Tanggapan saya ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penulis.
Jadi menurut artikel di atas sebuah Perguruan Tinggi peringkat atas di Malaysia menargetkan menerima 250.000 mahasiswa asing hingga tahun 2025. Pertanyaan saya adalah, pastinya 250.000 mahasiswa asing tersebut akan menghabiskan kapasitas mahasiswa baru yang mestinya juga dirasakan mahasiswa asli Malaysia. Pertanyaan saya, apakah 250.000 mahasiswa Malaysia tersebut akan ditempatkan di Perguruan Tinggi Malaysia peringkat kedua atau ketiga. Seandainya kita meniru mereka, bagaimana kita cara kita menempatkan 250.000 mahasiswa WNI? Apakah mereka juga akan ditempatkan di Perguruan Tinggi tingkat bawah menurut pemeringkatan Dikti?
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah jumlah sitasi, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Tinggal disepakati secara nasional, utamakan membaca dan menyitir karya WNI, jadikan UU bila perlu. Untuk sementara kesampingkan dulu pendidikan dasar dan menengah, apalagi pendidikan vokasi dan pendidikan luar biasa.
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah jumlah artikel di jurnal top, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Beli saja Springer Nature dan Elsevier dengan anggaran negara. Pasti bisa. Tinggal anggaran untuk sektor lain dinolkan. Kalaupun keuangan negara jadi kacau, tidak mengapa, katanya kalau banyak artikel warganya masuk jurnal top, maka bangsa itu akan dianggap sebagai bangsa yang bereputasi. Pasti akan datang banyak kesempatan bagi Indonesia untuk berkiprah di kancah internasional. Pastilah, karena akan menjadi bangsa dengan warganya menjadi Pemenang Nobel terbanyak di dunia. Jadi modal yang dikeluarkan pemerintah akan kembali.
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah jumlah penerima nobel, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Tawari para pemenang nobel menjadi WNI (kewarganegaraan ganda kalau perlu), dengan berbagai fasilitas, termasuk penghapusan pajak. Tinggal arahkan seluruh anggaran untuk itu, anggaran sektor lain dinolkan. Kalaupun keuangan negara jadi kacau, tidak mengapa, katanya riset kelas Nobel dinilai akan melahirkan inovasi kelas dunia. Jadi modal yang dikeluarkan pemerintah akan kembali.
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah jumlah mahasiswa asing, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Pakai saja seluruh anggaran negara untuk membayari mahasiswa ASING sampai S3. Nolkan anggaran untuk BPJS, membangun sekolah di daerah 3T dll. Toh itu tidak akan dinilai juga oleh QS, THES, dan ARWU. Anggaran LPDP juga bisa dimaksimumkan untuk memasukkan mahasiswa asing yang terbukai pintar, daripada untuk mengirimkan mahasiswa Indonesia ke LN. Efeknya ke ranking akan lebih signifikan. Kagok kalau akan memberi beasiswa parsial, negara tetangga sudah memberikan beasiswa penuh. Jadi jangan kagok. Toh kalau suatu negara banyak memiliki mahasiswa asing, akan masuk ke peringkat dunia. Pasti akan banyak tawaran kerjasama berdatangan. Modal yang dikeluarkan akan kembali.
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah jumlah dosen asing, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Kalikan anggaran untuk mahasiswa asing dengan angka dua untuk memasukkan dosen asingnya sekalian. Plus tawari kewarganegaraan. Bila perlu kasih satu pulau untuk masing-masing dari mereka. Toh kita punya hampir 17.000 pulau. Orang Indonesia sendiri bisa hidup berdesakan di satu pulau saja. Tinggal perbanyak bangunan apartemen. Pasti cukup. Dosen asing akan mencerminkan reputasi Indonesia, maka akan banyak dana riset masuk. Modal yang telah dikeluarkan akan kembali. Bahkan mungkin bisa bikin pulau baru.
Kalau kemajuan bangsa ditentukan oleh ranking, yang salah satu indikatornya adalah penilaian dari employer, maka akan mudah sekali jadi presiden, atau jadi menteri, atau jadi rektor. Tinggal dibuat daftar perusahaan asing yang paling banyak pegawai dari Indonesianya. Undang eksekutif, komisaris, dan seluruh pemegang sahamnya ke Indonesia. Tawari fasilitas yang persis sama dengan fasilitas yang didapatkan Pemenang Nobel dan dosen asing. Jangan dibedakan ya, harus persis sama. Anggaran untuk perumnas bisa dinolkan saja. Kalau industri internasional sudah bilang lulusan Indonesia berkualifikasi sangat memuaskan, pasti industri lainnya akan berdatangan. Modal yang dikeluarkan akan bisa kembali.
Jangan lupa NASA, Elon Musk, Google, Apple, dll untuk membuat fasilitas strategis di Indonesia secara gratis. Itu 17.000 pulau pastinya tidak akan habis untuk dosen asing dan Pemenang Nobel. Gratiskan pajak. Imbalannya ke kita hanya satu, kasih cap “made in indonesia” di roket SpaceX. Jangan lupa titipkan bendera Indonesia supaya bisa ditancapkan di bulan dan Mars.
Kalau pulau yang 17.000 sudah habis, jangan khawatir. Kita masih punya banyak pulau koral/terumbu dan pulau volkanik bawah laut. Tinggal disedot air lautnya agar surut sedikit. Bagaimana caranya? Salah satu Pemenang Nobel di atas pasti punya jawabannya. Pindahkan air itu ke bulan dan Mars, supaya ada air di sana. Titipkan ke SpaceX. Tidak perlu bawah bendera lagi. Kan sudah saya sebut di atas dalam program yang sebelumnya.
2