Mengenai kesuraman, memang derajat kesuraman masing-2 orang akan beda.
Sharing sy tanpa bermaksud menggurui, sy menerjunkan diri menjadi
pendidik sejak lulus thn 1998. Itu pun dari sebuah alasan yang sangat
tidak serius. Singkatnya, ingat serial FRIENDS? Sy meniru Ross Geller.
Dari pertama masuk menjadi asisten, bantu-2 proyek dosen yang setahun
hanya 1 biji, atau bantu mengetik buku dosen, halaman per halaman.
Ambil S2 (dengan beasiswa di ITB dari On Place Scholarship Asia
Uninet), mulai bantu2 kuliah. Don’t get me wrong, the pay check from
the lectures, went in to senior’s pocket. Secara (hehe)mereka yg
terdaftar sebagai pengajar utama.
Kemudian, mulai jg bantu2 di Jurusan dan Fakultas dari open house
sampai disuruh-2 promosi ke SMA-2, yg kadang-2 mereka kelupaan tidak
memfasilitasi dengan diantar mobil ITB sekadar agar tidak repot bawa-2
LCD projector jurusan dan laptop bekas (yg milik sy sendiri) dgn layar
msh 15″.
Tetap sambil jg mroyek yg setahun hanya 1 biji. Dan sy jg pernah
merasakan jadi spesialis pengantar surat ke prof-2 geologi dan
sekitarnya. Benar-2 pengantar surat (literally) … Yang membedakan
dengan staf ekspedisi hanyalah, sy ikut mendraft surat, mengerti
isinya, dan berlatih menjelaskan ke para professor yg antik. Yg saking
antiknya, yg terkadang bisa marah karena kita salah ambil posisi duduk
di rapat. Dan jam mengantarnya terkadang sampai jam 10 malam, ya
sebisanya yg tandatangan surat (baca: PD II).
Lebih lanjut, sy mulai bikin proposal penelitian Hibah Bersaing lagi-2
hanya 1 biji (jd anak buah pula). Sy mencoba membuat proposal ini,
setelah tahun ke-3, artinya 3 times in a row, my proposal went in to
their recycle bin, atau malah trash can untuk langsung dibuang ke
Bantargebang. 🙂
Setelah Hibah Bersaing, trs meningkat Hibah Pascasarjana (ini pun kali
ke-2 baru diterima) hanya 1 biji tapi bisa menyelesaikan kegiatan
lapangan dan analisis laboratorium S3 sy yg dimulai thn 2005. Karena
dorongan dari senior pula, sy terpaksa harus nulis, minimal 1 tiap
tahun. Salah satu contohnya ya ke Bangkok itu. And believe me guys, it
has been too often, my paper rejected with painful notes. hehe.
Kemudian sedikit-2, sambil tetap ngajar di ITB, mulai diajak-2 senior
ke Dikti s/d 2004 menangani SemiQUE, Due-Like, PHK batch I, sambil
teteup mroyek 1 biji /thn. Ya lumayanlah, ngga terlalu besar uangnya
tapi bisa membawa sy jalan-2 ke 20 provinsi. Salah satunya ke Univ
Brawijaya jur Kimia (kalau tidak salah), UNJ (lupa jurusannya), dan PTS-2.
Masalah proyek Pengabdian Masyarakat yg hanya 1 per tahun ini (dan
nilainya kecil beneran karena jadi anak buah) ini juga ujur lo. Infact
sy msh hapal persis proyek-2 sy dari thn 1999 – 2008 kemarin. Hidup sy
di ITB benar-2 tidak pernah buat sy sendiri dengan mencari proyek
sendiri, mengelola sendiri, dll. Waktu sy lebih banyak membantu orang
lain (baca: senior). Pastinya lebih banyak rekan-2 yg lebih leluasa
memanfaatkan waktu karena punya bargaining power ke seniornya lebih
tinggi, atau at least lebih nekat. hehe.
Nasib membawa sy menjadi Asisten Akademik ITB mulai 2005. Kalau di
Bahasa Inggriskan sih keren, academic assistant atau TA (teaching
assistant). Namun sebenarnya ini adalah crash program bagi para dosen
yg sudah dikader yg tidak eligible masuk CPNS tahun 2005. Kemudian
baru thn 2007 diakui eksistensinya untuk diajukan menjadi CPNS. Suatu
status yg bahkan sdh sy kesampingkan keberadaannya.
Baru thn 2005 sy memberanikan diri menjual mobil jepang thn 90
ditambahin sedikit tabungan untuk DP rumah dan membeli mobil Eropa
semacam mobilnya Ahmadinejad Peugeot 504 thn ’82 yg sampai saat ini sy
pakai. Kegiatan-2 diatas terus saja seperti itu, mengalir… Senyaman
naik mobil tua sy. Atau senyaman sy melihat senyum bahagia mahasiswa
S1 atau S2 sy yg lulus dengan nilai A, dan anehnya mereka berterima
kasih kepada sy, yg hanya pembimbing bayangan berstatus Pemprof
(Pembantu Profesor) hehe. Yg bahkan saat itu belum berhak duduk di
ruang sidang.
Jadi dengan rentetan kenyaman “in tangible” seperti itu, sy tidak
tahu, apakah sy termasuk yg tergolong suram atau tidak. Kalau
dibandingkan dengan (maaf harus membandingkan) dengan teman2 seumur yg
jadi dosen di perminyakan, sangat jauh. Mereka sdh memenuhi parkiran
kampus dengan Corolla Altis, Cherokee, Grand Livina, dll. Atau teman-2
sy di oil company swasta, yg bisa menghabiskan uang 35 jt untuk
membangun sepedanya, yg “saking” ringannya (dan mahalnya bahannya)
bisa diangkat hanya dengan 1 jari.
But then again, sy msh merasa nyaman pakai mobil tua sy dan motor
Honda sy, tinggal di rmh tipe 70 (lebih sedikit) di pinggiran Antapani
Bandung Timur yg tetap standar belum diperluas apalagi ditingkat.
Kembali lg, pastinya lbh banyak lg rekan-2 yg bisa lbh mengatur
waktunya untuk “pribadi” (baca: keluarga) tanpa harus mengorbankan kuliah.
So, you guys tell me, is it wrong to say that we’re not so unlucky and
gloomy, as a teacher.
-erwin@kandanggajah