Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensia: Pidato Mohammad Hatta di Tahun 1957

Author:

Tanggung Djawab Moril Kaum Intelegensia, pidato Mohammad Hatta pada Hari Alumni I Universitas Indonesia, pada tanggal 11 Djuni 1957, Penerbit Angkasa Bandung. Terima kasih untuk Annakumalaa yang telah membagikan dua halaman ini via cuitannya di X.

Saudara Presiden Universitas Indonesia,
Guru-Guru Besar serta Dosen lainnya,
Para Mahasiswa,
Dan seterusnya saudara-saudara lainnya yang hadir pada saat ini di sini,
Salam dan bahagia!

Siapa sebagai tamatan S.M.A meningkatkan kakinya ke tangga sekolah tinggi untuk meneruskan pelajarannya ke jurusan ilmu pilihan hatinya, ia merasa memasuki dunia baru. Tidak saja tingkah laku serta gelagat dan cara bergaul mahasiswa berlainan dilihatnya dari pada yang dialaminya selama ini sebagai muri sekolah menengah, akan tetapi cara belajar pun berlainan sama sekali. Apabila dahulu ia lebih banyak menghafalkan dari pada menyelidik, sekarang ia terutama belajar mencari pengertian tentang berbagai masalah yang muncul dan mungkin muncul di dalam alam yang lahir dan alam ciptaan pikiran. Lambat-laun ia paham akan perbedaan antara — apa yang disebut dalam bahasa Belanda — “leren” dan “studeren”. “Leren”, belajar, dilakukan pada sekolah menengah. Jalannya ialah mengisi otak dengan berbagai. macam pengetahuan, yang diterima dari buku dan guru dengan tiada berbantah. Studi lain sifatnya dan tujuannya. Orang yang mengerjakan studi mempelajari sesuatunya untuk mengerti kedudukan masalahnya, mencari pengetahuan tentang sesuatunya di dalam hubungan sebab dan akibatnya, ditinjau dari jurusan yang tertentu dan dengan metode yang tertentu pula. Bukan menghafalkan dan menerima saja ap ayang dibentangkan orang lain, melainkan memahamkan dengan pikiran yang kritis. Keterangannya diuji benarnya di atas dua macam batu ujian: bernarkah logikanya dan sesuaikan ia dengan kenyataan? Kemudian, kenyataan itu sendiri menjadi soal. Selanjutnya dipelajari pula perkembangan pendapat tentang sesuatu masalah, dengan mencari keterangan tentang apa yang menjadi sebab dan di mana letaknya perlainan perndapat itu dari masa ke masa dan dari ahli ke ahli.

Pendek kata, orang yang mengerjakan studi menghadapi masalah, yang ia ingin memperoleh keterangannya. Studi inilah yang menjadi corak pelajaran pada sekolah tinggi. Pengetahuan diperoleh selangkah demi selangkah dengna melalui berbagai perbantahan tentang duduk dan pemecahan masalahnya oleh pengasuh-pengasuh ilmu yang terkemuka. Pada sekolah tinggi orang menuntut ilmu, tidak lagi menerima saja hasil perjuangan ilmu sebagai pengetahuan, seperti yang diajarkan pada sekolah menengah. Sekolah tinggi tidak dapat memberikan pengetahuan secukup-cukupnya kepada pelajaran. Ia hanya mendidik murid untuk pandai berdiri sendiri dalam mempelajari ilmu, mengajar ia mengetahui metode, cara bagaimana membahas masalah yang dihadapinya. Lebih dari ini tidak dapat, tetapi kurang dari itu tidak pula boleh diberikan oleh perguruan tinggi, yang benar-benar tinggi perguruannya. Tetapi itulah pula bekal untuk seumur hidup bagi pelajar yang akan kembali ke dalam masyarakat, setelah menempuh ujian yang penghabisan.

Tamat sekolah tinggi tidak berarti sudah “volleerd”. Diploma yang diberikan oleh sekolah tinggi hanya memuat pengakuan, bahwa pemilik diploma itu dianggap cukup syaratnya untuk melakukan studi sendiri dan mengadakan penyelidikan sendiri tentang berbagai masalah di dalam alam atau masyarakat, yang termasuk ke dalam lingkungan ilmu yang dituntutnya. Diploma itu mengandung pengakuan, bahwa si pemiliknya dapat “dilepaskan” ke dalam masyarakat untuk melakukan sesuatu tugas dengan bertanggung jawab.

Dan tanggung jawab seorang akademikus adalah intelektuil dan moril! Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri, yang ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.

“Universitas” — demikianlah tertulis di dalam “Rapport van de Staatscommissie tot Reorganisatie van get Hoger Onderwijs di Nederland — adalah suatu lembaga yang tumbuh di dalam sejarah, yang menjatuhkan pekerjaan mempelajari ilmu yang kreatif dengan mendidik sarjana muda, yang karena itu kemudian dapat memperkembang ilmu serta pemakaiannya di dalam penghidupan masyarakat”. 1) Menurut pendapat itu, sekolah tinggi harus senantiasa insaf akan tugasnya. Pada satu pihak ia harus memberikan sumbangan yang nyata dalam perkembangan ilmu. Untuk itu guru-guru besar hendaklah mempunyai waktu yang cukup untuk pekerjaan ilmiah yang kreatif. Sebab itu tugasnya mengajar harus diringankan dengan alat-alat yang cukup serta dibantu oleh suatu staf ilmiah yang luas. Pada pihak lain sekolah tinggi harus menginsyafi diri sebagai abdi masyarakat, supaya di dalam lingkungan tugas membangun ilmu itu dididik sarjana muda yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini pusat penelitian harus diletakkan pada mereka yang memerlukan didikan itu guna melakukan tugasnya kemudian di dalam masyarakat.

Sesuai dengan pendapat itu, diusulkan oleh komisi tersebut perumusan baru tentang tujuan Universitas atau Sekolah Tinggi. Disalin ke dalam bahasa Indonesia begini bunyinya:

  1. Memajukan ilmu, termasuk mendidik serta menyediakan dasar untuk berdiri sendiri dalam mempelajari ilmu dan memangku jabatan dalam masyarakat, yang untuk itu perlu suatu pendidikan ilmiah atau berguna.
  2. Memperkuat pendidikan jiwa dan moril mahasiswa serta memperbesar rasa tanggung-jawab sosialnya.

Berlainan dengan dahulu yang hanya mengemukakan apa yang tercantum dalam pasal 1 sebagai tujuan perguruan tinggi, di sini dikemukakan pula tugas mendidik, rasa tanggung-jawab sosial. Pada peluasan tujuan ini tergambar keyakinan yang semakin merata di masa sekarang, bahwa universitas mempunyai peranan yang penting dalam menyediakan pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab bagi masyarakat. Dengan perubahan pandangan ini universitas lebih dekat kepada masyarakat. 1) Pandangan baru ini tentang kedudukan universitas oleh dikatakan merata seluruh Eropa Barat.

Lain sejarahnya di Amerika Serikat. Di sana perhubungan antara Universitas dan masyarakat erat sekali sejak semulanya. Itu sesuai dengan perkembangan perguruan tinggi di sana, yang senantiasa dibangun sebagai sendi dan pendorong kemajuan. Perhatian kaum usahawan bukan main besarnya terhadap perguruan tinggi sehingga universitas cepat sekali dapat berdiri sebagai badan-badan autonomi.

“Universitas — kata A.N. Whitehead 2) — adalah sekolah untuk pendidikan dan sekolah untuk penyelidikan. Tetapi alasan yang terutama untuk berdirinya tidak terdapat semata-mata pada menyampaikan pengetahuan kepada mahasiswa atau semata-mata memberikan kesempatan untuk mengadakan penyelidikan bagi anggota-anggota fakultas. Kedua-dua fungsi ini dapat dilaksanakan dengan ongkos yang jauh lebih murah, terlepas dari institut yang sangat mahal itu. Buku-buku lebih harganya dan sistem belajar sambil bekerja sudah dikenal betul.”

