Bab: Limitasi pemeringkatan perguruan tinggi

Author:

Artikel blog ini merupakan bagian draft tulisan Catatan tentang pemeringkatan perguruan tinggi dunia. Akan saya muat secara acak di sini, karena memang pemikirannya bersifat acak. Kalau meminjam terminologi komputer, otak saya seperti Random Access Memory (RAM). Tapi yang jelas bukan Read Only Memory (ROM), karena saya selalu akan membagikan perkembangannya.

2.3 Limitasi

2.3.1 Diversitas

Bila diperhatikan, maka limitasi untuk pemeringkatan konvensional adalah masalah diversitas. Seluruh pemeringkatan itu hanya menilai kinerja perguruan tinggi dari kriteria dan basis data yang terbatas. Sebagian besar malah melakukan diskriminasi terhadap bahasa selain Bahasa Inggris untuk alasan internasionalisasi. Seluruh pemeringkatan konvensional dibangun berdasarkan kondisi yang ada di benua barat, dengan budaya riset yang sudah stabil. Secara nyata kondisi tersebut tidak dapat mencerminkan atau tidak bisa digunakan untuk mengukur perguruan tinggi di belahan dunia lainnya yang kondisinya sangat berbeda.

Untuk pemeringkatan non-konvensional, UI Green Metric mungkin adalah satu-satunya yang merekam kondisi suatu perguruan tinggi di luar jumlah publikasi dan sitasinya. Bahkan untuk pemeringkatan dengan lingkup yang “sempit“ seperti Green Metric, masih belum dapat digunakan untuk memetakan keinginan dan kemampuan berbagai kampus untuk berpartisipasi dalam menata lingkungan secara berkelanjutan. Indikator-indikator yang digunakannya memang lebih riil tetapi mungkin saja juga tidak dapat diikuti oleh perguruan tinggi yang masih baru berdiri dengan luasan lahan tertentu atau perguruan tinggi yang walaupun sudah berdiri lama dan stabil tapi berada pada lahan yang sempit. Kedua kondisi tersebut menghambat perguruan tinggi untuk berinovasi berkaitan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

2.3.2 Analogi pelari

Analogi yang mungkin dapat digunakan adalah: analogi pelari. Seorang pelari yang telah lari sejak kecil, akan memiliki ketahanan dan kecepatan yang berbeda dengan pelari yang baru memulai lari pada usia belasan tahun. Itu akan berbeda pula untuk pelari berusia 40 an. Mungkin ada pelari belasan tahun atau usia 40 an yang memiliki ketahanan dan kecepatan yang dapat disandingkan dengan pelari usia dini, tetapi pastinya tidak banyak. Pemeringkatan perguruan tinggi seolah mengukur pelari dari berbagai usia, kondisi, dan program latihan sebagai pelari yang sama. Jelas tidak adil, atau tidak logis. Uniknya adalah para pelari umumnya akan mengikuti hasil pemeringkatan tanpa melihat kondisi fisik, program latihan, dan gizinya. Mereka akan berpacu ingin menjadi yang pertama bersaing dengan para pelari dengan program latihan special sejak usia dini. Hasilnya hampir dipastikan dapat merusak pelari-pelari itu sendiri.

Bukannya pelari secara umum tidak akan dapat mengikuti prestasi pelari-pelari khusus, tetapi ada berbagai kondisi dasar yang perlu disetarakan dulu, yaitu indikator-indikator dasar, seperti: gizinya, program latihannya, mungkin struktur biaya hidupnya agar ia tekun berlatih tanpa pusing perlu bekerja di banyak tempat untuk menghidupi dirinya, dll. Bila itu semua telah disetarakan, barulah ada kemungkinan bisa bertanding.

Namun demikian ada pemikiran lain, bahwa tujuan masing-masing orang untuk berlari, tidaklah sama. Ada yang memang berlari untuk memenangi kejuaraan, tapi ada juga yang hanya untuk kesehatan secara umum, misalnya ingin menjaga berat badan, atau ingin melatih lutut yang cidera. Apakah kedua jenis pelari ini dapat disetarakan? Bisakah pelari kejuaran memandang rendah pelari-pelari umum, atau sebaliknya haruskan pelari-pelari umum merasa rendah diri ketika mereka berinteraksi dengan para pelari kejuaraan? Mestinya tidak. Bukankah para pelari itu perlu melihat tujuan awal mereka berlari saat menjadi pembanding atau menentukan arah selanjutnya.

2.3.3 Keterbatasan data

THES SDG juga mungkin akan memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi perguruan tinggi di Asia, Asia Tenggara khususnya, atau negara-negara selatan (global south), karena di negara-negara tersebut kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan masih jarang atau sangat sedikit yang dilebeli dengan SDG, misal: bila suatu perguruan tinggi mengadakan penelitian tentang bidang X, jarang dihubungkan atau diberi label terkait dengan SDG no A. Begitu pula juga untuk publikasi, sangat sedikit jurnal ilmiah, yang terbit di luar dan dalam negeri yang meminta penulis memasukkan SDG yang relevan dengan makalahnya. Bisa jadi pengelola jurnal yang melakukan hal tersebut, tetapi pilihannya bisa jadi tidak sesuai dengan pilihan penulis (bila mereka ditanya).