Pengelolaan jurnal ilmiah: konvensional vs open access bagian 2

Author:

Article Processing Cost (APC)

Sebelum saya membahas hal ini secara ringkas, saya akan copy paste kan beberapa cuitan (tweet) dari kawan Twitter saya Prof. Erin Mckiernan yang berkerja di National Autonomous University of Mexico. Cuitannya tentang keprihatinan seorang peneliti dari negara maju yang sedang bekerja di institusi pendidikan di Mexico, sebuah negara yang menurutnya memiliki akses terbatas terhadap material ilmiah.

Ada 22 cuitan yang selengkapnya sebagai berikut:

Dear #openaccess publishers, I think you may have an image problem with respect to APCs. Let me explain I’ve talked to a lot of researchers, particularly those in countries like Mexico, who say #openaccess publishing costs too much.

For a moment, let’s set aside self-archiving, OA journals that don’t charge, and other ways to be open at low to no cost. It’s true that many #openaccess jrnls have high APCs that researchers in small inst. or countries with limited resources can’t afford. When I say to researchers here in Mexico that many #openaccess jrnls provide waivers, it’s met with skepticism, and for good reason.

Mexico counts as an upper middle income country. Means no automatic waivers. Typically, most we’re offered is 50% waiver. Still $$$! Let me put it this way: Right now my lab is running on equivalent of < 20K USD per year. Paying a 2K APC is not feasible. Giving me a 50% waiver doesn’t help. I still can’t afford 1K, esp. since it would likely have to come out of my own pocket, not grants. So, here’s where waivers come in, right?

If I tell the publisher all this, surely they will give me a full waiver. Not necessarily. I know plenty of researchers, here and in other countries, who have explained this situation and still been denied the full waiver. Of course, this is anecdotal – I don’t have good numbers. But convos tell me this happens more than it should, hence the skepticism. Now some researchers I know have simply stopped submitting to many #openaccess jrnls. “Why should I even try? I can’t pay.” Is this really the publishing system we want? Still huge inequities, just in another part of the system. This isn’t a good solution. I don’t have answers.

I understand that the economics of sustainable publishing models isn’t trivial. But we have to talk about this. #openaccess publishers, many of you say cost shouldn’t be a barrier to publishing. But how often are waivers given when requested? I would love to see some numbers on this. How often are partial versus full waivers given? To researchers in which countries? Criteria? If you’re not giving the waivers, are there ways to improve these decisions? If you are giving them, how can we spread the word? Here’s where image prob comes in.

I think many #OA publishers want to help, but aren’t connecting with researchers in these situations. And the researchers, feeling like their concerns aren’t addressed, simply go elsewhere, often to closed jrnls who don’t charge. And round and round we go… again, I don’t have all the answers. I just know this isn’t working and we need to brainstorm solutions.
End rant…possibly…for now. Thanks for listening.

___

Jelaslah bahwa APC yang mahal bukan masalah kita saja di Indonesia. Peneliti lain di negara yang lebih maju juga prihatin atas hal tersebut.

Mode pengelolaan jurnal: konvensional (non Open Access) vs Open Access

Sebelum ke arah APC saya jelaskan dulu dua model bisnis pengelolaan jurnal yang saat ini ada di dunia.

Di dunia dikenal dua model bisnis untuk pengelolaan jurnal ilmiah. Keduanya bertumpu kepada pembiayaan tim editor, sewa hosting server dll (baca bagian 1). Model pertama adalah model konvensional (non-OA), biaya ditarik dari para pembaca. Model seperti ini yang biasa kita kenal dari jurnal-jurnal terbitan Elsevier dll. Model kedua adalah open access (OA).
Biaya justru ditarik dari penulis agar pembacanya bebas mengunduh secara gratis. Di Indonesia agak lain, di mana mayoritas jurnal dibiayai manajemennya dari anggaran departemen atau universitas. Sifatnya jadi gratis untuk kedua belah pihak, baik penulis maupun pembaca. Untuk jurnal tertentu bahkan menyediakan honor bagi penulis. Karena itulah saya sering berpikir bahwa Indonesia mestinya jadi surga para ilmuwan. Jadi kalau ada jurnal di Indonesia yang menarik biaya dari penulis, berarti mereka menganut model OA atau semi OA. Jadi tidak perlu bingung.

Kenapa repot dengan APC?

Kenapa sih kita repot-repot dengan APC. Hingga dalam RAB riset kita mulai ada item “biaya publikasi”. Bukankah kalau kita menerbitkan makalah di jurnal konvensional (non-OA) masih gratis?