“Dasar bagi berdirinya universitas ialah bahwa ia mengadakan jembatan antara pengetahuan dan sari penghidupan, dengan menjatuhkan yang muda dan yang tua di dalam pandangan imaginatif — yang mencipta — tentang belajar. Universitas memberikan petunjuk tetapi petunjuk yang disertasi dengan ciptaan. Sekurang-kurangnya, inilah fungsi yang seharusnya dilaksanakan untuk masyarakat. Suatu universitas, yang tidak dapat memenuhi fungsi ini, tidak ada dasarnya untuk berdiri. Suasana yang bersemangat ini, timbul dari pandangan yang mencipta, membentuk pengetahuan. Suatu kenyataan tidaklah lagi suatu kenyatan semata-mata : ia ditinjau dengan segala kemungkinannya. Ia tidak lagi beban pada ingatan: ia memberi semangat sebagai pengajar dari pada mimpi kita dan sebagai arsitek dari pada tujuan-tujuan kita.”

Prof. A. N. Whitehead gusar melihat jurang yang ada di dalam masyarakat antara ciptaan dan pengalaman. “Yang menjadi tragedi dunia ini — katanya — iadalh bahwa mereka yang pandai menciptakan sedikit pengalamannya, dan mereka yang berpengalaman lemah ciptaannya. Orang yang gila-gilaan bertindak atas ciptaan dengan tiada pengetahuan; orang yang sombong bertindak atas pengetahuan dengan tiada ciptaan. Tugas dari pada universitas ialah mempertalikan kedua-duanya, ciptaan dan pengalaman.”

Itulah sebabnya maka besar sekali perhatian Whitehead pada perkembangan pendidikan juruan pada perguruan tinggi di Amerika Serikat. Karena itu penghidupan nasional akan banyak terpengaruh oleh tindak-tindakan universitas. Tetapi, katanya, nilai perguruan tinggi juruan itu jangan pula dilebih-lebihkan. “At no time have universities been restricted to pure abstract learning.”

Betapapun juga, universitas dipandang sebagai sumber yang tidak berkeputusan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin dan pekerja-pekerja yang bertanggung jawab di dalam masyarakat.

Apabila di negeri-negeri yang telah maju tertanam pendapat yang semakin lama semakin kuat, bahwa universitas harus menjadi tempat pendidikan manusia yang bertanggung jawab terhadap masyarakat, apalagi di negeri-negeri yang terkebelakang di dalam kemajuan, seperti Indonesia kita ini. Harapan kepada Universitas besar sekali. Kadang-kadang dengan melupakan pertimbangan, apakah perguruan tinggi yang masih muda itu, yang tidak lengkap alatnya, sekarang sudah dapat melaksanakan harapan itu. Dalam rancangan undang-undang tentang perguruan tinggi kita, yang sampai sekarang belum juga dibicarakan oleh parlemen, disebut bahwa tugas universitas ialah membentuk manusia susila dan demokratis, yang:

  1. mempunyai keinsyafan tanggung-jawab atas kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya;
  2. cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan;
  3. cakap untuk memangku jabatan negeri atau pekerjaan masyarakat, yang memerlukan perguruan tinggi.

Kemudian perguruan tinggi Indonesia harus pula dapat melakukan penyelidikan dan usaha kemajuan dalam segala lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan hidup kemasyrakatan.

Apabila membentuk manusia susila dan demokratis yang insyaf akan tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat nasional dan dunia seluruhnya menjadi tujuan yang terutama dari pada perguruan tinggi, maka titik berat dari pada pendidikannya terletak pada pembentukan karakter, watak. Memang, itulah menurut pendapat saja tujuan dari pada universitas atau sekolah tinggi. Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Pangakal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang benar. Pendidikan ilmiah pada perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter itu, karena — seperti saya katakan tadi — ilmu ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.

Sikap guru-besar yang bertanggung jawab serta cara ia mengonggokkan soalnya dan memecah masalah yang terletak di dalam lingkungan ilmunya adalah suatu sumbangan yang besar dalam pembentukan karakter itu. Tetapi itu saja belumlah cukup. Juga mahasiswa sendiri harus ikut serta mendidik dirinya sendiri, dengan berpedoman pada cinta akan kebenaran. Ia harus melakukan senantiasa kritik dan koreksi atas dirinya sendiri. Apabila semuanya ini dilakukan dengan segala keinsyafan, maka rasa tanggun-jawab akan tertanam di dalam dadanya. Di dalam alam merdeka itulah, yang menjadi karakteristik dunia perguruan tinggi, mahasiswa menemui suasana yang baik untuk memiliki sifat-sifat yang menjadi pembawaan manusia susila dan demogratis, yaitu kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan.

