Tentang komersialisasi

Author:

Oleh: Dasapta Erwin Irawan (ITB, RINarxiv) | ORCID

Jangan bilang bahwa komersialisasi itu tidak terjadi. Itu terjadi. Kitalah yang memilih untuk menafikannya. Saya bukan analis bisnis, tapi industri publikasi adalah industri yang sudah sangat lama berdiri. Model bisnisnya kurang lebih atau tidak akan jauh dari beberapa variasi yang saya sampaikan di sini. Model-model bisnis berikut ini (selain model 3 dan 5) diekstraksi umumnya dari penerbit-penerbit luar negeri.

Berikut ini adalah beberapa variasi model bisnis jurnal:

  1. Model non OA ada dua submodel (pada keduanya Hak cipta atas makalah ditransfer ke penerbit):
    1. Model non OA: biaya produksi jurnal dan operasional kantor + keuntungan = biaya langganan yang dibebankan ke universitas.
    2. Model non OA: (biaya produksi jurnal dan operasional kantor + keuntungan) / prediksi jumlah artikel per tahun = harga jual per artikel (atau bahkan sekarang ada harga sewa per 48 jam) yang dibebankan ke pembaca.
  2. Model gold OA: (biaya produksi jurnal dan operasional kantor + keuntungan) / prediksi jumlah artikel per tahun = harga APC per artikel yang dibebankan ke penulis. Hak Cipta tetap dipegang penulis.
  3. Model diamond/platinum OA: biaya produksi jurnal dan operasional kantor setahun = biaya yang perlu dianggarkan lembaga. Ini model mayoritas jurnal Indonesia. Hak Cipta tetap dipegang penulis dengan beberapa anomali yang saya bersama Muhammad Ratodi dan Juneman Abraham tulis dalam makalah ini.
  4. Model bronze OA: biaya produksi jurnal dan operasional kantor + keuntungan = biaya dibagikan ke sponsor atau pemasang iklan secara proporsional. Hak cipta atas makalah ditransfer ke penerbit.
  5. Model green OA: biaya operasional repositori = biaya yang perlu dianggarkan lembaga. Ini model yang sudah dipakai oleh universitas yang punya repositori, misal repositori tugas akhir. Sayangnya repositori-repositori kampus seperti ini hanya memuat tugas akhir, itupun dalam format pdf yang tidak bisa diapa-apakan lagi. Juga banyak repositori hanya mengunggah beberapa halaman saja dari tugas akhir. Masalah lainnya adalah repositori adalah sumber plagiarisme.

Jangan lupa pada model 1 s/d 4, biaya produksi jurnal dan operasional kantor, tidak memasukkan:

a) biaya reviewer. Banyak yanag bilang, para reviewer dapat akses ke basis data tertentu secara gratis, dapat diskon APC sekian persen, dll. Menurut saya itu semubsudah diperhitungkan oleh penerbit agar tidak mengurangi proporsi keuntungan. Persis ketika diskon Lebaran, anda dengan mudah bilang, “ah itu kan harganya sudah dinaikkan sebelum didiskon”. Kenapa anda tidak memikirkan hal yang sama untuk urusan penerbitan makalah.
b) biaya riset yang menjadi bahan baku penulisan makalah,
c) gaji peneliti saat melakukan riset hingga menghasilkan makalah,
d) dan biaya riset lain-lain.

Biaya-biaya butir (a), (b), (c) dan (d) dikeluarkan oleh negara.

Tidak berhenti sampai sini. Bukan hanya butir a, b, c yang dikeluarkan negara.

Ingat:

  • pada model 1 dan model 4: siapa yang membayar biaya langganan jurnal? >> negara.
  • Pada model 2: siapa yg memberikan uang ke penulis untuk membayar APC? >> negara.

Kenapa model 3 tidak saya sebut? >> karena model 3 menonjolkan peran lembaga dan negara yang beroperasi secara nirlaba. Jadi walaupun negara tetap memegang peran pembiayaan tapi ada kata kunci lainnya yakni nirlaba.

Jadi bagi ibu dan bapak pembaca yang budiman, baik yang belum GB, apalagi yang sudah GB, jangan bilang komersialisasi itu tidak terjadi. Itu terjadi. Imbalannya adalah hanya:

  • prestise yang mereka berikan ke penulis ketika terbit di jurnal top,
  • prestise ke univ ketika banyak penulisnya berhasil menerbitkan makalah di jurnal top,
  • prestise ke negara ketika ada banyak makalah yang dihasilkan para penelitinya terbit di jurnal top.

Mungkin sampai sini, pembaca ada yang mulai setuju dengan pendapat saya. Sekarang mari kita evaluasi perilaku kita beberapa tahun ke belakang:

  • mengadakan pelatihan yang mempromosikan penggunaan-penggunaan produk model 1, 2, dan 4, secara langsung atau tidak langsung.
  • para narsum saat membuat flyer dengan menyertakan simbol-simbol yang tidak hanya mempromosikan penggunaan produk model 1, 2, dan 4 (misal Scopus ID, H index), teetapi juga membangun “tembok-tembok” berbahan dasar prestise.
  • Memandang rendah yang belum atau tidak pernah menerbitkan makalah di jurnal top model 1, 2, 4. Saya tahu ini prasangka. Tapi coba lihat dan rasakan, mestinya pembaca akan membenarkan prasangka saya ini.

Ada alasan lain kenapa model no 3 jarang saya sebut. Karena mayoritas dari produk no 3 tidak bernilai sama dengan produk 1,2,4. Secara sistematis, model no 3 dianggap “murahan”, karena dikelola secara swadaya dan dibiayai oleh negara atau lembaga secara pas-pasan. Ini bisa dibuktikan salah satunya dengan melihat data DOAJ.org. Ada kurang lebih 70 persen jurnal OA yang tidak menarik APC ke penulis, tapi pertanyaan yang sering muncul tetap “berapa APCnya?”, “menerbitkan di sana gratis tidak?” dst. Pemahaman tentang makna OA memang perlu ditingkatkan di sini. Tapi saya ragu para dosen atau peneliti Indonesia akan cepat paham ketika bukan itu yang dijelaskan dalam pelatihan-pelatihan luring maupun daring (webinar) yang sekarang marak diadakan.

Tabel jumlah jurnal OA dan prosentase jurnal yang tidak menarik APC (DOAJ.org tanggal 27/06/20 pukul 06.00)

NegaraJumlah jurnal OAtanpa APCProsentase
Total148501075972
Indonesia1678117370
UK165136022
Brazil1492137992
AS78846359
Data: DOAJ.org 27.06.20, 06.00am

Masalah belum see.

Para reviewerpun milih-milih ketika diminta mereview utk jurnal model 3. Menurut mereka, pekerjaan mereview adaah pekerjaan capek tapi tidak dibayar. Di saat capeknya sama, mereka memilih ingin mendapatkan prestise dari jurnal-jurnal top luar negeri yang umumnya bergerak dengan model 1,2,4.

Karena dipersepsikan murahan dan tanpa prestise secara SISTEMATIS itu, kemudian para penulis memilih mengirimkan makalah ke jurnal model 1,2,4. Maka makin matilah jurnal model 3, yang juga mayoritas jurnal terbitan Indonesia.

Jadi ibu dan bapak para pembaca yang bijak, semoga segera sadar. Di tengah perilaku kita seperti yang telah saya sebutkan di atas, setidaknya kita sadar bahwa itu semua adalah semata untuk memenuhi administrasi.

Dari mayoritas kolega yang saya ajak berdialog, dari asisten ahli sampai GB mau pensiun, semua menyampaikan tanggapan yang kurang lebih sama, hanya dengan cara itulah Indonesia bisa maju dan bersaing di pergaulan internasional, dalih mereka.
Ketika ada yang tidak setujupun, mayoritas akan menyarankan agar saya protes ke atas atau menjawab cepat “itu bukan ranah saya”, dst. Kalau semua merasa masalah ini bukan ranahnya, saya jadi bertanya, bukankah ibu dan bapak pejabat di kementerian sebagian besar berasa dari lingkungan dosen dan peneliti. Pada satu waktu di masa lampau, mereka ada di posisi kita saat ini. Tidak memiliki kewenangan untuk mengubah situasi. Seandainya semua dari kita saat ini berpikir masalah ini bukan ranah kita, apa yang terjadi saat nanti mungkin sebagian dari kita berada di posisi yang bisa mengubah situasi?


Jadi kesimpulan saya ada tiga saja:

  1. jangan bilang komersialisasi itu tidak terjadi hanya karena m kita sudah menerima kompensasi berupa peringkat dan prestise. Salah besar. Kompensasi yang kita terima jauh lebih sedikit dibanding keuntungan yang “mereka” terima,
  2. perlu segera sadar bahwa yang kita lakukan sekarang ini semata tujuannya untuk memenuhi administrasi dan perlu sadar juga bahwa kualitas tidak ada hubungannya dengan prestise. Kualitas juga bisa diraih dengan cara lain yang lebih ekonomis, karena semua ini dibiayai oleh negara. Kalau riset kita dibiayai pabrik obat, maka lupakan uraian saya di atas, karena sejak awal memang dibangun untuk tujuan komersial,
  3. bahwa semua masalah ini ada dalam ranah kita.

Salam.