikir tanpa pernah menyelesaikan tulisan. Bahkan sebelum tulisan jadi, bagaimana mungkin bisa di-submit?
Tulisan ini adalah contoh yang saya mulai tanpa persiapan. Begitu muncul ide, saya langsung menuliskannya. Ide ini muncul saat saya teringat situasi beberapa tahun belakangan ini mengenai banyaknya masalah dalam tulisan para dosen. Kasus-kasus seperti plagiarisme, kepenulisan tidak sah, ghost authorship, penggunaan jasa joki, dan sejenisnya marak terjadi.
Menurut saya, semua masalah ini berakar dari keengganan menulis dan persepsi bahwa kita selalu kekurangan waktu untuk menulis. Padahal, konten penelitian mungkin saja sudah baik dan tidak bermasalah. Namun, ketika terjadi misconduct dalam proses penulisan, pembaca cenderung berasumsi bahwa ada masalah dalam keseluruhan penelitian.
Tulisan ini menjadi pengingat untuk saya sendiri.
Kemalasan adalah awalnya
Kemalasan sebagai alasan memang merupakan masalah tersendiri. Sudah jelas bahwa siapapun kita—mahasiswa atau bukan—dan apapun yang kita kerjakan—tugas akhir, makalah, atau lainnya—tidak boleh terjebak dalam kemalasan. Semua agama mengajarkan manusia untuk tidak bermalas-malasan. Namun, jika kemalasan sudah bersifat kronis, itu di luar cakupan tulisan singkat ini. Saya akan menggunakan analogi istilah “akut” dan “kronik”.
“Kemalasan akut” adalah keadaan di mana seseorang malas untuk waktu yang singkat. Ini bisa terjadi karena lelah, stres, atau kurang semangat sementara. Biasanya, kemalasan akut tidak berlangsung lama dan bisa diatasi dengan cara-cara sederhana. Misalnya, dengan istirahat yang cukup, mengubah suasana, atau mendapat dorongan dari orang lain. Contohnya, seorang mahasiswa mungkin malas mengerjakan tugas yang sulit. Tapi, dia bisa mengatasinya dengan beristirahat sebentar atau mengobrol dengan teman atau berkonsultasi dengan dosen pembimbing atau dosen wali.
Sebaliknya, “kemalasan kronis” adalah kebiasaan malas yang berlangsung lama. Orang dengan kemalasan kronis sering menghindari tugas atau tanggung jawab mereka. Masalah ini bisa berdampak serius pada berbagai aspek kehidupan, termasuk sekolah, pekerjaan, dan hubungan dengan orang lain.
Kemalasan kronis biasanya disebabkan oleh masalah mental yang lebih dalam, seperti depresi, rasa cemas, atau kurang percaya diri. Untuk mengatasinya, mungkin diperlukan bantuan ahli seperti konselor atau terapis. Mereka bisa membantu menemukan dan menyelesaikan penyebab utama masalah ini, yang bisa jadi karena tumpukan masalah tak terselesaikan, yang berawal dari kelulusan yang tertunda.
Dua cara mengatasi “kemalasan akut”
Mahasiswa sering hanya memandang kelulusan sebagai perayaan selesainya studi. Jika hanya itu yang dipikirkan, maka bisa saja mereka menginginkan perayaan (baca: kelulusan) tersebut ditunda-tunda.
Namun, jika Anda (sebagai mahasiswa) berpikir lebih jauh, kelulusan bisa berarti: kecepatan mendapatkan pekerjaan, kemandirian dari orang tua, dan kesempatan melamar “si dia”. Itu baru dari sudut pandang Anda. Bagi orang tua atau wali Anda, wisuda berarti kemerdekaan finansial. Artinya, beban mereka untuk menyediakan dana UKT berkurang, dan harapan mereka agar Anda segera mandiri meningkat.
Hal serupa berlaku jika Anda memposisikan diri sebagai pihak pengelola kampus. Mereka pun menghadapi tekanan untuk menyelenggarakan pendidikan yang memungkinkan mahasiswa lulus tepat waktu.