Dan, memang, manusia susila dan demokratis ini, sebagaimana yang diciptakan oleh perencana undang-undang perguruan tinggi kita, dapat menginsyafi tanggung jawabnya atas kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Dan meraka pulalah yang diharapkan akan menjadi pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dalam negara dan masyarakat.

Bahwa ilmu terutama maju di tangan sarjana yang berkarakter tidak dapat disangsikan lagi. Orang yang berkarakter tahu menghargai pendapat orang lain yang berlainan dengan pendapatnya. Ia berani membela kebenaran yang telah menjadi keyakinannya terhadap siapapun juga. Ia tak segak mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertentangan dengan pendapat umum. Tetapi ia juga berani melepaskan sesuatu keyakinan ilmiah, apabila pada suatu waktu logika yang lebih kuat dan kenyataan yang lebih lengkap membuktikan salahnya. Hanya dengan pendirian yang kritis itu ilmu dapat dimajukan. Dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Kecerdasan dapat dicapai dengan jalan studi oleh orang yang mempunyai karakter. Karena karakter itu pula ilmu dapat berjalan terus. Sarjana yang tak punya karakter mudah saja melepaskan pendapatnya karena desakan yang memaksa, mau saja menerima sesuatu teori yang bertentangan dengan keyakinan ilmunya, kaerna dipaksakan dari atas. Tak pula sedikit contoh di dalam sejarah, yang membuktikan semuanya ini. Orang yang mempunyai karakter berani bertanggung jawab tentang sesuatu yang tidak cocok dengan keyakinannya sendiri.

Oleh karena itu tepat pula harapan yang tertanan di dalam jiwa rancangan undang-undangan perguruan tinggi kita, bahwa sarjana Indonesia, yang dibentuk sebagai manusia susila dan demokratis, akan cakap berdiiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan. Dengan mempunyai sarjana-sarjana yang seperti itu, pada suatu waktu di masa datang Indonesia tidak saja tahu menerima tetapi juga menyumbangkan pendapat dan buah pikiran ilmiah yang berarti kepada dunia luaran.

Tidak sukar menerkanya, bahwa semangat yang menjadi dasar rancangan undang-undang perguruan tinggi kita itu, keluar dari sumber yang dalam, yaitu ideologi negara yang terkenal sebagai Pancasila. Lima dasar yang satu sama lain genap-menggenapkan, isi-mengisi, menuju terlaksananya di dalam alam Indonesia segala yang benar, yang adil, yang baik, kebahagiaan dan kesejahteraan, diliputi oleh suasana persaudaraan. 1)

Sarjana muda yang menamatkan studinya dalam tahun yang sudah dan sekarang akan kembali ke dalam masyarakat, tentu menyimpan dalam hatinya kenang-kenangan yang indah-indah kepada almamaternya, ibu yang menyuapi. Tinggalah dunia yang ganjil dan ajaib itu dengan gelagatnya sendiri, kembali ke dalam dunia penghidupan sehari-hari dengan pandangan yang baru. Alam persiapan ditinggalkan, alam bertugas dimasuki. Diantara kenang-kenangan yang indah-indah itu terguris pula hendaknya di dalam jiwa untuk selama-lamanya: latihan bertanggun jawab yang dialami, dengan bersusah payah. Memang, dengan bersusah payah! Dalam bersusah payah itulah terletak keindahan hidup. Bukankah pujangga besar Max Weber yang mengatakan: “Denn nichts ist fur den Menschen als Menschen etwas wert, was er nicht mit Leidenschaft tun kann.” 1) — Tidak ada yang lebih bernilai bagi manusia daripada apa yang dapat dibuatnya dengan bersusah payah.

Latihan bertanggung jawab sudah lalu. Sekarang tiba saatnya melaksanakan tanggung jawab itu dalam masyarakat, di dalam hidup sehari-hari. Kenangkanlah apa yang saja uraikan tadi tentang tujuan dari pada perguruan tinggi, tentang harapan bangsa pada puternya yang tamat universitas atau sekolah tinggi. Kepadanya diharapkan, bahwa ia lambat laun akan menjadi pemimpin di dalam masyarakat yang butuh akan pimpinan yang berpengetahuan.

Ya, pimpinan yang berpengetahuanlah yang terasa benar kurangnya dalam negara dan masyarakat kita sekarang ini. Pemimpin selalu ada, itu sudah pembawaan dari pergaulan hidup. Manusia senantiasa hidup berkampung-kampung. Berbagai jenis usaha dalam perjuangan hidup dan untuk mencapai penghidupan yang lebih sempurna dikerjakan bersama-sama. Hidup yang berkampung-kampung itu, terbagi dalam berbagai macam golongan besar dan kecil, berusaha dalam jentera pembagian pekerjaan, semuanya itu perlu akan pimpinan. Jika tak ada pujangga yang berjiwa pemimpin, pemimpin diserahkan kepada orang-orang yang biasa saja dan bersedia. Sebab pimpinan mesti ada!

Di dalam masyarakat dan negara kita yang baru merdeka, yang terkebelakang pula dalam segala rupa, kurang sekali tenaga ahli untuk memimpin. Berbagai jabatan negeri dan pekerjaan masyarakat dipimpin oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya. Dan karena itu banyak sekali yang macet jalannya. Banyak tenaga dan biaya yang dicurahkan untuk mencapai atau menyelenggarakan sesuatunya, tetapi hasilnya jauh dari memuaskan. Ada kalanya terjadi: arah habis besi binasa. Banyak pimpinan yang dilakukan dengna tidak ada atau kurang sekali rasa tanggung jawab. Timbulnya keadaan yang semacam itu dipermudah pula oleh keadaan sesudah revolusi nasional. Revolusi nasional yang mengubah sama sekali wajah negara, dari jajahan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Ada Umwertung, tetapi bukan Umwertung aller Werte. Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.

Memang suasana sesudah Revolusi yang mengganti hidup terbelenggu dengan hidup merdeka, memberi kesempatan kepada orang baru untuk melaksanakan pandangannya sendiri tentang “hidup merdeka”. Kemerdekaan dipergunakan untuk menguntungkan diri golongan sendiri. Dalam suasana semacam itu cita-cita kalah dengan hawa nafsu. Seperti saja terangkan di dalam pidato saya dahulu di Yogyakarta “Lampau dan Datang”, pejuang idealis tertundan ke belakang, manusia profitir tampil ke muka dalam segala lapangan. Dalam alam yang merdeka dan negara yang demokratis orang merasa dapat berbuat sesuka-sukanya. Risiko dirasa tiada. Apabila dahulu di masa pemerintahan kolonioal orang berpikir panjang terlebih dahulu sebelum memasuki gelanggang politik, di alam merdeka sekarang kini langkah itu mudah sekali. Dan alam demokrasi kita memberi keluasan pula kepada pendapat, bahwa politik dapat dikerjaan oleh segala orang yang berkepentingan dengan tiada pengetahuan yang cukup.

Berpolitik tidak lagi diartikan melaksanakan tanggung jawab tentang kebaikan masyarakat, tetapi dipandang sebagai jalan untuk mencari keuntungan dan membagi-bagikan rezeki dan jabatan kepada golongan dan kawan-kawan sendiri. Tabiat ini menimbulkan di dalam masyarakat efek yang kumulatif. Tidak saja partai yang berpengaruh dibanjiri oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya di situ, tidak saja jabatan-jabatan negara diisi dengan orang-orang yang tidak memenuhi syaratnya, tetapi jiwa partai itu sendiri rusak karena perbedaan antara cita-citanya dan praktik yang dijalankannya. Pembangunan ekonomi nasional tidak dilakukan menurut dasar-dasar yang tertanan di dalam Undang-Undang Dasar, melainkan menurut kepentingan orang-orang partikulir. Dalam teori negara kita masih berpegang kepda cita-cita kolektivisme, di dalam praktik di bawah pengaruh orang-orang partai yang berkepentingan ditempuh jalan ke kapitalisme kembali. Eknomi nasional dipandang identik dengan memindahkan perusahaan asing ke tanah orang-orang Indonesia partikulir, dengan tiada mengindahkan persediaan kecakapan dan modal yang betul-betul diperlukan untuk membangun ekonomi nasional yang sebenar-benarnya.

