Dosen susah dapat promosi: mengurai lika-liku proses kenaikan jabatan akademisi di Indonesia
Dasapta Erwin Irawan, Institut Teknologi BandungSama halnya dengan berbagai profesi lain, lebih dari 300.000 dosen di lingkungan perguruan tinggi Indonesia juga mengikuti beberapa tahapan jenjang karir.
Saat ini ada empat jenjang bagi karir seorang dosen dari yang paling rendah ke level yang paling tinggi: Asisten Ahli (Junior Lecturer), Lektor(Assistant Professor), Lektor Kepala (Associate Professor), dan Guru Besar (Professor).
Kenaikan jenjang ini mempengaruhi reputasi mereka dalam dunia riset serta jumlah insentif yang akan diterima.
Namun demikian, proses kenaikan jabatan ini telah banyak mengundang kritik dan bahkan gugatan hukum dari komunitas akademik.
Saya mencoba menjabarkan beberapa masalah yang sering dihadapi dan mencoba menawarkan solusi dengan melibatkan pihak perguruan tinggi untuk memastikan kelancaran kenaikan jabatan ribuan dosen yang akhirnya dapat meningkatkan kinerja reformasi birokrasi perguruan tinggi.
Jenjang karir dosen dan alur pengusulannya
Sebelum kita membedah berbagai masalah yang ada dalam proses kenaikan jabatan dosen, ada baiknya kita memahami proses yang ada saat ini.
Secara operasional, promosi karir dosen merujuk kepada Pedoman Operasional PAK Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (POPAK) tahun 2019 yang menilai empat komponen kegiatan dosen. Komponen ini mencakup Tridarma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) serta ditambah kegiatan penunjang (misalnya partisipasi dalam pengelolaan perguruan tinggi atau keaktifan dalam organisasi profesi).
Kewenangan mempromosikan jabatan dosen dari Asisten Ahli sampai Lektor di perguruan tinggi negeri (PTN) dipegang oleh universitas saja. Tapi untuk perguruan tinggi swasta (PTS), prosesnya juga melibatkan Lembaga Layanan Dikti (LL Dikti) di tiap wilayah.
Lalu kewenangan mempromosikan dosen ke jabatan Lektor Kepala dan ke Guru Besar bagi dosen baik di PTN dan PTS berada di tangan Kemendikbudristek.
Selama ini ada beberapa masalah dalam proses promosi jabatan dosen (di luar masalah publikasi yang sudah sering dibahas):
Pertama, sulitnya mencari penilai karya ilmiah yang objektif untuk bidang-bidang tertentu.
Perlu diingat, bahwa meski kegiatan dosen mencakup Tridarma, unsur penelitian mendapatkan porsi yang terbesar dalam proses kenaikan jabatan.
Dalam proses kenaikan jabatan ke Guru Besar, misalnya, karya ilmiah wajib dinilai oleh dua orang Guru Besar. Namun, masalahnya sulit mencari dosen dengan kepakaran yang pas untuk melakukan peninjauan.
Bidang-bidang ilmu tertentu belum memiliki atau minim jumlah Guru Besar. Contoh adalah bidang mikropaleontologi, serta bidang hukum, keagamaan, seni, dan ilmu humaniora.
Pada akhirnya, peninjauan mungkin saja dilakukan oleh sosok dosen pakar yang bidangnya kurang relevan, sehingga prosesnya menjadi tidak objektif.
Kedua, sistem penilaian artikel ilmiah yang sangat bervariasi jenisnya – hingga 31 jenis dari bab buku hingga makalah seminar – menjadikan kisaran pemberian skor sangat lebar dan bergantung kepada subjektivitas dosen penilai.
Kasta tertinggi dengan skor maksimum 40 diberikan untuk makalah yang terbit di jurnal internasional tertentu. Sementara, kasta terendah (skor hanya 1) adalah untuk artikel populer seperti yang sedang Anda baca saat ini.
Ketiga, pemeriksaan berlapis-lapis yang rawan menimbulkan subjektivitas di tiap tingkatan.
Ini banyak terjadi terutama di perguruan tinggi yang sudah mapan dan gemuk organisasinya. Pemeriksaan terjadi di tingkat fakultas dan rektorat (atau lintas fakultas), kemudian lanjut hingga tingkat kementerian.
Yang membuat penilaian makin rawan adalah penilaian relevansi karya ilmiah dosen yang harus memenuhi prinsip ‘linearitas’ atau kesinambungan bidang riset.
Asesmen ‘linearitas’ ini akan sangat bergantung kepada penafsiran tim penilai di tiap tingkatan – padahal bidang riset dunia akademik kini semakin lintas disiplin dan abu-abu.
Ada satu saja tim penilai yang menilai karya-karya ilmiah seorang dosen kurang ‘nyambung’, maka proses kenaikan jabatan seorang dosen bisa terancam.
Inovasi dari Dikti
Pada tahun ini, terbit Surat Edaran Dirjen Dikti pada tanggal 31 Mei 2022 tentang Kebijakan PAK berupaya mengurangi beberapa tantangan di atas, khususnya untuk prosedur promosi dosen ke jenjang Lektor Kepala dan Guru Besar.
Salah satunya, misalnya, adalah penyederhanaan proses penilaian usulan kenaikan jabatan ke Lektor Kepala dan Guru Besar.
Sebelumnya proses ini dilakukan berkali-kali dari tingkat internal kampus hingga Dikti. Kini, perguruan tinggi hanya perlu melakukan pemeriksaan berkas (validasi) sekali saja, sebelum diunggah ke Sistem PAK Dikti untuk dinilai oleh kementerian saja.
Kemudian, Dikti juga kini memiliki ‘Tim Penilai Angka Kredit (PAK) Nasional’ yang bertugas menilai karya ilmiah para dosen. Seluruh anggota tim ini berjabatan Guru Besar.
Ini adalah upaya untuk mengatasi krisis penilai, terutama untuk promosi ke jabatan Guru Besar pada bidang-bidang yang masih minim Guru Besar. Dengan kebijakan baru ini, Dikti akan mencarikan dan menugaskan anggota Tim PAK Nasional yang relevan bidangnya untuk menilai.
Tim PAK Nasional tersebut pun hanya akan melakukan pemeriksaan terkait relevansi kompetensi dosen dengan substansi karya ilmiah dan bidang riset jurnal, kesesuaian antara lingkup/subyek area jurnal dengan karya ilmiah yang diusulkan, serta kepastian tidak ada pelanggaran integritas akademik.
Sebelumnya, penilaian karya ilmiah sangat rinci (pada beberapa kasus dilihat sampai ke tata cara penulisan).
Penyederhanaan ini diharapkan dapat mengurangi subjektivitas tim penilai, terutama karena rentang nilai setiap jenis artikel (total 31 jenis) yang sangat lebar.
Perguruan tinggi harus menyambut dengan kreativitas
Dengan berbagai terobosan Dikti ini, kini bola ada di perguruan tinggi untuk bisa menanggapinya dengan inisiatif-inisiatif di tingkat internal kampus untuk memperbaiki proses promosi jabatan dosen.
Terlepas dari inovasi untuk memangkas birokrasi untuk kenaikan jabatan dosen, masih ada beberapa proses yang berbelit di dalam kampus.
Misal dari program studi, dilempar ke fakultas, kemudian dioper ke pusat – ini perlu disederhanakan menjadi sekali proses saja dengan melibatkan peninjau dari berbagai tingkatan yang berbeda. Bahkan, ada juga berbagai aplikasi sistem informasi yang tidak terkoneksi dengan aplikasi yang dibuat oleh Dikti.
Selain itu, untuk mengurangi subjektivitas, penyamaan persepsi tentang relevansi karya dengan bidang ilmu pengusul juga harus dilakukan di tingkat kampus.
Rujukan dari Dikti berupa Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 696/E.E3/MI/2014 dan No. 887/E.E3/MI/2014, sebenarnya memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi – terutama antara kampus negeri dan swasta – untuk menyepakati persepsi tentang ‘linearitas’ ini.
Kreativitas berikutnya adalah terkait dengan penyederhanaan 31 jenis karya ilmiah dalam proses tinjauan promosi jabatan dosen.
Demi kemudahan penilaian di tingkat perguruan tinggi, saya menyarankan penyederhanaan menjadi cukup empat jenis kategori saja: buku (mencakup buku ajar dan buku referensi), jurnal internasional, jurnal nasional, dan makalah seminar atau publikasi daring lainnya.
Sampai di sini jelas bahwa semangat Kampus Merdeka yang digaungkan Dikti perlu dijawab dengan inisiatif dan kreativitas di tingkat universitas.
Komunikasi antara Dikti dan perguruan tinggi perlu lebih cair lagi, sehingga pengelola kampus tidak perlu lagi menunggu petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis setiap kali akan mengambil langkah. Justru kampus bisa mengusulkan implementasi teknis yang lebih efektif dan efisien kepada Dikti.
Dasapta Erwin Irawan, Lecturer at Department of Geology, Institut Teknologi Bandung
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.