Inisiatif TranslateScience

Author:

Photo by Edurne Chopeitia on Unsplash

Inisiatif TranslateScience telah diluncurkan kemarin 7 Mei 2021. Simak blognya di sini. Mampir juga ke halaman wikinya.

Artikel blog ini berawal dari artikel pendek dari saya di situs TranslateScience (TS). Adalah Victor Venema, seorang peneliti bidang meteorologi dari University of Bonn yang mengajak saya dan beberapa kolega lainnya dari beberapa negara, yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Victor juga menginisiasi Grassroots Journals.

Salah satu pertimbangan Victor Venema sebagai inisiator TS adalah masalah visibility riset yang tidak ditulis dalam Bahasa Inggris. Riset-riset seperti itu saat ini dipersepsikan sebagai karya-karya lokal/nasional, bukan karya yang layak untuk ditelaah dan diperbincangkan di tingkat international. Terlepas dari berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi kualitas dari riset-riset lokal, namun demikian Victor berpendapat bahwa riset lokal yang dilakukan oleh peneliti lokal mestinya punya nilai kedetilan yang tinggi. Kalau karya-karya ini tidak dapat ditemukan atau dapat ditemukan tapi tidak dimaknai setara dengan dengan karya-karya lainnya yang telah dilabeli sebagai karya internasional, maka dunia riset dapat kehilangan peluang untuk mempelajari beberapa hasil lokal yang sangat kaya.

There is a language bias in the current global scientific landscape that leaves non-English speakers at a disadvantage and prevents them from actively participating in the scientific process both as scientists and citizens. Science’s language bias extends beyond words printed in elite English-only journals.

https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fcomm.2020.00031/full

Dunia sains memang aneh. Ini meneliti adalah kegiatan sehari-hari bagi peneliti, seperti hanya mandi, makan dan minum, tetapi ada pengecualian. Sementara kegiatan sehari-hari lainnya bahasa yang digunakan harus Bahasa Inggris. Although scientists are coming from every corner of the earth, living perfectly using their own native/mother tongue, but it’s English which has been used as the lingua franca of science.

Conversely, many scientists in Africa, Asia, Latin America and Europe still publish their work in national journals, often in their mother tongue, which creates the risk that worthwhile insights and results might be ignored, simply because they are not readily accessible to the international scientific community. To overcome this dilemma, several initiatives now aim to strengthen the impact and quality of national journals with the goal of gaining greater international visibility for articles published in a language other than English.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1796769/

Lahir, besar, dan menuntut ilmu di Indonesia, sebuah negara yang bukan penutur Bahasa Inggris (non-English speaking country), kita sudah terbiasa untuk berbicara dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Maksudnya adalah mayoritas dari kita tidak dari dilahirkan berbicara dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Konsep bilingual kita adalah tulis atau nyatakan dalam Bahasa Indonesia, lalu terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Konsep itu menjadi menguat di dalam dunia akademik. Menurut regulasi, bahasa dengan strata paling tinggi adalah Bahasa Inggris. Apapun yang kita tulis belum akan bermakna maksimal sebelum ditulis dalam Bahasa Inggris.

Tapi terlepas dari masalah bahasa, ada beberapa hal lain yang menurut saya membuat kita masih belum terbiasa menulis dalam Bahasa Inggris secara spontan, yaitu: bahwa mayoritas penelitian adalah tentang masalah lokal, jadi logis kalau diseminasinya dilakukan dalam Bahasa Indonesia. Pemangku kepentingan utamanya adalah juga orang Indonesia. Selain itu saat ini riset tentang Natural Language Processing (NLP) sudah cukup maju, sehingga cukup mudah bagi orang asing untuk dapat mengerti Bahasa Indonesia, misal menggunakan Google Translate.

Dengan demikian, kalau bukan karena regulasi promosi kenaikan jabatan, sebenarnya beban akademia untuk menulis dalam Bahasa Inggris menjadi berkurang.