Ini monolog (agak) panjang tentang dua cerita yang beda waktu, tempat, dan konteks, yang ternyata beresonansi. Cerita yang satu terjadi di kampus, minggu lalu. Cerita kedua terjadi di sekolah anak saya, minggu ini.
Prolog
Ini cerita agak panjang yang menjelaskan dua momen terpisah waktu, tempat, dan konteks. Rupanya dua momen itu berkaitan, atau lebih tepatnya dapat dihubungkan untuk pembelajaran saya (baca: pembelajaran bersama)
Cerita 1 – Tentang syarat kenaikan pangkat dan jabatan
Saya bertanya ke staf kampus berkaitan dengan proses kenaikan pangkat dan kenaikan jabatan. Berikut ini adalah rangkumannya.
Kenaikan pangkat
Syarat pengusulan kenaikan pangkat (IIIA/B/C dst) bukan jabatan (Asisten Ahli/Lektor/Lektor Kepala dst). Kenaikan pangkat dapat diajukan setelah dua tahun terhitung mulai tanggal (TMT) SK pangkat terakhir. Jadi kalau SK pangkat III-D terbit di bulan April 2023, maka saya baru bisa mengajukan kenaikan pangkat ke IV-A di bulan April 2025. Tentu dokumen-dokumen sudah lengkap dua bulan sebelum April 2025.
Nah dokumen apa saja yang dibutuhkan? Ada 12 dokumen sesuai dengan surat edaran yang saya terima (tidak saya ubah jumlah dan urutannya):
- Ijazah S3
- Transkrip S3
- Dokumen Tugas Belajar (SK tugas belajar)
- (Sertifikat) Akreditasi Jurusan
- SK pangkat terakhir
- SK PNS
- SK CPNS
- Dokumen SK Jabatan (bisa jadi SK jabatan terakhir atau seluruh SK jabatan yang sudah terbit, sejak SK jabatan pertama)
- MoU/Izin Dikti (mungkin maksudnya izin pendirian kampus dan/atau izin operasional jurusan/prodi)
- SK pencantuman gelar (tidak jelas, saya lupa menanyakan)
- Angka Kredit (AK) Konversi
- SKP 2023 dan SKP 2024 (SKP=Sasaran Kerja Pegawai)
Dari 12 dokumen tersebut:
- Sepuluh diantaranya (saya ralat ya, tadinya sembilan) adalah dokumen pribadi (No: 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12).
- Dua diantaranya adalah dokumen kampus (No: 4, 9).
Sepuluh dokumen pribadi di atas, mestinya sudah disimpan pihak kampus sejak kita diterima bekerja menjadi dosen. Jadi pada dasarnya, ke-12 dokumen tersebut sudah ada di dalam arsip kampus, sehingga kampus tidak perlu minta lagi ke dosen.
Kenaikan jabatan
Apa yang saya tulis (dan bicarakan dalam podcast ini) baru merupakan perkiraan berbagai dokumen atau langkah berkaitan dengan proses pengusulan kenaikan jabatan pasca perubahan peraturan KemenpanRB.
- Seluruh proses akan berpusat ke data SISTER, khusus untuk dosen PNS.
- Dosen non PNS proses pengadministrasiannya masih menggunakan formulir offline berformat xls dan docx.
- Untuk itu, dosen non PNS dapat memaksimumkan proses copy and paste dari SISTER ke formulir offline.
- Dosen PTS mestinya memiliki kelebihan dengan adanya platform DUPAK online yang dibuat oleh LLDIKTI.
- SISTER adalah platform yang mencatat kegiatan dosen dan luarannya, per semester. Dengan adanya SISTER, pengarsipan kegiatan dosen lebih tertata rapih, dengan catatan dosennya tertib memasukkan data kegiatannya per semester.
- Lalu kegiatan di SISTER dinilai oleh tim penilai (Asesor BKD) untuk menghasilkan skor atau nilai (ekivalen dengan Angka Kredit).
