Jurnal OpenAccess: kualitas vs prestise

Pendahuluan

Saat ada waktu senggang, saya membuat gambar di atas. Apakah memang relevan dengan kondisi dunia publikasi ilmiah saat ini? Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun, via Twitter, saya memantau hal ini. Jurnal OA (open access) selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah (setidaknya bila dibandingkan dengan jurnal non-OA). Tidak diindeks oleh ini dan itu. Tapi kalaupun telah diindeks ini dan itu, publik tetap meminta lebih. Fenomena di Indonesia, publik tetap meminta jurnal produk LN, yang diposisikan di atas produk DN. Apakah benar?

Beberapa hal berikut ini merupakan persepsi yang paling umum saat penulis mendengar kata-kata “Open Access”. Beberapa referensi utama yang saya gunakan dalam artikel ini adalah:

  1. Thinking about prestige, quality, and open access yang ditulis oleh Peter Suber untuk SPARC Newsletter isu no 125 yang terbit pada bulan September 2008. Sudah hampir 10 tahun, tapi nampaknya masih relevan hingga sekarang. Terutama di Indonesia.
  2. Deep impact: unintended consequences of journal rank yang ditulis oleh Björn Brembs, Katherine Button, Marcus Munafò (ketiganya ahli syaraf) yang terbit di jurnal Frontiers of Neuroscience, tapi ada versi preprintnya di Arxiv.

OpenAccess: selalu salah :)

Read more