Betul gratis, tapi bukankah kita hanya akan mengalihkan masalah ke para pembaca. Para pembaca akan ditarik biaya oleh Sang Penerbit sebesar rata-rata USD 35 per artikel. Mereka harus membayar harga tersebut bahkan untuk artikel yang belum tentu relevan dengan riset mereka (mereka kan hanya membaca abstrak sebagai petunjuk awal). Masih beruntung bila para pembacanya bekerja di lembaga yang melanggan jurnal non-OA tersebut. Bagaimana bagi mereka yang beruntung? Dengan alasan itulah mayoritas peneliti di dunia sekarang mendorong agar makalah ilmiah diterbitkan di media open access (OA). Salah satunya agar makalah tersebut memiliki peluang lebih besar untuk dibaca oleh peneliti lain yang memerlukan.
Tapi apa betul makalah di media open access lebih banyak dibaca? Berikut ini ada grafik yang menjelaskannya bahwa makalah di jurnal OA memiliki rasio sitasi lebih tinggi dibanding makalah pada jurnal non-OA (McKiernan et al., 2016). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas titik berada di sebelah kanan dari angka rasio “1”, artinya persentase sitasi makalah di jurnal OA lebih tinggi dibanding jurnal non-OA, kecuali untuk bidang ilmu komunikasi dan ekologi.

Gambar 1 Perbandingan relative citation rate antara jurnal OA dan non-OA (titik merupakan rasio nilai OA/non-OA)
Gambar 1 Perbandingan relative citation rate antara jurnal OA dan non-OA (titik merupakan rasio nilai OA/non-OA) (Emckiernan et al., 2016)

Seberapa mahal APC itu?

Pertanyaan bagus. Jawaban termudah adalah batas atasnya, yakni “langit”. Sebagai pembuka, saya tampilkan grafik di bawah ini (Bjork and Solomon, 2015).

Dari gambar 2 di bawah ini dapat kita lihat bahwa kisaran harga paling umum berkisar di USD 750-1000 dan USD 1500-2000. Selain itu ada kisaran harga dari USD 0 (no APC) sampai 750. Harga tertinggi sekitar USD 4000 an, tapi saya yakin masih ada yang di atas itu.

Sekarang bandingkan dengan dana riset di Indonesia. Kisaran paling umum adalah antara RP. 50 hingga 100 juta. Banyak program penelitian di bawah nilai itu (biasanya sebagai dana pelengkap) tapi jelas sedikit sekali yang di atas itu. Bahkan dana riset dari yayasan LN, seperti Asahi Glass atau Osaka Gas, juga tidak jauh dari angka Rp. 100 jt.

Apakah itu hanya terjadi di Indonesia?

Percayalah kawan-kawan kita di benua Afrika (kecuali mungkin Afrika Selatan) mengalami yang lebih buruk.

Bagaimana dengan di negara maju di benua Eropa atau Amerika?

Jelas nasib mereka lebih baik. Tapi itu tidak terdistribusi secara merata. Hanya bidang-bidang ilmu tertentu saja yang mendapat dana riset melimpah. Sebagian yang lain, seperti lingkungan, tertinggal.

Jadi masalah biaya publikasi di media OA bukan hanya masalah kita.

journal APC
Distribusi APC jurnal dari sampel sebanyak 595 jurnal yang diambil dari database DOAJ.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah harga APC mempengaruhi kualitas jurnal?

Pertanyaan di atas tentu saja akan relevan bila kita percaya bahwa Impact Factor (IF) berkorelasi dengan kualitas jurnal dan makalah yang ditampilkan di dalamnya. Untuk menjawabnya saya tampilkan Gambar 3 berikut ini (Romeu et al., 2014). Secara umum memang terlihat fenomena tersebut, bahwa harga APC berkorelasi dengan IF. Tapi bila dilihat deviasi sangat terjadi di sisi kiri grafik, untuk jurnal dengan harga APC relatif murah (USD 500 – 1000) dengan IF antara 0 hingga 3.

Namun demikian, banyak kelompok saintis di dunia telah bersepakat untuk memiliki pendapat yang berbeda mengenai IF ini. Mereka berpendapat bahwa IF adalah bias, tidak merepresentasikan kualitas jurnal. Dengan kata lain, IF bukanlah metric (ukuran) yang tepat. Pendapat ini mereka rumuskan dalam Deklarasi DORA (bila anda setuju dengan isinya, saya harap anda menandatanganinya di sini). Bagian saya ada di Gambar 4.

APC vs IF
Gambar 3 Korelasi antara harga APC jurnal OA dengan Impact Factor (Romeu et al., 2014)

 

DORA
Gambar 4 Me sign DORA declaration

 

Baca juga: