Tantangan menjadi dosen di Indonesia

Author:

Berikut ini adalah gambar yang saya buat untuk acara IG-Live The Conversation Indonesia bersama Ben Laksana dengan moderator Viera Rachmawati.

Hari/tanggal: Kamis, 16 Desember 2021

Waktu: 16.00 WIB

Akun IG Live: @conversationidn

Oleh Dasapta Erwin Irawan CC0 Versi hires dapat diunduh dari sini https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tantangan_menjadi_dosen_di_Indonesia.jpg

Cite as

Irawan, D.E. 2021. Tantangan menjadi dosen di Indonesia.jpg – Wikimedia Commons. Retrieved from https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tantangan_menjadi_dosen_di_Indonesia.jpg. (2021, December 14).

Rekaman Live IG

Ringkasan

kata penutup

Jadi dosen itu adalah sebuah petualangan, oleh karenanya support system sangat dibutuhkan. Tidak untuk semua orang. Ketika ada yang memutuskan untuk keluar, tidak juga membuatnya menjadi seorang pecundang. Jadi kami tidak dapat menganjurkan, karena kondisi setiap orang berbeda-beda. Putuskan sendiri, yay atau nay. Mungkin perlu waktu, seperti dulu saat saya memutuskan yay yang tidak seketika.

kontradiksi

apa yang dulu kita terima

Tridarma yang seimbang antara pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ada darma yang keempat sebenarnya, karena layanan kepakaran (proyek) tidak dapat disamakan dengan pengabdian kepada masyarakat (PKM).

Waktu kerja fleksibel (work-life balance). Sepertinya ini tidak sepernuhnya benar. Juga akan sangat bergantung kepada niat, minat, dan kesempatan.

Kesempatan untuk berkreasi dan berinisiatif. Ini merupakan salah satu keuntungan bagi orang-orang yang tidak suka hanya mengerjakan satu hal yang sama berulang-ulang. Walaupun mengajar sifatnya perulangan, tapi selalu ada kesempatan untuk memperbarui materinya atau teknik mengajarnya.

Kesempatan untuk belajar. Ini juga salah satu keuntungan. Apalagi kalau bercita-cita ingin ke LN. 🙂 Tapi yang lebih penting adalah bagaimana pengalaman sekolah di LN dapat mengubah sikap inferior kita.

Formal vs informal. Banyak yang bilang bahwa menjadi dosen akan penuh dengan hal-hal yang informal dan tidak hirarkis. Tidak sepenuhnya benar. Keformalan itu ada apalagi dengan banyaknya syarat administratif yang harus dipenuhi. Hirarki juga ada (Ben menekankan ini juga). Kental atau encer kadar hirarkinya akan berbeda-beda di kampus yang berbeda. Tapi itu ada.

apa yang tidak pernah kita ketahui

Tuntutan tridarma yang tidak seimbang. Lebih condong ke penelitian. Komponen substansi minimum vs komponen administratif maksimum. Banyak hal yang menurut kita bersifat substantif, tapi pada dasarnya bersifat administratif belaka. Syarat administratif ketimbang kualitas akademik.

Menyangkut pembuktian diri. Ini adalah salah satu hal yang kita tidak dapat saat dulu ditawari jadi dosen. Masalah pembuktian diri melalui indikator proxy seperti jumlah sitasi, indeks H, produktivitas menerbitkan makalah di jurnal tertentu, dst.

Sistem asesmen

  • publish or perish Conundrum of publish or perish
  • mekanistik dan rigid, tidak dialogis
  • murni kuantitatif, padahal banyak aspek dalam karya yang hanya dapat muncul kalau dilakukan asesmen secara kualitatif
  • tuntutan lain-lain yang berat dan kadang menjadi yang utama, yaitu kontribusi ke institusi

Membangun ekosistem sistem (tidak main-main), dimulai dari lingkungan terkecil seperti program studi (prodi) atau laboratorium, menyangkut:

  • pendanaan: sebagai dosen/peneliti kita harus ikut mencari dana.
  • infrastruktur: juga dana untuk membeli sarana-pra sarana baru atau memperbaiki yang sudah ada
  • sumber daya manusia: kita juga harus memikirkan regenerasi, pengelolaan mahasiswa, teknisi
  • intinya dosen harus menjadi superman, termasuk kebutuhan untuk pengembangan diri secara intensif seperti keterampilan berkomunikasi agar dapat luwes masuk ke berbagai lingkungan. Percayalah ini perlu.

Untuk itu setiap dosen akan perlu sistem pendukung (support system): kondisi setiap orang akan berbeda-beda, situasi keluarga inti (orang tua, adik-adik, istri/pasangan, anak).

Beban yang berat atau ringan pastinya relatif. Semua yang kami sampaikan di sini akan selalu ada yang bilang berat ada juga yang bilang ringan.

  • beban harian: substansi -> beban sks, administrasi -> bervariasi
  • beban tambahan: penuh tantangan, salah satunya adalah kewajiban mengembangkan institusi

Walaupun buat beberapa orang, beban bukanlah beban, tetapi untuk banyak orang beban itu tetaplah beban. Apalagi kalau tidak disiapkan sejak awal. Mungkin ini bisa jadi kendala struktural seperti yang disebut Ben.

  • kewajiban mengembangkan pribadi
  • kewajiban mengembangkan keluarga

tapi memang hidup adalah sebuah pilihan, maka akan butuh pengertian dari keluarga (terutama keluarga inti), salah satunya karena masalah benefit yang:

  • tangible vs non tangible: banyak benefit bersifat intangible. Yang ini jarang disadari.
  • direct vs indirect: banyak juga benefit yang tidak langsung diterimanya.
  • Dosen juga dapat disetarakan dengan “artisan” (atau bisa juga enterprener)

Dalam live IG sempat ditanyakan oleh Mbak Viera tentang apa yang akan saya lakukan seandainya diberi amanah menjadi orang tertinggi yang menangani kampus (saya artikan sebagai menteri). Jawaban saya cepat dan lugas yaitu saya ingin menyelesaikan masalah asesmen kinerja dosen/peneliti di perguruan tinggi.

Menurut saya persepsi kesuksesan (baca: kinerja) dalam kelompok akademik bukanlah persepsi yang nyata. Indikator proxy seringkali digunakan. Masalah indikator kesuksesan ini sebenarnya bukan hanya masalah di Indonesia, dalam laporan ini, Kanadapun masih mempertanyakan hal tersebut. Sedangkan cita-cita Ben adalah untuk menghapuskan berbagai kendala struktural para dosen. Kendala yang membuat mereka menjadi tidak dapat maju.

Isu dosen meninggalkan kampus juga marak di LN, sampai ada beberapa tulisan seperti: ini, ini, dan ini. Itu kenapa saya bilang bahwa bagi Anda yang memilih mundur dari pekerjaan sebagai dosen bukanlah seorang pecundang.