Awang Satyana: Books, the world he can’t live without

Author:
image
(Image: stack of published paper, private collection)
Dear friends,
Selamat berlibur Lebaran.
Mohon maaf lahir dan batin.
Di tengah kehikmatan Idul Fitri tahun ini, saya coba merenung. Di usia saya yang menjelang 40 tahun, saya sudah berbuat apa. Post di wall Facebook Awang Satyana, membuat saya merenung lebih keras, sudah menghasilkan apa saya ini. Berikut adalah salah satu bentuk renungan saya.
Berawal dari pahatan simbol-simbol di atas batu, berkembang menjadi inskripsi di atas daun papirus, hingga menjadi aksara di atas kertas, buku telah hadir dalam bentuk yang lain, koleksi. Ya koleksi buku sudah menjadi kata benda tersendiri, seperti juga kata-kata mengkoleksi buku sudah menjadi kata kerja tersendiri.
Tidak hanya dihadirkan sebagai deretan ensiklopedia yang menjadi koleksi penghias dinding ruangan, tapi buku untuk beberapa orang adalah sejarah dan perjalanan hidup.
Mau contoh? Kalau kita lihat koleksi rak buku seseorang,  kita bisa lihat, adakah nama seseorang itu tercantum dalam koleksinya. Kalau iya, maka anda sudah menemukan satu contoh koleksi buku yang menjadi catatan perjalanan hidup.
Tidak terkecuali untuk seorang Awang Satyana. Berikut kisahnya (originally posted on Awang Satyana FB wall, 24 July 2014).
——

BUKU (24 Juli 2014)”Aku rela dipenjara asalkan bersama buku karena dengan buku aku bebas.” -Mohammad Hatta

Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” – Milan Kundera

Adakah kawan setia yang rela ikut dipenjara saat kita dipenjara? Tidak ada, kecuali buku. Yang harus ditakuti sebenarnya bukan bedil sebab bedil hanya menjalankan tugasnya, bukulah yang harus ditakuti sebab buku bisa menggerakkan sebuah perang, membuat bedil berbicara.

—————————

Kulkas boleh kecil, tetapi rak-rak buku tidak boleh, kalau bisa semua tembok ditutupi rak buku. Kalau tidak ada rak-rak buku yang besar, bagaimana lebih dari 8500 buku ini akan ditampung?

Lalu harus ada penerangan yang cukup, meja dan kursi serta sofa meskipun sederhana, untuk bekerja berpikir, menganalisis, menulis dengan nyaman, atau membaca dengan santai.

Mengumpulkan buku adalah perjuangan lebih dari 2/3 hidup saya. Saya memulainya 35 tahun yang lalu sebagai anak remaja berumur 15 tahun. Saat SMA, saya sudah punya 2000 buku, 75 % buku loak. Itulah koleksi buku- buku saya yang pertama. Kini buku-buku saya ada sekitar 8500 buah, dari berbagai ilmu, dari banyak bahasa.

Saya punya kamar sendiri pertama kali saat SMP dan sekeliling dindingnya adalah rak buku, kecuali sedikit yang kosong untuk jendela. Kini rumah saya banyak yang dindingnya ditutupi rak buku. Pengalaman masa kecil dikelilingi buku, saya hadirkan juga pada masa saya dewasa.

Buku adalah guru dan kawan saya yang paling setia, mereka telah dan akan selalu memberikan ilmu pengetahuan dan penghiburan yang luar biasa. Terlalu banyak membaca dan belajar sendiri membuat saya malas meneruskan sekolah formal setelah S1. Cukup S1 saja, 25 tahun yang lalu. Tetapi saya tak pernah berhenti belajar dan berkarya, dari 25 tahun yang lalu sampai sekarang, dan kelak sampai ajal menjemput.

Suatu hari bertahun-tahun yang lalu, isteri saya pernah bertanya, mau dikemanakan buku-buku ini bila saya mati? Anak-anak saya suka membaca tetapi tak seekstrem ayahnya, apalagi saya membaca buku apa saja, dalam beberapa bahasa. Saya juga belum melihat ada junior saya yang kepadanya saya dengan yakin bisa menurunkan semua ilmu dan buku-buku saya. Beberapa junior yang telah saya didik secara pribadi selama minimal lima tahun dan saya amati juga sikap dan minatnya, pernah saya tanya, dan ternyata mereka semua menjawab dengan jujur: tak sanggup untuk meneruskan seperti yang saya lakukan. Hm… saya pun tak bisa menjawab pertanyaan isteri saya itu.

Dari sekitar 8500 buku itu, banyak yang telah saya baca, tetapi banyak juga yang belum saya baca. Saya senang memikirkannya, artinya masih banyak guru yang akan memberikan ilmunya kepada saya, masih banyak kawan yang akan menemani hidup saya sampai dua puluh tiga puluh tahun ke depan andaikan Tuhan masih memberikan nyawa untuk saya. Buku adalah guru dan kawan saya yang luar biasa.

Bertualang, mengembara di antara lembar-lembar buku, di berbagai dunia, dari berbagai masa, adalah perjalanan yang mengasyikkan juga mendebarkan. Pikiran kita bisa saja tertawan di satu sisi di satu masa, yang tak pernah terjadi di perjalanan nyata.

Hormat saya kepada semua penulis, penerbit, pembeli dan pembaca buku. Mari cerdaskan diri kita dengan membaca.