- Kemudian ada dokumen check list yang “biasanya” dirilis oleh Senat Akademik kampus mengikuti arahan dalam PermenpanRB.
- Seluruh dokumen tersebut diperiksa kembali kelengkapannya untuk diusulkan oleh kampus ke Dikti. Catatan: mengikuti Permen yang lama, pengurusan kenaikan jabatan Asisten Ahli dan Lektor dapat dilakukan di tingkat kampus sendiri (PTN/PTNbh) atau LLDIKTI (untuk PTS). Untuk usulan Lektor Kepala dan Guru Besar masih perlu dikirimkan ke Dikti.
Cerita 2 – Kelasku di mana?
Cerita ini bisa jadi tidak menarik buat orang lain. Tapi menarik buat saya, bahkan berkaitan dengan cerita pertama di atas. Padahal beda waktu, tempat, dan konteks. Kenapa? nanti akan saya ceritakan di belakang.
Jadi saat saya mengantar anak saya ke sekolah, ada temannya yang berlari dan bertanya ke saya (aslinya menggunakan Bahasa Inggris) yang kalau diterjemahkan bebas seperti ini.
Sebut saja namanya “A”.
A: “Om, tau kelas saya pindah di mana?”
Saya: Bingung, karena saya tahu dia teman sekelas anak saya. Saya jawab, “Maksudmu kelas apa? Kelas 3B, kelas seni, atau kelas komputer?” Jadi sistem sekolahnya memang moving class.
A: “Kelas yang biasa.”
Saya: “Lo kenapa? kan kelasnya di situ (sambil menunjuk).”
A: “Kok pintunya masih tertutup dan masih gelap?”
Saya: “Ya kan memang biasa, ini masih belum jam 7:00, kelas pasti masih tertutup dan lampu masih gelap.” Catatan: sekolah mulai pukul 7:30.
Saya lagi: “Yang membuka pintu dan menyalakan lampu memang om (saya) dan Hasbi (anak saya). Karena memang kami selalu datang pertama”.
A: “Oh ok.” lalu ia berlari ke kelas.
Saya lalu mikir (ngapain juga sebenarnya dipikirin). Kalau Anda pasti tidak akan jadi pikiran :D. Sepertinya anak ini memang tidak pernah datang pagi, apalagi jadi murid yang pertama datang ke kelas. Dia datang selalu pas sudah ramai, kelaspun sudah terbuka, lampu dan AC sudah menyala. Dia tidak pernah berpikir kalau hal-hal itu tidaklah otomatis. Harus ada yang membuka pintu dan menyalakan lampu serta AC.
Dasar saya. Fragmen pendek di pagi itu tidak hanya saya pikirin, tetapi juga saya tulis.
Epilog
Mungkin Anda bertanya, kenapa kok harus dibuatkan episode podcast khusus untuk menghubungkan kedua momen beda waktu, tempat, dan konteks itu?
Nah ini mungkin hanya saya yang bisa menjawab. Kebanyakan “orang normal” hanya akan melupakan momen-momen itu. TIdak penting menurut Anda. Jadi boro-boro mencatatnya.
Sementara itu tanpa saya sadari, siklus harian saya adalah ini:
- Capture: Kalau bisa setiap momen bisa saya tangkap kesannya. Ini butuh sensitivitas.
- Write: Supaya lebih abadi di ingatan, maka saya perlu menuliskannya. Ini saya pernah cerita bahwa saya menulis/mengetikannya di mana saja yang minim friksi/hambatan. Bisa di komputer, bisa di buku tulis, bisa di atas tisu, dll.
- Resonate: Merenungkannya untuk menggali apakah momen itu mengena dengan apa yang saya pernah alami sebelumnya atau berhubungan dengan apa yang sudah saya ketahui sebelumnya (prior knowledge).
- Share: Lalu saya bagikan. Tentu saja dengan berbagai penyuntingan agar cerita saya tidak melanggar hak dan privasi orang lain. Ujungnya apa yang saya alami barangkali bermanfaat buat orang lain.