Seorang narsum dalam sebuah webinar dari kampus saya menyatakan inilah siklus sehari-hari seorang peneliti di universitas. Beliau menggunakan kata “conundrum of publish or perish”.
Menurut saya, kalau gambar ini dinarasikan seperti di atas, maka betapa membosankannya kehidupan para dosen/peneliti (termasuk saya). Kalau ini disampaikan ke anak-anak SMA, saya tidak yakin mereka ingin menjadi seorang saintis, kecuali mungkin anak seorang peneliti.
Kata “conundrum” sendiri berarti a confusing and difficult problem or question, a question asked for amusement, typically one with a pun in its answer; a riddle, etc.
Jadi kalau istilah tersebut dihubungkan dengan budaya publish or perish, bukankah itu artinya beliau sendiri berpikir bahwa budaya itu membingungkan?
Atau apakah conundrum
punya arti lain?
Apapun artinya, gambar itu mengesankan betapa tumpulnya kehidupan seorang dosen/peneliti, bahkan ketika dibagikan di awal sebuah presentasi untuk para dosen/peneliti.
Tentu pasti ada yang menyanggah, dalam realitas tidak begitu. Tentu ada hal yang menyenangkan dalam prosesnya.
Tapi coba kita pikirkan lagi. Dalam paparan itu dan pastinya paparan sejenis lainnya, ditekankan berulang kali bahwa kalau kita tidak mempublikasikan riset, maka kita akan mati
. Sementara yang disebut sebagai publikasi
hanya makalah yang terbit di jurnal tertentu.
Tentu ada yang menyanggah lagi, “ah tidak begitu juga Pak Erwin”. Dalam renstra dan berbagai peraturan kan disebutkan bahwa publikasi ada berbagai jenis.
Betul. Saya sudah menduga Anda akan bicara begitu.
Tapi…
Coba baca lagi, pikir, dan renungkan, bukankah dokumen yang sama juga menyatakan bahwa makalah jenis itu dinilai paling tinggi? Bukankah makalah jenis itu yang dapat mengarahkan kita untuk mendapatkan insentif? Bukankah peraturan yang sama pula yang menyatakan makalah jenis itu sebagai syarat khusus?
Rasanya sebuah kincir air yang dapat membangkitkan listrik untuk ratusan warga sebuah desa tertinggal tidak akan membuat Anda bisa naik pangkat.
Jadi sudah, tidak perlu berdebat…