This blog post was inspired by a post by “Writing for Research” on Medium entitled “How to write a blogpost from your journal article” and Melissa Teras’ article “The verdict: is blogging or tweeting about research papers worth it?”.
I will write it in a more free context in Indonesian Language.
—
Awalnya saya membuat sebuah artikel berjudul “Produced-water: a way out of water crisis ?”, yang telah saya presentasikan dalam forum Indonesia Petroleum Association di Jakarta Convention Center tanggal 21 Mei yang lalu. Artikel tersebut kemudian saya unggah di ResearchGate dan slidenya di SlideShare (tautan ada di bagian akhir artikel ini).
Paper tersebut saya tulis bersama dua orang kawan: Herry Maulana seorang pegawai perusahaan minyak sekaligus pemerhati lingkungan dan Rofiq Iqbal dosen Teknik Lingkungan ITB. Awalnya ditujukan untuk mengulas berbagai karakter produced-water yang ada di Indonesia, namun pada kenyataannya paper tersebut harus digeser cara penulisannya, karena data yang saya harapkan tidak mendapatkan ijin hingga deadline menjelang. Pada kondisi akhirnya, paper tersebut ber-genre literature review yang menceritakan bagaimana dunia memandang produced-water dan bagaimana mereka memanfaatkannya. Kami selipkan juga sedikit analisis data dari database hidrokimia produced-water dari USGS sebagai ilustrasi apa yang bisa kita dapatkan bila semakin banyak open data tersedia untuk diakses khalayak umum.
Dalam makalah tersebut, kami menyampaikan bahwa komposisi kimiawi produced-water, dalam kasus di US, telah bisa diolah dengan teknologi filtrasi moderen, baik dengan ultrafiltrasi maupun dengan reverse osmosis. Banyak perusahaan migas telah melakukan proses de-oiling dan desalinasi ini. Nilai TDS yang mencapai 60,000 ppm sudah dapat diturunkan menjadi 1000 hingga 3000 ppm. Nilai salinitas tersebut sudah layak bila akan dipakai untuk utilitas rumah tangga dan pertanian misalnya. Bila ini dapat dilakukan, khususnya di daerah kawasan penghasil migas (contoh Balikpapan), maka dapat menjadi salah satu solusi komplementer di saat kemarau berkepanjangan. Pihak pemerintah daerah dan PDAM lokal tinggal memikirkan suplai air untuk kebutuhan minum, sementara kebutuhan yang lainnya salah satunya sudah dapat ditangani dari proses pengolahan produced-water.
Seperti kebiasaan saya sebelumnya, saya bagikan via Facebook (DasaptaErwin) dan Twitter (@dasaptaerwin). Slide yang saya unggah di SlideShare tersebut akhirnya trending (menurut SlideShare).
Post di FB menuai banyak komentar dari beberapa rekan, berikut adalah ringkasannya:
- Pendapat dari Bapak Oman Abdurrachman (dari Badan Geologi): Bahwa inovasi kreatif pemanfaatan air hujan ini ada dua hal. Pertama, dari sisi pengumpulannya atau penampungannya (kuantitatif). Di sini model-model RWH (rain water harvesting) sudah banyak dikembangkan, termasuk rancangan2 penampungan dengan berbagai bentuk dan ukuran. Termasuk di sisi kuantitatif ini adalah perhitungan-perhitungan (modeling) kemampuan RWH dalam mengurangi banjir. Pak Edi Riawan dan pak Tri Wahyu Hadi dari Meteorologi ITB pernah melakukan kajian dalam hal ini. Khususnya pak Edi yang menghitung kemampuan RWH dalam meredam banjir Jakarta, hasilnya bagus (signifikan) – perlu dipresentasikan nih di SGP. Adapun sisi kedua, adalah segi kualitatif, bagaimana memanfaatkan air hujan tsb untuk kebutuhan sehari-hari, khususnya untuk air minum. Kebetulan majalah Tempo edisi terbaru, 18-24 Mei 2015 dalam rubrik Inovasi (hal 18) memuat artikel dengan judul “Minum Air Kandang Hujan”. Isi artikel ini menceritakan penemuan seorang inovator yang berasal dari Dusun Bunder, Ds. Bandungan, Kec. Jatinom, Kab. Klaten, bernama Pak Purwono berkaitan dengan pemanfaatan air hujan. Ia menciptajan alat penyulingan air hujan sehingga air hujan itu layak dikonsumsi. Pak Purwono menemukan alat tsb setelah belajar kepada Romo Vincentius Kirjito di Muntilan, Magelang (sebagaimana gambar yg dimuat di artikel tsb) dan bersama sang Romo mereka berdua melakukan sosialisasi kepada masyarakat Muntilan tsb sehingga kini banyak masyarakat di sana yang mengkonsumsi air hujan yang terlebih dahulu disuling oleh alat ciptaan Purwono.
- Pendapat dari Bapak Basuki Suhardiman (dari ITB): Bahwa RWH sudah saat dilaksanakan masal di Indonesia, karena kualitas airnya sangat fisibel untuk keperluan utilitas rumah tangga, bahkan untuk air minum dengan sedikit pengolahan. Di India ini sudah jadi gerakan, saatnya di Indonesia. Perubahan iklim membuat siklus hujan dan kemarau menjadi acak. Debit air sungai pun yang banyak jadi sumber air baku menjadi berkurang, bahwa jadi kering kerontang.
- Pendapat Bu Kusuma Rukmi (Peneliti, sedang S3 di Deakin Univ): bahwa berbagai teknologi dan variasinya telah banyak diaplikasikan di negara lain, Indonesia dapat meramu teknik yang optimal sesuai dengan kondisi iklim dan tanahnya. Beliau sedang menyusun penelitian dengan tema sejenis di Bekasi.
Moral of the story would be:
writing a scientific/journal article is one thing, but spreading it widely (to general readers) is another thing
Demikian sedikit ulasan di pagi hari Minggu ini. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
————-
The article can be read or downloaded here:
- slides format on SlideShare
- text format on ResearchGate