Ulasan Masalah Gempa di Indonesia

Author:

As quoted from IAGI miling list: a post from Mr. Awang Setyana

Tsunami terjadi kalau ada kolom air laut yang terganggu oleh pematahan vertikal dasar laut. Kita mengartikan pematahan vertikal adalah dip-slip fault, yang menembus dasar laut dari rupture zone hiposentrum/pusat/fokus gempa dangkal. Semakin dangkal pusat gempa, semakin mungkin pematahannya sampai ke dasar laut. Semakin dalam pusat gempa semakin mungkin pematahannya hanya sebagai blind fault, atau sesar yang tak sampai ke permukaan. Berdasarkan statistik, gempa dangkal yang menyebabkan tsunami adalah gempa dengan pusat lebih dangkal dari 45 km dan pematahannya vertikal.

Kita tahu pematahan vertikal (dip-slip) terdiri atas normal fault, reverse fault, dan thrust fault. Kalau dihubungkan dengan strike-slip fault seperti yang ditulis pak Franc, normal fault berkembang di lingkungan transtension atau releasing bend; sedangkan reverse dan thrust fault terjadi di tranpression atau restraining bend.

Berdasarkan kejadian2 tsunami, baik pematahan vertikal blok dasar laut oleh normal fault dan reverse/thrust fault menyebabkan tsunami. Saya sependapat dengan pak Franc bahwa normal faulting akan menyebabkan tsunami yang lebih besar dibandingkan reverse/thrust fault. Alasan ini didasarkan kepada wilayah “vakum” (meminjam istilah pak Franc) yang lebih besar yang dihasilkan oleh sesar normal dibandingkan reverse/thrust fault. Reverse/thrust fault juga akan membentuk wilayah vakum, tetapi tak akan sebesar normal faulting. Wilayah vakum reverse/thrust fault akan terjadi di sayap hanging wall block akibat lapisan ini miring oleh penyesaran naik atau anjak.  Sedangkan pada normal fault, wilayah vakumnya terbentuk lebih besar karena lapisan2 tiba-tiba runtuh atau seluruh hanging wall bocknya turun – jelas ini akan menciptakan wilayah vakum yang besar.

Tsunami terjadi hanya sebagai usaha kolom air menuju keseimbangannya kembali. Dalam normal faulting earthquake (EQ), airlaut tiba2 akan bergerak mengisi wilayah vakum normal fault di dasar laut, maka massa air di pantai2 terdekat akan surut tiba2 sebab massa air tetap sebegitu volumenya. Lalu, sesaat setelah itu, karena efek “bounce back” (meminjam lagi istilah pak Franc), atau saya sebut ayunan osilasi gelombang laut, air laut yang tersedot dari pantai itu melalui proses mekanika fluida akan kembali ke pantai dengan kecepatan ratusan km/jam, dengan massa yang sama tetapi dengan efek kejut dan membawa energi yang luar biasa besarnya (megajoules). Karena menuju pantai semakin mendangkal sementara massa air laut adalah tetap, akibatnya terjadi gelombang tsunami (run up) yang bisa beberapa meter lebih tinggi daripada biasanya. Ketinggian gelombang tsunami juga akan ditentukan oleh morfologi pantai, puluhan sentimeter sampai puluhan meter pernah tercatat sebagai run up  tsunami.

Pada thrusting fault EQ, airlaut di pantai bisa surut bisa tidak, bergantung kepada posisi vakum area limb thrust (sayap thrust) itu relatif terhadap pantai. Dalam kasus air menyurut, berarti vakum area dan vergency (arah) dari thrust/reverse frontal terhadap pantai. Hanya, seperti ditulis di atas, vakum area thrusting EQ lebih kecil dibandingkan vakum area normal faulting EQ, sehingga massa air yang dipindahkan pun lebih kecil; tetapi hunjaman thrusting perlu diperhitungkan juga sebagai efek pemindah massa air. Dan bila vergency hunjaman thrusting menuju pantai, maka ke situ pula kolom air akan dipindahkan, setelah sedikit melalui bounce back atau ayunan osilasi gelombang laut yang dipindahkan ke vakum area thrusting EQ (bila ada).

Maka pak Franc, kedua dip-slip fault itu bisa menyebabkan tsunami; hanya yang normal fault EQ bisa lebih besar daripada yang thrusting EQ. Gempa2 di sepanjang palung Sumatra dan Jawa umumnya thrusting EQ karena batas lempengnya konvergen.

Kasus “ledakan” pra-tsunami di Pangandaran, menurut pak Franc akibat efek airgun (seperti saat marine seismicsurvey) kolom air laut yang berlomba2 masuk ke wilayah vakum normal faulting EQ Pangandaran 17 Juli 2006. Saya kiranya kurang sependapat dengan pemikiran pak Franc sehingga suara ledakan itu tetap misteri yang harus dicari pemecahannya. Masalahnya, pematahan gempa Pangandaran bukan normal faulting, tetapi thrust faulting berdasarkan focal mechanism solution dan finite fault model-nya dengan strike N40 W dip 11 deg. Tsunami menyerbu pantai Pangandaran dengan ketinggian run up 2 meter, menyapu pantai Pangandaran, membunuh sekitar 350 orang. Thrust faulting EQ rata-rata memang menyebabkan run up tsunami 0-5 meter; tetapi dalam beberapa kasus run up-nya bisa sangat tinggi, seperti thrust faulting gempa Banyuwangi 2 Juni 1994, bermagnitude 7.8 yang membuat tsunami menyerbu pantai2 Banyuwangi dan Blambangan dengan run up setinggi 13 meter dan menewaskan 200 orang.

Bandingkan dengan tsunami-genic normal faulting EQ yang biasanya membuat run up tsunami tinggi. Suatu normal faulting EQ pernah terjadi di perairan Australia pada 20 Agustus 1977 bermagnitude 8.3. Dan gempa ini telah membuat tsunami dengan run up 15 meter ketika memasuki pantai terdekat dan menewaskan 200 orang (data dari USGS, 2006).

Run up tsunami akibat hantaman meteorit besar ke laut dan akibat material volkanik yang jatuh kembali ke laut dalam suatu letusan volkanik gunungapi bawahlaut akan lebih dahsyat lagi. Run-up tsunami letusan Krakatau 1883 di Selat Sunda telah menyebabkan tsunami setinggi 30 meter di pantai-pantai Lampung dan Banten (menurut Vrbeek, 1898; Willumsen, 2000, dan Winchester, 2002). Berapa besar run up tsunami akibat sebuah komet menghantam Bumi di Teluk Meksiko dan membuat kawah Chixculub serta memunahkan raksasa reptil pada K-T boundary 65 Ma ? Tak bisa dibayangkan akan setinggi apa.

Sekali lagi, run up tsunami juga akan dipengaruhi morfologi pantai setempat dan jelas oleg magnitude gempanya sendiri, tetapi saya sependapat dengan pak Franc bahwa normal faulting EQ akan lebih berbahaya menimbulkan tsunami besar dibandingkan thrust faulting EQ.