Post ini awalnya merupakan kumpulan twit saya saat merespon twit di bawah ini dari Bapak Nadirsyah Hosen.
Kenapa universitas Islam di Timur Tengah ataupun di Asia tidak bisa masuk ranking 100 top universitas di dunia? Ada apa dg kita? pic.twitter.com/5CJChWnmvi
— Nadirsyah Hosen (@na_dirs) June 21, 2017
Apa (salah satu) penyebabnya?
Beberapa penyebabnya adalah:
- yang malas menulis, memilih lebih banyak bicara;
- yang rajin menulis, bingung akan menulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris;
- yang rajin menulis dalam Bahasa Indonesia bingung mau mengirimkannya ke jurnal yang terakreditasi atau tidak;
- yang rajin menulis dalam Bahasa Inggris bingung akan mengirimkannya ke jurnal dengan Impact Factor dan atau yang terindeks Scopus atau tidak;
yang tidak masuk golongan ke-1 s/d 4 di atas, menetapkan aturan-aturan yang menyebabkan golongan ke-1 s/d 4 jadi mengurungkan niat untuk menulis.Semoga ini tidak terjadi.
Prinsip inclusion dalam sains
Let’s face it, we communicate our ideas way better using our native language. Bukan hanya kita yang non-native English speaker saja. Coba tanya hal ini pada penulis native English speaker, “bahasa apa yang mereka pilih untuk menyatakan ide?” Pasti jawab mereka, “ya Bahasa Inggris lah” :). Beruntung bagi mereka, saat ini bahasa itu jadi lingua franca sains.
Namun perkembangan selanjutnya, prinsip inclusion sudah masuk ke pemikiran para penggiat #openscience. Bahwa bahasa sains bukan hanya Bahasa Inggris. :). Orang Indonesia harus dibangun kepercayaan dirinya untuk menulis tanpa ada tembok-tembok virtual berupa aturan-aturan yang mematikan semangat. :).
Kebetulan saya masuk tim ber-31 dengan penulis-penulis dari berbagai negara mengenai future form of peer review. Linknya ada di sini: Read-Only Overleaf. Dalam tim itu disepakati bahwa proses peer review adalah proses yang harus memperhatikan language bias. Bahwa originalitas suatu makalah dapat saja kabur bila si penulis menyampaikannya dalam Bahasa Inggris yang kurang baik. Standar baku yang dilakukan adalah mengembalikan naskah untuk mendapatkan sentuhan ahli Bahasa Inggris. Langkah ini seringkali menjadi penurun semangat yang sangat efektif bagi pada penulis dari negara-negara bukan penutur Bahasa Inggris.