Ini bukan tentang Final AFF antara Indonesia dengan Thailand. Ini tentang sebuah persepsi.
Sebenarnya tidak pas kalau dianalogikan dengan pertarungan dan situasi menyerah sebelum bertarung, karena naik pangkat bukan tujuan apalagi kewajiban . Jadi kalau ada yang bilang, “saya menyerah”, sebenarnya lebih cocok disebut “saya tidak tertarik”.
Naik pangkat atau tidak itu seperti memilih dua jalur ke Jakarta dari Bandung. Ada yang ingin via Purwakarta yang penuh dengan truk pekerja atau lewat Puncak yang penuh dengan pemandangan indah. Walaupun kedua rute berakhir di Jakarta (pensiun), tapi jelas memilih jalur perjalanan tepat akan mempengaruhi suasana hati ketika sampai di akhir perjalanan.
Ada juga yang senang dengan rute Purwakarta, karena mereka senang dengan situasi bersaing di jalan dengan kendaraan yang yang lebih besar. Banyak truk dengan muatan berat yang berjalan pelan. Di jalur itu keterampilan menyalib dengan efektif dan efisien akan diuji. Sebaliknya bagi yang senang via Puncak juga punya alasan kuat. Mereka ingin menikmati perjalanan, walaupun kita tahu medan jalanan menuju Puncak menanjak dan berkelok.
Saya yakin bagi yang tidak ingin naik pangkat, tidak akan ada penyesalan. Jadi orang-orang yang menyerah ini bukanlah pecundang. Itu kenapa saya tidak setuju analogi naik pangkat sebagai sebuah pertarungan.
Dalam situasi sekarang, mengikuti proses naik pangkat adalah pengalih perhatian (distractions), karena proses ini membuat Anda menganggap bahwa Jakarta hanya dapat dicapai via Purwakarta. Lantas bila tidak tahu rute itu, maka Anda dianggap tidak tahu cara pergi ke Jakarta, bahkan Anda dianggap tidak cocok sebagai supir. Padahal keterampilan menyupir dibuktikan dengan SIM, bukan tahu jalan ke Jakarta atau tidak. Tidak proporsional bukan.
Ini bukan tentang Final AFF antara Indonesia dengan Thailand. Ini tentang sebuah persepsi. Untuk sebuah pertandingan sepak bola, kemenangan memang adalah tujuan akhirnya.