Piramida kekeliruan akademik

Author:

Jika saya adalah balita dan diberi empat kasus pelanggaran akademik, ini adalah apa yang akan saya gambar.

Bayangkan saja tahun 2024 belum sampai enam bulan, tapi ada dosen yang sudah menghasilkan 160 makalah. Oke lah mungkin ybs menulis dan mengirimkan manuskripnya ke jurnal pada tahun 2023. Dalam kasus itu, masih mungkin terbitnya di tahun 2024, tetapi bukankah itu berarti pada tahun 2023 ada berapa manuskrip yang telah ditulisnya?

Lalu ada makalah yang menayangkan seekor tikus yang digambarkan memiliki alat kelamin raksasa, melebihi ukuran tubuhnya. Ketika dikonfirmasi, penulisnya menyatakan bahwa hanya gambar dan ilustrasinya yang dibuat menggunakan AI, risetnya sendiri adalah riset yang nyata. Katakanlah yang disampaikannya benar, mbok ya gambarnya dicek dulu. Bayangkan saja, thumbnail dari makalah itu ya gambar itu.

Tidak lupa ada kasus klaim Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia. Dibandingkan dengan dua kasus sebelumnya, kasus ini “menurut saya” adalah yang paling ringan, karena sejak proses pengambilan data, publik (khususnya di Indonesia) sudah mengetahuinya. Klaim juga sudah disampaikan pada berbagai forum sejak sebelum makalahnya terbit. Namun demikian, penarikan makalah ini perlu menjadi pelajaran bagi semua, bahwa sebuah riset juga tidak boleh overclaim tanpa memberikan batasan atau beberapa catatan.

Kasus yang terbaru menurut saya yang paling berat. Ada penulis asing yang mengklaim makalahnya sudah disalin ke Chat-GPT dan ditulis ulang oleh mesin itu. Tanpa ada hal baru yang ditambahkan oleh penulisnya (kebetulan dari Indonesia). Kalau memang ada unsur kemalasan di situ, mbok ya pastikan orang yang dimintai tolong menulis makalah tidak sama malasnya.

Begitulah seorang anak balita memandang berbagai kekeliruan akademik yang sudah memenuhi media masa sejak awal tahun 2024.