[Republikasi] Indonesia nomor 1 untuk publikasi jurnal akses terbuka di dunia: apa artinya bagi ekosistem riset lokal

Author:

Dua peneliti dari Indonesia dan Amerika melakukan uji laboratorium terhadap biota laut di Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Research Center/IBRC), Denpasar, Bali. ANTARA/Nyoman Budhiana/ed/pd/10

Dasapta Erwin Irawan, Institut Teknologi Bandung; Bambang Priadi; Lusy Tunik Muharlisiani, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya; Sandersan Onie, Black Dog Institute, dan Zulidyana Dwi Rusnalasari, Universitas Negeri Surabaya

Indonesia ternyata menempati urutan pertama sebagai negara yang mempublikasikan jurnal penelitian dengan sistem akses terbuka atau yang disebut dengan open access (OA).

Open Access (OA) adalah modus publikasi makalah ilmiah yang memberikan akses kepada publik. Siapa pun dapat mengunduh makalah lengkap dan berbagai dokumen pendukungnya secara bebas dan gratis karena penulis atau lembaga penelitian sudah menanggung biaya penerbitan.

Data terakhir menunjukkan Indonesia menempati urutan pertama dengan menerbitkan 1.717 jurnal dengan akses terbuka, disusul oleh Inggris (1.655) dan Brasil (1.544).

Pencapaian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi penting dalam dunia publikasi akademik di dunia. Artikel ini berusaha menjelaskan apa makna pencapaian ini bagi ekosistem riset di Indonesia.

Ekosistem riset yang terbuka

Banyaknya jurnal OA di Indonesia menunjukkan bagaimana ekosistem riset di negara ini sudah mulai membuka diri terhadap publik.

Akses terbuka adalah awal dari perkembangan ilmu. Inilah cita-cita awal dari gerakan akses terbuka. Ilmu tidak akan berkembang maksimum bila akses dibatasi (paywalled).

Hasil riset terutama yang didanai oleh negara, sudah selayaknya dibuka seluas-luasnya untuk publik. Publik di sini bukan hanya berarti masyarakat peneliti, tapi juga khalayak umum. Mereka sudah sepatutnya juga diberi akses terhadap hasil riset.

Dengan jumlah jurnal OA paling banyak di seluruh dunia, ilmu pengetahuan dari para peneliti Indonesia semestinya dapat dengan leluasa sampai ke tangan publik.

Pemerintah sudah mulai menyadari hal ini.

Hal ini terbukti dengan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) yang terbaru juga mulai mewajibkan penerapan sistem akses terbuka ini untuk publikasi riset untuk memastikan bahwa hasil riset dapat dinikmati oleh publik.

Melalui kewajiban tersebut, pemerintah berharap dapat mendorong tidak hanya transparansi proses riset, tapi juga inovasi dan temuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat.

Posisi riset Indonesia di dunia

Dunia seharusnya iri kepada peneliti Indonesia ketika mereka tahu bahwa banyak jurnal Indonesia adalah jurnal OA dan mayoritas peneliti akan menerbitkan artikel mereka tanpa dipungut biaya.

Menurut catatan kami, sistem publikasi riset di Indonesia sejak 1970-an sudah menerapkan prinsip nirlaba. Ketika itu publikasi riset dijual dengan biaya langganan yang biasanya hanya dihitung dari biaya pencetakan saja. Sistem ini berbeda dengan yang ditemukan di negara maju yang didominasi oleh perusahaan penerbitan komersial.

Di sinilah kemenangan Indonesia dibanding ekosistem riset di mana pun.

Beberapa yang dapat menyamainya adalah ekosistem riset Scielo di Brasil, ekosistem penerbitan ilmiah African Journal Online (AJOL) dan Africaxiv dari benua Afrika.

Kesamaan dari ketiga ekosistem ini adalah dikelola oleh entitas nirlaba (mayoritas adalah perguruan tinggi, lembaga riset, dan asosiasi profesi) dengan model tata kelola nirlaba.

Ini justru berlawanan dengan apa yang terjadi di Eropa dan belahan Dunia Utara yang bergerak di bawah komando entitas bisnis. Mereka bahkan menerbitkan makalah secara OA dengan biaya yang tidak murah.

Langkah selanjutnya

Untuk mendukung ekosistem riset terbuka di Indonesia dengan jurnal OA, kerja sama antara pengelola jurnal, peneliti, dan pemerintah perlu ditingkatkan.

Meski menduduki ranking pertama di seluruh dunia, proporsi jumlah jurnal dengan sistem 0A hanya 16% dari total jurnal yang terbit di Indonesia.

Berikut ini beberapa rekomendasi yang kami tawarkan untuk memperkuat sistem OA di Indonesia bagi para pemegang kepentingan yang relevan.

Pengelola jurnal

Mereka perlu membangun kepercayaan diri dengan membangun tata kelola jurnal akademik yang lebih kredibel. Caranya, misalnya menetapkan panduan pengelolaan jurnal yang generik dan baku pada level nasional (ARJUNA) maupun level internasional COPE.

Mereka juga perlu membangun diversifikasi seperti jenis makalah, saluran penyebaran informasi ke format audio maupun video, maupun jejaring penerbitan tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar. Di dunia dikenal banyak komunitas atau organisasi penerbit akademik, seperti DOAJ, OASPA, dan Open Access OAPEN.

Dosen dan peneliti

Para peneliti atau dosen bisa mengurangi motivasi gengsi menerbitkan penelitiannya di jurnal berbayar. Mereka harus menyadari bahwa hasil riset penting juga untuk disebar seluas-luasnya pada masyarakat.

Mereka juga harus membangun kapasitas mereka dalam menyebarkan artikel mereka dengan gaya populer.

Pemerintah

Pemerintah perlu mengurangi bahkan menghentikan kebergantungan mereka terhadap asing untuk instrumen penilaian kualitas jurnal atau riset lokal, apalagi jika kita sudah memiliki instrumen itu.

Untuk menggantikannya, pemerintah dapat menggunakan standar pengelolaan jurnal yang ditetapkan oleh organisasi internasional yang menerbitkan panduan pengelolaan jurnal seperti COPE. Untuk versi lokalnya, Indonesia memiliki ARJUNA).

Pemerintah Indonesia sebaiknya menggunakan COPE dan ARJUNA daripada standar-standar yang tidak inklusif seperti Scopus dan Web of Science karena dalam penyebaran sains, eksklusivitas adalah satu hal yang paling harus dihindari.

Dasapta Erwin Irawan, Lecturer at Department of Geology, Institut Teknologi Bandung; Bambang Priadi, Dosen dan peneliti bidang geokimia; Lusy Tunik Muharlisiani, Dosen, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya; Sandersan Onie, Postdoctoral Researcher, Black Dog Institute, dan Zulidyana Dwi Rusnalasari, doctoral student, Universitas Negeri Surabaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.