Dokumen ini ditulis sebagai masukan untuk acara Webinar Platform riset dan inovasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2020.
Versi google docs dari artikel blog ini dapat dikomentari
Oleh: Dasapta Erwin Irawan (ITB / RINarxiv),
Terima kasih untuk para narsum telah berkenan berbagi pemikiran.
Berikut adalah pemikiran saya
- Riset dan inovasi akan berkembang lebih cepat dengan prinsip sains (terbuka) atau (open) science. Kata “terbuka” dan “open” tidak perlu dipakai sebenarnya, karena sains pada hakekatnya adalah terbuka.
- Keterbukaan sains perlu dilakukan sejak dari hulu ketika riset direncanakan, di tengah saat riset dilaksanakan, hingga di hilir ketika hasil riset dipublikasikan.
- Bila mengamati kondisi saat ini dunia riset dan inovasi lebih condong ke arah hilir, yang diperburuk dengan program kementerian terkait dan lembaga operasional di bawahnya yang hanya berorientasi pemeringkatan.
- Hal tersebut mengakibatkan strategi-strategi yang disusun justru tidak mengarah ke iklim riset dan inovasi yang sehat. Saat ini anggaran kementerian kebanyakan dihabiskan untuk membeli produk-produk yang sebenarnya telah dapat dibuat sendiri. Kita bahkan membeli produk orang lain untuk mengukur kinerja diri sendiri (eg: Scopus dan Web of Science).
- Strategi-strategi yang disusun menggunakan indikator-indikator pemeringkatan yang justru menjauhkan kita dari memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Sebagai contoh: bagaimana bisa paten yang justru kental dengan nuansa persaingan dan ketertutupan digunakan untuk memicu inovasi: Patents are not the only way to incentivize innovation, nor are they necessary for innovation to take place in most cases; … this standard interpretation relies on an unrealistic view of the innovation process. It is based on the traditional Arrovian framework, which considers innovation as an individual and isolated act to produce a public good (knowledge is reduced to information, i.e. is easy to reproduce); Bahwa paten bukan solusi universal untuk inovasi -> The Great IP Debate: Do patents do more harm than good?; These data indicate that the existence of a national patent system may not be necessary to encourage innovation.
- Dengan kentalnya motivasi pemeringkatan membuat konsentrasi lebih banyak ke arah penerbitan makalah. Lebih parah lagi ketika jumlah sitasi mulai dihitung-hitung sebagai simbol dari dampak.
- Salah satu prinsip sains terbuka adalah FAIR: findable, accessible, interoperable dan reusable. Prinsip di atas jelas belum diperhatikan. Jadi kalaupun ada hasil riset yang brilian, yang dapat mengembangkan adalah penelitinya sendiri. Peneliti lain akan sangat sulit bahkan mustahil untuk ikut berpartisipasi karena material riset hanya tersedia sebagai makalah yang tidak reusable.
- Jadi kalau yang dimaksud sebagai platform adalah perangkat lunak atau keras, kita utamanya tidak membutuhkan itu. Yang dibutuhkan pertama kali adalah persepsi untuk melaksanakan sains secara terbuka.
- Berbagai platform agregator telah tersedia sekarang, siap untuk dipakai berkolaborasi, selama material risetnya dibagikan secara terbuka, tidak cukup dengan meningkatkan jumlah makalah OA dalam format PDF yang tidak bisa diapa-apakan (artikel, artikel).
- Kita pakai analogi chef saja. Chef bisa memasak kalau ada resep, bahan baku dan alat. Kalau resep jelas, maka dia bisa mengulang masakan apapun yang telah dimasak orang lain secara persis sama (prinsip reproducibility). Kalau ia sudah bisa mengulang, maka tidak ada halangan lagi baginya untuk membuat masakan itu menjadi lebih enak dalam gaya yang berbeda. Inovasi akan terjadi.
Demikian pemikiran saya ini agar dapat menjadi pertimbangan dalam memacu riset dan inovasi Indonesia.
Salam terbuka atau tertinggal.
Berikut adalah catatan terhadap presentasi (via Youtube)
- File google docs ini dapat disunting dan telah saya sebarkan ke jejaring sains (terbuka). Jadi jumlah penulis mungkin akan bertambah dan “saya” akan berubah menjadi “kami”.
- Salah satu presenter (maaf terlambat gabung, tidak mencatat namanya) menyebut platform kolaborasi Horizon2020 yang dikembangkan oleh Uni Eropa. Horizon2020 juga intensif mempromosikan sains (terbuka) dalam implementasi riset (tautan, tautan, tautan).
- Yang utama dibutuhkan indonesia bukan platform, tapi persepsi sains (terbuka). 🙂
- ”Academics: carry out research (to publish)” mestinya “Academics: carry out research (to disseminate)”
- “generate financial benefit” >> bagaimana bisa mengelola riset sebagai barang publik (krn didanai negara) agar tidak menjadi barang privat? (menjadi profit yg dibagi dlm RUPS).
- “long term commitment” >> kita kekurangan ini.
- [Novana Hutasoit] Pak @Akbar, faktor apa yang dipertimbangkan mitra industri sehingga tertarik untuk melakukan riset dengan perguruan tinggi (misalnya kemampuan peneliti, laboratorium)? >> Terima kasih Bu/Pak Novana H.: pertanyaan yang bagus. bagaimana pula agar mitra industri tidak mendikte akademisi.
- Funding dari perguruan tinggi mengalir ke industri sepertinya kalau di Indonesia juga rawan sangkaan korupsi.
- IPR harus jelas >> IPR jenis paten dan IPR yang memiliki nilai ekonomi tinggi biasanya yang jadi bahan rebutan. untuk hasil yang non paten dan tdk bernilai ekonomi tinggi mestinya aman.
- Tidak ada ruang untuk mencoba menawarkan kreasi kampus ke industri (problem komunikasi). >> bukankah media sosial dan media daring sudah sedemikian banyak?
- Ketika hasil riset sudah memenuhi prinsip FAIR, sebenarnya industri akan mudah sekali menemukan hasil riset (via mesin pencari).
- Outreach peneliti juga kurang, karena hanya konsen ke makalah. akibatnya industri sulit mencari mitra.
- berbagai kerjasama dengan industri seringkali perlu dana pendamping yg perlu disiapkan oleh kampus. ini sulit.
- Terima kasih Pak Wenten, tapi High Quality research bukan hanya identik dengan “High Impact journal”.
- Referensi ini mungkin bermanfaat >> Are university rankings useful to improve research? A systematic review (PLOS) https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0193762.