Hati-hati memberi label “abal-abal” dan “asal riset”

Author:

Terbangun malam hari untuk membaca pernyataan “seseorang” tentang “jurnal abal-abal” dan “asal riset”. Konteksnya pasti Permenristekdikti itu.

Ini pendapat saya.

Maaf suntingan masih kurang rapih. (sudah saya rapihkan)

Yang saya cermati pertama adalah pernyataan “asal riset” untuk memberi label riset yang “aneh” menurut kita. Pada hakekatnya kita harus memilih mau set up output atau proses terlebih dahulu. Kalau akan set up output lebih dulu — yang mana sepertinya pola ini yang diambil oleh Menristekdikti dengan permen-nya –, maka biarkanlah dalam proses mencapainya kita jatuh bangun dan berpikir praktis, termasuk melaksanakan riset yang menurut terminologi sekarang terkesan instant.

Walaupun riset itu “instant” kemudian ditulis menjadi makalah ilmiah, hendaknya jangan memberi label “asal riset” dll.

Yang penting semangat menulisnya dulu yang ditumbuhkembangkan.

Sedangkan kalau yang dipilih adalah pola set up proses terlebih dahulu, maka kita perlu menyiapkan dana riset dan infrastrukturnya terlebih dahulu. Harapannya risetnya jalan dulu, yaitu riset yang menurut terminologi sekarang adalah riset yang benar dan tidak instant.

Dampaknya apa?

Yang jangan tanya-tanya “mana publikasinya?”

Di zaman open data (baca blog Open Knowledge, Open data handbook, dan Irawan et al., 2016) sekarang, apakah seseorang yang mengolah data primer orang lain dengan analisis lebih komprehensif dan teknik berbeda bisa disebut “asal riset”?

Menurut saya tidak!

Saya bersedia diskusi face to face dengan rekan-rekan yang masih berpendapat bahwa yang seperti itu adalah  jenis riset “asal riset” 🙂 Maaf akhir2 ini saya mau agak garis keras.

Saya ulang lembali, kita harus memilih pola, apakah akan set up output terlebih dahulu atau set up prosesnya lebih dulu. Kalau saya lihat, pemerintah memilih pola set up outputnya dulu, maka warga kelas bawah macam saya ini (dan anda mestinya) tugasnya berpikir bagaimana agar standar itu bisa dipenuhi atau dilampaui. Dengan (tentu saja) cara yang legal, berbekal ilmu pengetahuan, dan tidak salah pilih jurnal abal-abal.

Bergeser ke pernyataan kedua, label “jurnal abal-abal”. Harus hati-hati. Jeffrey Beall saja yang sudah menekuni bidang tersebut bertahun-tahun, masih sering salah etika dan diserang berbagai pihak.

Sekali lagi saya tekankan bahwa yang disebut “abal-abal” itu jangan dihubungkan dengan statusnya yang tidak terindeks lembaga ini itu, tidak ber-impact factor sekian dan lain-lain. Tidak!

Sama sekali bukan itu.

Di luar negeri banyak pengelola jurnal, peneliti, dan universitas telah banyak yang meninggalkan Impact Factor. Sebagian besar dari mereka sudah mengakui Deklarasi DORA.

Jurnal atau konferensi abal-abal adalah jurnal atau konferensi yang dalam prosesnya tidak menggunakan kaidah akademik.

Itu saja.

Bukan masalah indeks ini indeks itu.

Saya akan kopi paste pesan ini dan jadi blog besok. Supaya bisa disitasi, bukan hanya jd pembicaraan via WA “biasa”.

Saya tinggalkan bagian ini agar anda tahu bahwa artikel ini berawal dari respon saya atas pesan WA/Telegram.