Masih Tentang Indonesia yang Berada di Peringkat Kedua Dunia

Author:

Berikut ini adalah komentar saya berkaitan dengan penerbitan makalah lama berjudul Predatory publishing in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences (ditulis oleh: Vit Machacek dan Martin Srholec) yang telah terbit di tahun 2021. Karena adanya protes dari Frontiers dan beberapa tinjauan pasca publikasi (post-publication reviews) yang tertutup, makalah itu lalu ditarik (retracted) di jurnal Scientometric. Kemudian setelah serangkaian perdebatan yang didokumentasikan oleh Martin Srholec dalam blog-nya, makalah itu kemudian diterbitkan ulang di Jurnal Quantitative Science Studies (QSS). Kasus ini sekaligus menandai sejarah yang merekam bahwa makalah yang telah ditarik oleh suatu jurnal dapat diterbitkan ulang oleh editor jurnal lainnya.

Makalah lama ini kemudian muncul lagi ke permukaan setelah dijadikan rujukan oleh Tim Jurnalis Tempo dalam artikel investigatifnya yang berjudul Skandal Guru Besar Abal-Abal (Majalah Tempo edisi 8-14 Juli 2024). Tim jurnalis menggunakan makalah tersebut untuk membuat infografis berikut ini.

Sejak itulah makalah tersebut viral di kalangan akademik Indonesia. Lalu Ilham Akhsanu Ridlo mengomentari makalah QSS itu dalam blognya, yang juga telah mendapatkan komentar dari salah satu Guru Besar Indonesia.

Semoga tidak bingung dengan rentetan kronologinya. Selamat membaca. Tidak panjang kok.


Terima kasih Mas Ilham sudah mengangkat tema ini lagi. Salut juga untuk jurnalis Tempo dalam menginvestigasi perkara ini.

Komentar pendek saya begini:

  1. Terlepas dari kontroversi paper QSS, ada kecenderungan bahwa penulis-penulis asing yang menulis tentang tema sejenis dan sekaligus menganalisis negara-negara yang terlibat, mengeneralisasi dan sering “overclaim“. Salah satu contoh dari saya adalah Fry etal (2023), yang kemudian saya dan rekan tulis post publication review-nya di RINarxiv. Dalam kasus QSS ini juga mirip-mirip saja. Mestinya mereka hanya memperlihatkan data dan apa saja yang dapat ditarik dari data itu, misal: menghubungkan metadata penulis, lembaga dll. Statistika dasar saja. Bukan menghubungkan atau bahkan mencari penyebabnya.
  2. Berkaitan dengan unsur politik dalam publikasi ilmiah, seperti yang ditekankan oleh penulis dalam blogpost-nya, adalah hal yang jamak terjadi, tapi mungkin sedikit saja yang terungkap. Karena itu, saya sering mengingatkan para peneliti agar bersikap “biasa saja” jangan terlalu gegap gempita, ketika makalahnya terbit, di Nature sekalipun. Biasa saja, karena pada dasarnya, konflik kepentingan di antara jurnal dan di antara penerbit akan selalu ada. Kembali ke makalah QSS ini, Ludo Waltman sebagai orang yang dianggap menjadi penolong oleh Martin Shrolec, juga bukan tidak mungkin punya konflik kepentingan, yaitu untuk menaikkan visibilitas dari jurnal QSS yang baru berdiri empat tahun. FYI QSS ini bereputasi rebelious, karena merupakan wadah exodus banyak peneliti yang sebelumnya menjadi editor atau mitra bestari jurnal-jurnal scientometrics, termasuk Informetrics dan Scientometrics.
  3. Kasus makalah ini sekaligus membuktikan bias dari para penerbit (pemain) besar terhadap karya-karya ber-genre Library and Information Science (LIS) atau scientometrics. Kalau Frontiers (contoh saja) tidak bias, maka mestinya mereka akan bereaksi dan meminta setiap makalah ditarik kalau menggugat reputasi mereka. Setidaknya ada enam makalah yang melakukan hal itu (file RIS di sini).

Dari saya itu saja. Terima kasih juga untuk Pak Arief yang telah menghangatkan diskusi ini dan diskusi lainnya yang sejenis.