Coklat, inovasi, dan paten

Author:
https://images.unsplash.com/photo-1542843137-8791a6904d14?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Artikel pendek ini berawal dari mini seri The Wonderful World of Chocolate yang tayang di Natgeo. Walaupun saya adalah penggemar kopi, tapi saya adalah juga pengamat coklat. 🙂


Dalam episode-episode tersebut dikisahkan perkembangan inovasi coklat sejak tahun 1920an. Berawal dari buah terlarang yang hanya boleh dikonsumsi oleh para raja, mesin pengolah coklat yang ditemukan secara tidak sengaja, perpecahan keluarga yang berujung kepada coklat batangan yang terkenal di dunia, hingga dongeng tentang Willy Wonka, seorang pemilik pabrik coklat yang nyentrik.

https://images.unsplash.com/photo-1587930610101-8c89ed00c5da?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Kalau Anda melihat coklat sekarang sebagai sebuah sumber kebahagiaan, dulu coklat dari pohon kakao ditemukan oleh peradaban Maya dan Aztec di tahun 1800an SM. Kakao kemudian berkembang sebagai sumber perpecahan, selayaknya rembah-rempah di Kepuluan Banda yang menjadi komoditas rebutan antar bangsa penjelajah. Tercatat Columbuslah yang membawa kakao dari benua baru Amerika ke daratan Eropa dalam perjalanannya yang ke-4.

Singkat cerita bergeser ke tahun 1920, kakao ternyata bisa diolah jadi makanan dan minuman setelah alat penggilingnya ditemukan pada tahun 1729. Pada tahun 1930an industri coklat makin berkembang dengan variasi produk dan kemampuan produksi yang makin banyak. Ini didukung dengan beragamnya invensi dalam pengolahan coklat. Merek—merek seperti Cadbury, Lindt, Hershey’s muncul di periode ini.

https://images.unsplash.com/photo-1583736902935-6b52b2b2359e?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Geser ke dunia masa kini. Industri coklat tidak banyak berubah dibanding saat era awal fabrikasi coklat di tahun 1920an. Hanya lebih besar skalanya, lebih cepat prosesnya, dan lebih luas jangkauan produksinya.

Apa benang merahnya?

Yang pertama adalah uang privat

Perkembangan industri dan inovasi coklat dibiayai dengan dana privat para pemiliknya. Contoh saja, Frank Mars, warga Amerika Serikat yang hijrah ke Inggris untuk mendefinisikan ulang coklat dengan membuat coklat batang Mars, bermodalkan 50 ribu dolar dari orang tuanya. Walaupun Frank Mars pergi karena marah kepada ortunya, sepertinya doa ortu tetap menyertainya. Perusahaan coklatnya saat ini bernilai tidak kurang dari 90 milyar dolar.

Yang kedua adalah paten

Di dalam sekotak Hershey’s atau Cadbury yang menyenangkan terdapat dunia persaingan yang penuh dengan paten. Paten berkaitan dengan proses, resep, mesin pengolah, mesin pengepakan, hingga bentuk kemasan. Persaingan bisnis juga melatarbelakangi rasa coklat yang menggugah rasa. Cerita yang mirip juga terjadi di dunia usaha minuman. Konon desain botol Coca Cola tidak dibuat oleh perusahaan itu, tetapi oleh perusahaan pengemasannya. Dulu di awal usahanya, pemilik Coca Cola merasa kerepotan menangani proses pengemasannya. Jadi proses itu diserahkan ke pihak lain. Ketika perusahaan pengepakan itu menemukan desain botol yang cantik sekaligus fungsional, maka Coca Cola pun membeli patennya, seharga 1 dolar. Ini karena pihak pengepakan tidak pernah mengira desainnya yang sederhana itu akan menjadi legenda. 🙂 ya begitulah.

https://images.unsplash.com/photo-1488554378835-f7acf46e6c98?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Intinya dunia coklat seperti halnya dunia usaha yang padat modal privat lainnya, penuh dengan persaingan yang salah satunya berwujud paten. Siapa yang menemukan sesuatu lebih dulu, akan menyimpannya rapat-rapat sebelum patennya disetujui.

Apa hubungannya dengan sains terbuka?

Ada hubungannya, yakni fakta bahwa mayoritas dana riset Indonesia didanai oleh negara, serta permintaan negara sendiri untuk menghasilkan banyak paten dari dana riset itu, melalui berbagai regulasinya. Bahkan berbagai riset yang terkait dengan Covid termasuk yang ingin dipatenkan.

Jumlah paten memang telah lama dipakai sebagai indikator kemajuan inovasi suatu perguruan tinggi, dan pada akhirnya secara akumulatif akan mencerminkan inovasi pada tingkat negara. Berbagai sosialisasi dan himbauan oleh pimpinan perguruan tinggi selalu memuat pentingnya paten.

Kenapa paten tidak sesuai dengan semangat sains terbuka?

Ya tidak sesuai, terutama bila suatu paten berawal dari riset yang didanai negara. Runutannya begini:

  • Setiap riset yang didanai pasti membutuhkan proposal.
  • Pada setiap proposal selalu ditonjolkan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat, baik skala lokal, nasional, dan internasional, serta apa dampaknya bila riset tersebut tidak dilaksanakan (karena tidak lolos seleksi).
  • Kemudian ketika proposal lolos seleksi dan didanai, hasil akhirnya akan dipatenkan.
  • Kenapa harus dipatenkan? Menurut regulasi adalah untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) penemunya (inventornya). Ini juga akan kami bahas di bawah.
https://images.unsplash.com/photo-1551806406-553417833005?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Agar dapat dipatenkan, maka hasil invensi itu tidak dapat dipublikasikan terlebih dahulu. Ini sudah sering disampaikan berbagai nara sumber. Salah satunya adalah berikut ini.

“Juldin menjelaskan bahwa hasil penelitian yang berpotensi paten harus didaftarkan patennya terlebih dahulu dibandingkan dengan publikasi di jurnal untuk memastikan agar perlindungan patennya didapatkan. “Berdasarkan UU Paten, jika lebih dari enam bulan setelah publikasi di jurnal tidak didaftarkan patennya, maka invensi tersebut tidak dianggap baru dan tidak dapat diberikan paten.” Lanjutnya.” (https://risbang.ristekbrin.go.id/publikasi/berita-kegiatan/kemenristekdikti-informasi-hasil-penelitian-yang-berpotensi-paten-jangan-disebarkan-sebelum-dilindungi-kekayaan-intelektualnya/)

Jadi artinya hasil riset yang awalnya bertujuan untuk memberikan solusi bagi masyarakat, harus ditunda publikasinya, dengan alasan agar dapat dipatenkan. Berapa lama proses paten, saya kurang tahu. Mohon pendapat dari pembaca yang memahaminya. Artinya masyarakat perlu menunggu, sehingga dampak buruk yang disampaikan dalam proposal bisa saja terlanjur terjadi. Padahal yang memberi dana riset adalah masyarakat melalui berbagai instrumen, salah satunya pajak.

Ada temuan yang tidak dapat dipatenkan

Lebih jauh lagi, ketika banyak narasumber menyampaikan pentingnya paten dan bahwa paten adalah salah satu luaran riset yang tercantum dalam regulasi, mereka lupa bahwa ada beberapa jenis invensi/temuan yang tidak dapat dipatenkan menurut UU 13/2016 tentang Paten, ada beberapa jenis invensi yang tidak dapat dipatenkan:

A. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

B. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/ atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

C. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;

D. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau

E. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.

Barang privat dan barang publik

Sebelumnya saya sampaikan kembali bahwa artikel ini membahas paten yang risetnya didanai negara. Adapun kalau risetnya didanai oleh swasta, tidak perlu dibahas di sini, karena para prinsipnya idealnya barang privat (private goods) berasal dari barang privat dan barang publik (public goods) berasal dari barang publik juga.

https://images.unsplash.com/photo-1616747940474-50fa26f49357?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Kalau yang kita bicarakan adalah obat yang dibuat oleh pabrik obat dengan uangnya sendiri, maka hak mereka untuk mematenkan itu. Namun perlu juga diperhatikan uraian di atas, tentang beberapa jenis barang yang tidak dapat dipatenkan.

Nah sekarang, dengan berbagai prasyarat yang sangat kaku saat mengajukan paten, apakah bisa ketika sudah disetujui, sebuah paten dapat diperlakukan sebagai barang publik? Saya sudah mencoba mencari informasi, apakah sebuah paten dapat terdaftar sebagai milik suatu negara, bukan pribadi atau lembaga. Tapi belum berhasil menemukannya. Mohon juga ada yang menyampaikan kalau memang ada.

Lantas bagaimana cara melindungi HKI pencipta?

Ada banyak cara untuk riset yang dibiayai negara, dengan asumsi bahwa barang publik akan menghasilkan barang publik. Jadi tidak perlu ditutup-tutupi atau ditahan publikasinya. Kalau bisa bahkan harus sebanyak mungkin orang dapat membuat ulang invensi yang dihasilkan oleh riset negara.

https://images.unsplash.com/photo-1593444285553-28163240e3f1?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Yang paling mudah untuk melindungi HKI adalah menggunakan lisensi, salah satu yang dapat dipakai adalah lisensi Creative Commons. Para pembaca dapat mempelajari berbagai rujukan tentang lisensi CC ini.

Bila dirasa kurang kuat, dapat ditambah dengan pendaftarannya ke Kemenhukham untuk mendapatkan sertifikat HKI. Walaupun sebenarnya ini tidak dibutuhkan, tapi ada banyak kolega saya yang merasa lebih yakin terlindungi bila telah mendaftarkan ciptaannya dan telah mendapatkan sertifikat ini.

Semudah itukah?

Iya, dengan kondisi bahwa barang publik akan menghasilkan barang publik.

Bila ada pembaca yang lebih memahami lisensi terbuka, mohon dapat memberikan komentar.

Jadi apa pesan utamanya?

Pesan utamanya sederhana, barang publik harus menghasilkan barang publik. Jadi kalau ada riset dibiayai publik, maka hasilnya adalah untuk publik, terutama bila hasilnya berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Yang berat menurut saya adalah karena negaralah yang minta peneliti menghasilkan paten. 🙂

Siklus yang mudah diputus bila pembuat kebijakan memahaminya.

https://images.unsplash.com/photo-1504507926084-34cf0b939964?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb