Pengelolaan jurnal ilmiah: konvensional vs open access bagian 3

Author:

Jadi bagaimana sikap kita as a living breathing and proud Indonesian scientists?

FYI, justru bagian ini yang jadi lebih dulu dalam artikel ini. Jadi bagaimana sikap kita?

Asumsi yang saya gunakan:

Istilah “kita” adalah dosen atau peneliti Indonesia yang tinggal dan berkarir di Indonesia yang hanya mendapatkan dukungan dana dari Pemerintah Republik Indonesia.

Dengan pertimbangan bahwa:

  1. Hasil riset harus segera dipublikasikan dan sebanyak mungkin masyarakat dapat membacanya tanpa dibatas akses paywall yang mahal. Karena alasan itu, media OA akan lebih baik dibanding media non-OA. Ditambah lagi fakta bahwa mayoritas jurnal di Indonesia (point ke-2) mayoritas adalah OA yang dibiayai dengan anggaran lembaga.
  2. Mayoritas jurnal tersebut (point ke-2) telah terbit juga secara online, maka aksesnya bisa dilakukan oleh siapapun (tanpa memandang ras, kewarganegaraan, dan batas negara).
  3. Karena telah tersedia secara online, maka makalah yang diterbitkannya dapat dengan mudah ditemukan dengan mesin pencari yang telah banyak digunakan saat ini, misal: Google, Google Scholar, Microsoft Academic.
  4. Mayoritas makalah dalam jurnal tersebut telah dilengkapi dengan kode doi (digital object identifier), sehingga identitas makalah dan tautannya bersifat pasti (persistent ID).
  5. Saat ini telah banyak saluran-saluran terbuka dan gratis untuk memaksimalkan diseminasi hasil riset. Jurnal dalam makalah peer-review hanyalah bagian kecil saja.

maka saya mengusulkan agar (saya susun dari tingkatan paling rendah, yakni diri sendiri sebagai dosen):

    1. Dosen dan peneliti Indonesia HARUS memanfaatkan semaksimal mungkin jurnal yang terbit dan dikelola di dalam negeri.
    2. Dosen dan peneliti Indonesia PERLU memaksimalkan penggunaan Bahasa Inggris dalam penulisan makalah tersebut (point ke-1).
    3. Dosen dan peneliti Indonesia HARUS memaksimalkan jejaring dengan peneliti luar negeri untuk memaksimalkan penyebaran informasi hasil riset, diantaranya dengan menggunakan media sosial (saya merekomendasikan Twitter, catatan: saya bukan pegawai Twitter).
    4. Penyelenggara seminar atau konferensi HARUS mengembangkan indeksasi kegiatannya. Tidak hanya ke indeks berbayar tertentu, tapi juga indeks lainnya seperti Google Scholar, Pubmed, PMC, dll. Ini penting, karena kunci dari keberhasilan seminar salah satunya berasal dari aktivitas diseminasi yang dilakukan.
    5. Pengelola jurnal HARUS memastikan kualitas jurnal yang baik dengan standar dunia internasional yang terbuka, bukan HANYA merujuk kepada standar internasional yang dibuat oleh entitas komersial seperti Scopus dan Web of Science (sengaja saya tidak sisipkan tautannya, cari sendiri ya).
    6. Pengelola jurnal HARUS memastikan agar waktu proses makalah cepat (maksimal 6 bulan — ada usulan?) atau makalah ditolak pada kesempatan pertama dengan berbagai catatan dari editor bila dirasa terlalu banyak perbaikan yang diperlukan.
    7. Pengelola jurnal DAPAT menggunakan mekanisme open peer-review dan post publication peer-review serta format layout makalah yang paling mudah agar target penerbitan makalah kurang dari enam bulan tercapai.
    8. Pengelola jurnal HARUS membantu diseminasi makalah terbitannya melalui penggunaan media sosial serta artiuntuk menjamin penyebaran informasi seluas mungkin untuk masyarakat akademia di Indonesia dan di luar negeri (karena makalah telah ber-Bahasa Inggris).
    9. Pemerintah melalui kementerian terkait HARUS mengembangkan standar-standar internasional, selain Scopus dan Web of Science, seperti DOAJ, Sherpa Romeo, dan COPE.
    10. Pemerintah melalui Kementerian terkait HARUS menghapus persepsi bahwa kualitas kepakaran dan kualitas makalah ditentukan oleh standar-standar internasional yang saat ini digunakan.

Limitasi:

Walaupun saya serius menyampaikan hal ini, tapi saya sadar bahwa saya hanyalah seorang dosen berpangkat “Lektor” yang gemar “nge-blog”. Jadi siapalah saya ini.

Tapi bila pendapat di atas dirasa benar dan akan bermanfaat jangka panjang, saya mendonasikan pendapat saya tersebut di atas untuk digunakan oleh pihak lain tanpa menyebut nama saya. Dengan kata lain, saya memasang lisensi public domain atau CC-zero untuk artikel saya ini.

Karena begitulah seharusnya “kita” bersikap.

“Kita” = all living, breathing and proud Indonesian scientists

Baca juga: