Mahal tapi (mungkin) jurnal atau penerbit tidak bertanggung jawab terhadap isi

Author:

Sebelum masuk ke obrolan utama, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini dibuat menggunakan Notion. Notion adalah sebuah aplikasi daring serbaguna. Anda dapat menggunakannya sebagai perangkat mencatat, website pribadi, website proyek, bahkan untuk mencatat daftar belanjaan. Karena daring, apapun yang Anda masukkan ke Notion, akan segera tersedia ke seluruh perangkat yang Anda gunakan, laptop, komputer meja, ponsel, dan tablet. Bahkan, dalam kasus saya, Notion saya gunakan untuk menayangkan materi kuliah satu semester, karena saya dapat menempelkan dengan cepat berbagai layanan awan (cloud services) lainnya agar konten menjadi lebih lengkap. Notion, saya pikir, akan cocok untuk para pendidik dan peserta didik. Silahkan klik tautan ini untuk melanggan.

Ok sekarang kita kembali ke konten utama.


Saat membeli sepatu

Ketika Anda membeli sesuatu, maka mestinya yang Anda beli adalah kualitasnya. Saat membeli sepatu lari, misalnya. Kenapa Anda memilih sepatu yang lebih mahal harganya? Kalau kita anulir faktor gengsi, hampir pasti karena kualitasnya lebih baik atau karena desainnya ciamik.

Photo by Chris Lawton on Unsplash

Apa yang terjadi ketika dalam waktu seminggu, atau baru dipakai lari 20 km, sepatunya sudah rusak, pasti Anda akan komplain. Ke mana Anda akan komplain? Mungkin ke tokonya ya? Dengan harapan Anda bisa mendapatkan pengganti sepatu yang baru.

Namun toko bisa saja menolak. “Kalau sepatu rusak, ibu/bapak harus komplain ke pabrik yang membuat. Ini saya berikan no telpon call center nya”, bisa saja begitu kata pegawai tokonya.

Sekarang apakah Anda bisa mengirimkan protes ke pembuat sepatunya? Tentu bisa. Apalagi di zaman medsos seperti sekarang. Dalam waktu yang bersamaan Anda bisa mengirimkan komplain ke toko sekaligus ke pabrik sepatunya.

Nah sekarang kalau saya tanya kepada Anda.

Toko dalam hal ini perannya besar atau kecil? Tentu Anda akan menjawab besar perannya. Tapi apakah keberadaannya tidak tergantikan? Tentu akan Anda jawab bisa digantikan, karena kalau tidak membelinya di Toko A, Anda dapat membelinya di Toko B.

Jadi sebesar atau sekeren apa tokonya, posisinya masih dapat digantikan toko yang lain. Bahkan pasti Anda setuju kalau saya bilang, produk sepatu lari tertentu tidak dijual di toko yang besar, tapi justru ada di toko yang lebih kecil atau lebih tidak keren.

Ya betul. Posisi toko di sini adalah perantara atau penghubung antara produsen (pabrik sepatu) dengan pelanggan, yaitu Anda. Jadi toko akan selalu mempercantik tokonya agar lebih cantik dibanding toko sebelah untuk menarik perhatian Anda. Agar Anda masuk ke toko itu, bukan ke toko yang lain.

Untitled

Jadi dalam ekosistem sepatu lari, setidaknya ada empat pemangku kepentingan:

  1. Kita, sebagai pelanggan, konsumen.
  2. Pemberi modal, yang memberi modal kerja ke pabrik.
  3. Pabrik sepatu, yang membuat. Walaupun seringnya pemberi modal dan pabrik ada dalam satu kotak, tapi sebenarnya mereka berdua ini ada dalam ruangan yang berbeda.
  4. Toko sebagai penghubung antara pabrik dan konsumen.

Eurodoc Open Science Ambassador Training #4: Open Peer Review (Jon Tennant)

Analogi toko sepatu

Nah sekarang mari kita lihat dunia kita, dunia riset, dunia akademik.

Untitled

Dalam ekosistem kita ada empat pemangku kepentingan utama:

  1. Kita, pastinya, sebagai peneliti.
  2. Pemberi dana riset.
  3. Jurnal ilmiah, sebagai media tempat publikasi.
  4. Pembaca sebagai konsumen.

Nah tapi jangan lupa. Dalam dua model di atas selalu akan ada kelompok ke-5, yaitu kelompok mendang-mending.

Kelompok “mendang-mending”. Nah ini sebenarnya bagian dari konsumen, tapi yang karakternya aneh. Kerjanya mengomentari kesaksian (testimoni) pelanggan lain, tapi seringnya kelompok ini belum pernah mencoba langsung produk yang mereka rekomendasikan.

Mirip tapi tidak sama

Sekilas dua model pemangku kepentingan di atas seperti mirip-mirip saja. Tapi jangan salah.

Untitled
  1. Kita, pastinya, sebagai peneliti. Kita di sini bisa berperan juga sebagai pembaca. Artinya kita sebagai peneliti sekaligus sebagai konsumen.
  2. Pemberi dana riset. Ini jelas, negara. Di Indonesia, mayoritas dana riset berasal dari negara. Kalau di negara lain, selain dari negara, dana riset bisa berasal dari organisasi nirlaba, perusahaan swasta, dll.
  3. Jurnal ilmiah, sebagai media tempat publikasi. Jangan lupa, karena sebagian besar telah berbentuk organisasi komersial (for profit), maka jurnal ilmiah juga punya pemberi modal.
  4. Pembaca sebagai konsumen. Seperti halnya no 1, pembaca ini ya kita, para peneliti.

Nah sekarang ada beberapa hal yang mungkin membuat Anda salah terka.

  1. Peneliti (penulis) adalah sebagai produsen ilmu pengetahuan. Pembaca adalah konsumen. Dalam hal ini, peneliti pada kesempatan lain akan menjadi pembaca, begitu pula, pembaca di lain waktu akan beralih fungsi menjadi peneliti. Artinya posisi produsen dan konsumen dapat saling bertukar tempat. Oleh karenanya, saya menyatukannya.
  2. Kedua pihak, peneliti dan pembaca memanfaatkan konten yang dipublikasikan oleh jurnal ilmiah. Untuk mengingatkan kembali, konten jurnal ilmiah berasal dari peneliti, sedangkan jurnal ilmiah bukan perguruan tinggi. Jadi jurnal ilmiah sama sekali tidak menyediakan sumber daya agar peneliti dapat meneliti dengan baik. Sumber daya disediakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi mendapatkan dana dari pemberi dana riset (grant funder). Dalam hal situasi di Indonesia, pemberi dana riset terbesar adalah kementerian atau pemerintah. Jadi kementerian akan memberi dana kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian, yang hasilnya diterbitkan oleh jurnal ilmiah.
  3. Sampai no 2, cerita ini masih terdengar seperti dongeng yang indah. Bahwa semua orang hidup bahagia selamanya (live happily ever after). Sampai kemudian kita ke no 3 ini. Jadi jurnal ilmiah yang kita bicarakan ini adalah yang dimiliki oleh penerbit yang merupakan entitas bisnis, misalny: Elsevier, Springer-Nature, Taylor-Francis, Wiley, MDPI, Hindawi, dan yang sejenisnya. Pemiliknya adalah para pemegang saham (kita sebut sebagai pemberi modal atau pemodal). Seperti layaknya perusahaan lainnya, para pemegang saham ini mengharapkan keuntungan, yang dibagi saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
  4. Nah karena jurnal ilmiah yang kita bicarakan ini dimiliki oleh perusahaan, maka wajar kalau semua uang yang masuk ke jurnal akan terdata ke perusahaan, dan diakhir tahun diakumulasikan dan diperhitungkan untuk mengetahui berapa keuntungan. Jadi jurnal di sini seperti outlet saja yang menjadi perantara masuknya uang dari ekosistem akademik ke para pemilik perusahaan ini (pemodal). Satu lagi, produk dari perusahaan-perusahaan itu bukan hanya jurnal, bisa yang lain, misal: basis data pengindeks, layanan bahasa, media sosial peneliti, dll.
  5. Uang yang masuk ke jurnal ini bisa dalam dua bentuk. Jenis pertama adalah uang yang dibayarkan oleh pembaca untuk membeli makalah (model non-OA). Pembelian bisa bersifat eceran per makalah, bisa bersifat bulk yang dibayarkan oleh perguruan tinggi atau setingkat kementerian. Jenis kedua adalah uang yang dibayarkan oleh penulis untuk menutup biaya penerbitan, dikenal sebagai Article Processing Charge (model OA). Dengan membayar APC ketika artikel diterima, maka pembaca dapat langsung mengunduh makalah secara gratis, karena biaya penerbitannya telah dibayar oleh penulis.

Sampai nomor 5, mulai jelas kalau ekosistem akademik, termasuk pemberi dana riset (dalam kasus kita adalah kementerian) pada semua level melakukan pembayaran ke perusahaan. Menggunakan model apapun, OA atau non-OA, tetap saja uang mengalir ke perusahaan penerbitan. Dari gambar saya di atas jelas, siapa yang paling banyak keluar uang dan siapa yang paling banyak menerima uang.

Nah sekarang, pasti ada di antara Anda yang bilang kalau reputasi yang dihasilkan adalah salah satu bentuk keuntungan yang didapatkan oleh ekosistem akademik.

