Komentar untuk artikel opini “Terdisorientasikah publikasi akademisi kita?”

Author:

Judul: Terdisorientasikah publikasi akademisi kita?
Penulis: Prof. Arief Anshory Yusuf
Media: Kompas edisi 12 Oktober 2021 (tautan)
Tags: #peerreview #berpikir_kritis #wawasan_global #peer_review #FAIRdata #opendata

Gambar:

Opini ini merupakan tanggapan artikel berjudul Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia (Kompas, 25/9/ 2021).

Komentar umum

  • Kesimpulan publikasi perguruan tinggi belum mengalami disorientasi sepertinya masih dilihat dengan kacamata/konteks yang sempit. Kesimpulan tersebut belum melihat fakta yang mudah ditemukan di dalam ratusan video/webinar/seminar terkait tips-trik penerbitan artikel di jurnal bereputasi, tips-trik naik pangkat cepat.
  • Bukankah kedua hal tersebut adalah indikasi disorientasi?
  • Saya belum melihat bukti bahwa konteksnya luas ketika yang dibahas hanyalah modus publikasi dan modus peer review-nya saja. [[peer-reviewing is a tedious unpaid job]]

Tentang proses Peer Review (peninjauan sejawat) atau saya singkat PR.

  • Sebagai informasi bagi pembaca yang awam, proses PR ini harus dilalui oleh setiap manuskrip yang dikirimkan ke sebuah jurnal akademik (jurnal ilmiah). [[open peer review]]
  • PR dilakukan oleh minimum dua orang peninjau yang independen. Para peninjau ini adalah para peneliti yang mengerti makalah yang sedang ditinjaunya, dengan kata lain memang, PR perlu dilakukan oleh peneliti lain yang sebidang.
  • Namun demikian mengingat jenis makalah ada beragam dengan tingkat kedalaman yang berbeda-beda, maka sebenarnya para peninjau dapat saja berasal dari bidang lain, bahkan datang dari kelompok praktisi atau industri.
  • Idealnya dalam proses PR, para peninjau menelaah ulang isi makalah secara akademik. Kedalaman penelaahannya bisa saja bervariasi, karena tugas meninjau makalah, memang bukan tugas yang mendapatkan kredit (pengakuan) yang tinggi. Jadi bukan tugas utama. Terlebih lagi, penugasan mereview ini bersifat sukarela, tanpa dibayar. Fakta ini juga yang kemudian dimanfaatkan oleh penerbit komersial (seperti Elsevier, Springer Nature). Penugasan para peninjau di sini dapat dilihat sebagai free academic labour, atau tenaga kerja gratis, bagi para perusahaan penerbitan itu. (Baca juga ini)
stop free academic labour
  • Prof. Arief menyatakan di dalam opininya ... peer review dan diuji secara ketat.
    • Pertanyaan saya kepada para peer reviewer (peninjau), apakah mereka pernah mempertanyakan data? Saya juga menanyakan ini kepada Prof. Arief sebagai refleksi, apakah beliau sampai sedalam itu dalam meninjau sebuah makalah.
    • Pernahkah seorang peninjau sampai perlu memplot ulang data untuk sekedar membuktikan analisis regresi dalam manuskrip sudah benar?
    • Pernahkah juga para peninjau melakukan eksperimen ulang dari materi yang ada dalam manuskrip?
      • Jawabnya saya yakin tidak. So let's not overrate the peer reviewing process, especially if we know that it covers only the very surficial part of a manuscript.
    • Kembali saya pertanyakan penggunaan kata “diuji” serta pada pada bagian yang lain dituliskan disiplin ilmu yang sebisa mungkin sama. Bukankah jargon yang sering dikampanyekan sekarang adalah pendekatan multidisiplin (baca juga artikel kami ini). Catatan: dengan standar yang disampaikan Prof. Arief, makalah kami ini tidak bernilai maksimum (atau bahkan tidak bereputasi) karena terbit di jurnal multidisiplin dan PR dilakukan oleh peneliti-peneliti dari berbagai disiplin ilmu.
      • Jawabannya bisa ya, bisa tidak. “Ya” karena peneliti dari bidang ilmu yang sama akan berpotensi drill deep. Bisa “tidak” karena peneliti bidang yang lain berpotensi melihat sisi yang sama sekali belum pernah disentuh. Apalagi ketika peninjaunya memiliki konflik kepentingan.
    • Ingat pepatah gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu di seberang lautan tampak.
    • Yang biasanya bisa melihat kutu itu adalah orang baru yang baru pertama melihat gajah dan kutu. Orang yang sehari-hari terbiasa melihat gajah dan kutu mungkin tidak melihat kutunya ada di seberang lautan, bahkan gajah di pelupuk matanyapun bisa luput terlihat.
    • Dengan memperhatikan peribahasa di atas, artinya mempersempit peer review yang baik adalah yang dilakukan sebisa mungkin (menurut bahasa Pak Arief) oleh orang yang sebidang, juga adalah subyek yang dapat didiskusikan lebih lanjut.

Terkait derajat makalah yang terbit di koran dan yang terbit di jurnal

  • Terlepas dari tinggi mana derajat artikel koran dan artikel jurnal, mari kita evaluasi:
    • apakah ada larangan artikel koran menggunakan data riset riil milik penulis (yang dilampirkan tentunya)?
    • Apakah ada larangan penulis artikel koran melakukan analisis yang mendalam terhadap datanya, serta mungkin membandingkannya dengan data dari peneliti lain seperti halnya makalah yang terbit jurnal?
    • Jawabnya tidak ada larangan. Jadi kenapa peneliti tidak pernah melakukan itu. Insert contoh.

Tentang produktivitas

  • Saya bisa setuju karena publikasi memang ada dalam siklus riset. Setiap ada riset mestinya ada publikasi (dalam lingkup sempit adalah artikel yang terbit di jurnal).
  • Tapi seberapa produktif yang disebut produktif?
  • Dan apakah bisa disebut produktif ketika yang dihitung hanya artikel yang terbit di jurnal?

Tentang kualitas

  • Saya keberatan kalau yang disebut publikasi berkualitas hanyalah yang terbit di jurnal tertentu.
  • Apalagi kalau kualitas sama sekali ditentukan sebelum makalah dibaca dan hanya dengan melihat makalah itu terbit di mana, seperti yang sering kita lakukan.
  • Saya perjelas, dengan menyebut-menyebut berapa Journal Impact Factornya dan di kuartil Scimago mana, itu sama saja dengan menilai makalah sebelum membacanya.

Terkait naskah opini di koran

  • Apa yang menyebabkan Prof. Arief tidak menampilkan data (dalam bentuk apapun) untuk mendukung makalah opininya ini?
  • FYI naskah berjenis opini juga dapat diterbitkan di jurnal ilmiah. Sementara kalau di jurnal, data akan selalu diminta dan makalah juga akan ditinjau. Seandainya ada makalah opini tapi terbitnya di jurnal, apakah masih akan disebut sebagai kolumnis?
  • Jadi kembali lagi: apa yang menyebabkan penulis (siapapun) memutuskan untuk menulis opini di koran tanpa data pendukung.