Karena semuanya dipandang mudah dan semangat avonturir mengalahkan rasa tanggung jawab, timbullah anarki dalam politik dan ekonomi serta penghidupan sosial. Dengan akibatnya yang tidak dapat dielakkan: korupsi dan demoralisasi. Impian selama ini akan mencapai kemakmuran sesudah merdeka mulai hilang berganti dengan perasaan yang pahit dan sedih. Dimana-mana orang merasa tak puas. Beberapa daerah yang merasa diabaikan selama ini, mengambil tindakan sendiri, yang merupakan tantangan kepada Pemerintah Pusat. Tantangn kepada pemimpin-pemimpin di pusat yang dituduh, bahwa politik dan perbuatan mereka selama ini telah menyimpang dari jiwa Proklamasi 17 Agustus tahun 1945.

Demikianlah! Perkembangan politik dan ekonomi dan hidup sosial yang tidak sehat di alam Indonesia yang merdeka dan demokratis berakhir dengan suatu krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara, yang tidak begitu mudah mengatasinya. Apakah ini berabrti, bahwa demokrasi harus dilenyapkan dan diganti dengan pemerintahan diktator?

Saya berkali-kali memperingatkan kepada rakyat dan pemimpin-pemimpin kita, dengan pidato maupun tulisan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung oleh rasa tanggung jawab. Dan demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator. Saya katakan sementara waktu, karena diktator menyalahi peradaban, menekankan kemauan orang-seorang atau segolongan kecil kepada orang banyak dengan tidak ada kontrolnya. Perasaan adab dan keadilan, yang hidup di dalam jiwa manusia, suatu waktu akan berontak terhadap diktator, seperti terbukti di dalam sejarah segala masa. Diktator hanya mungkin di masa peralihan dari masyarakat yang lapuk ke masyarakat yang baru. Diktator perlu di masa itu untuk menumbuhkan tenaga-tenaga baru yang akan menghidupkan dan memimpin masyarakat baru itu dengan bertanggung-jawab. Diktator kadang-kadang perlu pula untuk menyelamatkan negara dari kekacauan ke dalam keadaan yang teratur. Tetapi diktator yang sebenar-benar diktator menurut keperluan dan kehendak masa hanya dapat dijalankan dengan baik dan selamat oleh yang tinggi moralnya, berani bertindak dan bertanggung jawab dan mempunyai kecakapan luar biasa untuk mengatur dan mengurus, seorang organisator. Orang yang seperti itu jarang bersua. Sebab itu masa diktator tidak bisa kekal; sebagai impian adalah suatu barang yang buruk nilainya. Apabila tugasnya dalam keadaan peralihatn sudah selesai, maka habislah pula jangka hidupnya. Diktator akan digantikan oleh demokrasi, yang dasarnya terletak di dalam kepribadian manusia, manusia sebagai makhluk Allah yang pandai berpikir, membupai kehormatan dan tahu akan harga diri.

Sejarah dunia sering memperlihatkan proses saling berganti antara demograsi dan diktator. Ini bukan suatu kemestian menurut hukum sejarah atau menurut dialektik perkembangan masa. Diktator rubh memang karena sifatnya yang sementara dan mentalitanya yang tidak bisa bertahan lama dengan tiada membawah bencana. Demokrasi jatuh bukan karena pembawaannya, melainkan karena salah tampa, karena lemahnya rasa tanggung-jawab pada rakyat dan pemimpin pada suatu ketika. Pada dasarnya demokrasi bisa kekal, sebab ia pelaksanaan dari pada cita-cita “pemerintahan dari pada yang diperintah”. Seperti dikatakan oleh Aristoteles: “terhadap dirinya sendiri rakyat tidak akan berontak.” Hanya melaksanakan suatu pemerintahan demokrasi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah yang bisa berhasil seketika itu juga. Ia menhendaki latihan yang memakan waktu, didikan kepada rakyat tentang bertanggung jawab untuk menentukan nasib sendiri. Ia menghendaki pula pemimpin yang bermoral dalam segala lapangan hidup: politik, ekonomi, dan sosial.

Krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bahsa kita sekarang ini tidak dapat diatas dengan mengganti demokrasi dengan diktator. Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk, akan menghilangkan kepercayaan sama sekali. Obatnya hanya satu: memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai oleh rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah hidup berpolitik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segara tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tiada memandang buli. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangus-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberi harapan pada perbaikan nasib.

Dalam segala hal ini kaum intelegensia tidak dapat bersikap pasif menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang menimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian dari pada rakyat, warganegara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa.

(… akan dilanjutkan ke hal 20)