Ya, itu hanya kalau Anda berpikir pendek. Sekarang mari kita berpikir sedikit lebih panjang. Sedikit saja.

Kalau memang jurnal dianggap sebagai cerminan reputasi karena proses peninjauan sejawatnya, mari kita telisik. Siapa yang melakukan peninjauan sejawat? Mereka adalah peneliti juga. Kawan-kawan kita juga, walaupun kita tidak saling kenal. Para peninjau itu bukan pegawai jurnal atau pegawai penerbit. Mereka tidak masuk ke dalam daftar gaji perusahaan. Mereka tetap saja digaji tiap bulan untuk kegiatan utamanya sebagai pendidik dan peneliti (di Indonesia disebut Tridarma Perguruan Tinggi) oleh perguruan tinggi masing-masing atau oleh negara.

Jadi gaji para peneliti (termasuk kita) tidak memperhitungkan waktu yang digunakan untuk meninjau atas perintah “orang lain”, walaupun kegiatan itu dinilai sebagai pengabdian kepada masyarakat (pengmas). Padahal kalau dilihat dari inti kegiatannya, tidak bisa juga disebut pengmas, karena kita bahkan tidak berhubungan langsung dengan rekan peneliti yang menjadi penulis.

Mahal tapi (mungkin) jurnal tidak bertanggung jawab terhadap isi

Sekarang kita masuk ke judul. Judul di atas muncul ketika saya melihat pengumuman yang dikeluarkan oleh Springer-Nature di bawah ini. Dalam situs ini dijelaskan bahwa Springer-Nature telah mengatur prosedur bila ada masalah terkait dengan makalah atau material lain yang mereka terbitkan.

Jadi para pembaca didorong untuk menuliskan komentar dalam berbagai cara, misal: menulis makalah komentar (commentary piece) atau menuliskan komentarnya di kotak komentar bila fitur itu tersedia.

Yang menarik adalah bagian yang saya tandai di bagian bawah. Intinya kalau ada masalah, secara umum pertama kali pembaca diminta menghubungi langsung penulisnya. Kalau tidak selesai, baru bisa menghubungi jurnal.

Sekarang mari kembali ke beberapa paragraf sebelumnya, tentang peninjauan sejawat. Makalah yang “bermasalah” itu mestinya juga sudah menjalani peninjauan sejawat. Yang melakukan peninjauan adalah rekan-rekan peneliti. Pengelola jurnal bertindak hanya sebagai pengawas. Kemudian kalau ada masalah, pembaca diminta menghubungi penulis langsung.

Saya membayangkan kalau masalah tidak selesai di situ, maka para peninjau bisa saja ikut dihubungi. Kalau tidak selesai juga, mungkin jurnal akan mengundang peneliti lain sebagai pihak independen untuk menilai isi makalah. Kalau tidak selesai juga, karena bisa saja memang ditemukan kesalahan, maka jurnal biasanya akan menarik makalah sebagai langkah terakhir (paper retraction).

Kalau melihat hal tersebut, sepertinya pihak yang paling tidak beresiko adalah jurnal. Memang ada faktor reputasi jurnal yang terganggu kalau ada makalah atau ada banyak makalah yang ditarik. Tetapi karena punya uang, biasanya jurnal dari penerbit besar akan punya cara untuk menetralkan situasi itu, misal dengan melakukan operasi kehumasan tertentu.

Sementara para anggota kelompok akademik siapa yang akan melindungi? Misal para peninjau, apa mereka kemudian dilindungi oleh perguruan tingginya masing-masing?

https://www.nature.com/nature/for-authors/matters-arising

Jadi apa bedanya dengan kasus komplain sepatu rusak di atas?

Kalau urusan sepatu rusak, jelas ke siapa kita perlu mengirimkan keluhan, yaitu ke pabrik sepatu. Jelas pihak yang berbeda. Pabrik membuat dan kita sebagai konsumen adalah sebagai pengguna.

Bagaimana dengan dunia publikasi? Menjadi agak aneh, karena segala keluhan dikirimkan ke para penulis/peneliti. Kalau dilihat lebih mendalam lagi, keluhan pembaca ditujukan ke diri sendiri, karena pada dasarnya pembaca dan penulis adalah peneliti. Mereka berdua berada di pihak yang sama.

Nah kalau memang publikasi penelitian dibuat oleh peneliti dan dibagikan untuk peneliti yang lain, kenapa harus jauh-jauh melibatkan pihak lain yang tidak memberikan apa-apa kepada aktivitas penelitian?

Saran saya apa?

Saran saya ada tiga:

  1. Jangan terlalu naif.
  2. Menyadari situasi dan kesalahan yang terjadi, dan setidaknya tidak turut mempromosikan hal yang salah.
  3. Pamerkan isi makalahnya, bukan jurnalnya.