Atau, pilihan lainnya adalah, Anda bisa menyikapi kelulusan studi sebagai salah satu tahap dalam hidup. Berbeda dengan paragraf sebelumnya, Anda sebaiknya berpikir singkat—sesingkat mungkin—sesuai dengan waktu yang tersedia. Motivasi minimal yang saya harapkan dari Anda adalah lulus tepat waktu. Pikirkanlah langkah demi langkah. “First things first,” kata orang Inggris. Dengan motivasi ini, diharapkan beban pikiran Anda menjadi ringan. Kelulusan adalah perayaan yang menjadi awal dari perayaan-perayaan berikutnya. Jadi, fokuslah pada perayaan, bukan kesempurnaan.
Tentu saja, untuk lulus, tugas akhir harus memenuhi standar minimum. Fokus pada pencapaian standar ini terlebih dahulu. Setelah sidang tugas akhir, Anda memiliki kesempatan untuk menyempurnakan karya Anda. Misalnya, Anda bisa mengolahnya menjadi makalah untuk jurnal ilmiah atau artikel untuk majalah daring. Dengan demikian, Anda tidak hanya lulus, tetapi juga menghasilkan karya dengan kesempurnaan yang diinginkan.
Kalau saya sendiri memilih cara kedua. Bukankah agama juga menyuruh kita untuk segera menyelesaikan satu urusan, lalu masuk ke urusan yang lain.
Tidak ada riset yang tidak bagus
Tentu kalimat judul di atas memiliki banyak catatan ya. Yang saya bahas di sini adalah riset yang sudah dilaksanakan, tetapi Anda terus saja menunda-nunda untuk memulai menulis, karena berpikiran bahwa risetnya tidak bagus atau perlu data ini dan itu agar bisa disebut bagus.
Yang ada adalah riset yang masih dalam proses atau belum sepenuhnya lengkap. Riset yang komprehensif mencakup beberapa komponen kunci: latar belakang yang menjelaskan konteks dan urgensi penelitian, tujuan yang jelas dan terukur, hipotesis yang dapat diuji, metodologi yang terstruktur, analisis data yang mendalam, dan kesimpulan yang menjawab pertanyaan penelitian. Proses ini bermuara pada evaluasi apakah hipotesis awal terbukti atau perlu direvisi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh.
Riset yang memenuhi komponen akademik adalah riset yang bagus. Pendekatan saya adalah pendekatan praktis. Jangan membandingkan diri dengan penerima penghargaan Nobel—itu jelas terlalu jauh. Lagipula, anugerah Nobel memiliki visi dan misi yang berbeda dengan Anda. Visi dan misi Anda hanya satu: lulus tepat waktu, bukan menyelesaikan masalah kelaparan dunia.
Kadang-kadang kita menunda menulis karena data atau analisis belum lengkap. Namun, menurut saya, di setiap tahap riset, kita sudah bisa mulai menulis. Tidak perlu menunggu semuanya sempurna, suasana menulis yang ideal, atau masukan dari dosen pembimbing (dosbing). Itu semua tidak akan terjadi secara simultan atau pada waktu yang Anda inginkan.
Penting untuk diingat bahwa setiap tahap dalam proses penelitian memiliki nilai dan kontribusinya sendiri. Bahkan jika beberapa elemen belum lengkap, data yang telah dikumpulkan dan analisis awal dapat memberikan wawasan berharga. Oleh karena itu, jangan ragu untuk mulai menulis dan mendokumentasikan progress penelitian Anda, karena hal ini dapat membantu mengidentifikasi area yang perlu pengembangan lebih lanjut.
Tuliskan ide-ide spontan
Ide spontan adalah emas yang sering muncul di waktu dan tempat yang tidak terduga, seperti saat di toilet. Oleh karena itu, penting untuk selalu siap menangkap ide-ide tersebut. Salah satu cara efektif adalah dengan selalu membawa buku catatan kecil, karena tujuannya bukan untuk menulis panjang, melainkan untuk menangkap potongan-potongan ide yang muncul.
Ide biasanya muncul secara sepotong-sepotong dan tidak utuh. Begitu ada “sepotong” ide muncul, segera tuliskan. Jika muncul lagi di waktu yang berbeda, catat lagi di buku catatan. Lakukan hal ini berulang-ulang. Jangan khawatir tentang menyusun kalimat yang panjang atau sempurna, karena itu bisa dilakukan nanti, asalkan buku catatannya tidak hilang.
Yang terpenting dalam proses ini adalah konsistensi dan ketekunan. Selalu beri catatan tanggal dan jam setiap kali Anda menuliskan ide. Dengan metode ini, Anda akan memiliki koleksi ide-ide spontan yang berharga, yang nantinya dapat diolah menjadi tulisan yang lebih terstruktur dan komprehensif.
Adaptasi ide dari tulisan lain
Jika Anda merasa kehabisan ide, jangan khawatir. Solusinya sederhana namun efektif: perbanyak membaca karya-karya orang lain. Proses ini bukan sekadar membaca pasif, melainkan suatu upaya aktif untuk menyelami pemikiran para penulis. Cobalah untuk memahami secara mendalam:
- Apa yang menjadi fokus pemikiran mereka?
- Bagaimana mereka melaksanakan penelitian mereka?
- Metode apa yang mereka gunakan dalam membaca dan menganalisis data?
- Bagaimana mereka sampai pada kesimpulan dari hasil riset mereka?
Dengan melakukan ini, Anda tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis. Seiring waktu, Anda akan mulai mengenali pola-pola pemikiran, metodologi yang umum digunakan, dan bahkan mungkin menemukan celah atau “lubang” dalam penelitian yang ada – aspek-aspek yang mungkin terlewatkan atau belum dieksplorasi secara mendalam oleh para peneliti sebelumnya.
Dari titik ini, Anda memiliki landasan yang kuat untuk mengembangkan ide riset Anda sendiri. Mungkin Anda akan terinspirasi untuk mengisi celah yang Anda temukan, atau bahkan mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap topik yang sudah ada. Ingatlah, setiap penelitian baru berdiri di atas pundak penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan memahami apa yang sudah dilakukan, Anda dapat melihat ke mana arah penelitian selanjutnya perlu dikembangkan.
Aktifkan Google Scholar Alert
Saya bukan marketer Google, tetapi teknologi Google Scholar Alert sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Google menjadi raksasa teknologi seperti yang kita kenal sekarang. Fitur ini merupakan salah satu alat yang sangat berguna bagi para peneliti dan akademisi. Google Scholar Alert berfungsi sebagai asisten virtual yang rajin, selalu siap mengirimkan daftar makalah baru sesuai dengan kata kunci yang Anda tentukan. Ini memungkinkan Anda untuk tetap up-to-date dengan perkembangan terbaru di bidang yang Anda minati tanpa harus melakukan pencarian manual secara berkala.
Cara kerjanya cukup sederhana namun efektif. Anda hanya perlu memasukkan kata kunci atau frasa yang relevan dengan topik penelitian Anda, dan Google Scholar akan secara otomatis memindai database-nya yang luas untuk menemukan publikasi baru yang sesuai. Ketika ada makalah atau artikel baru yang cocok dengan kriteria Anda, sistem akan mengirimkan notifikasi langsung ke surel Anda. Ini bukan hanya menghemat waktu, tetapi juga memastikan bahwa Anda tidak melewatkan informasi penting yang mungkin berdampak signifikan pada penelitian Anda.
Kemalasan bukan milik semua orang
Setelah membaca tulisan singkat di atas, Anda seharusnya dapat memahami bahwa kemalasan bukanlah sifat yang melekat pada semua orang. Kemalasan lebih cenderung menjadi karakteristik dari mereka yang terjebak dalam pola pikir masa lalu, tidak menyadari bahwa teknologi telah berkembang pesat dan membuka banyak peluang baru. Di era digital ini, di mana informasi dan sumber daya berlimpah, alasan untuk menjadi malas semakin berkurang.
Teknologi modern telah mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berkreasi. Dengan adanya internet, perpustakaan digital, dan berbagai aplikasi produktivitas, akses terhadap pengetahuan dan alat-alat untuk mengembangkan ide menjadi sangat mudah. Bahkan, seringkali hanya dibutuhkan beberapa klik untuk menemukan inspirasi, memulai proyek baru, atau menyelesaikan tugas yang dulunya memakan waktu berhari-hari.
Namun, penting untuk diingat bahwa teknologi hanyalah alat. Kuncinya terletak pada bagaimana kita memanfaatkan alat-alat tersebut. Mereka yang berhasil mengatasi kemalasan adalah mereka yang tidak hanya mengandalkan kemudahan teknologi, tetapi juga memiliki disiplin diri, motivasi intrinsik, dan kemauan untuk terus belajar dan berkembang. Dengan demikian, di era di mana ide dan informasi begitu mudah diakses, kemalasan adalah sebuah pilihan, bukan sebagai akibat dari keterbatasan.