Do you know Jessie J? What would happened if you don’t put price tags on everything? Watch this video if you don’t know her or…
Tag: openscience
DESCOM: Indonesian scientist to extend microscope lifetime
Video ini saya rekam sebagai Facebook Live Video hari Kamis lalu 18 Januari 2017 pada Acara Pameran Hasil Riset ITB 2017 yang diselenggarakan oleh LPPM…
The importance of scholarly communication
Sedikit saran dari INArxiv team. Narasinya ada di tautan Authorea ini.
Selamat untuk Jurnal berkala Ilmu Perpustakaan
Setelah IJAIN, berikut kabar gembira selanjutnya. Selamat kepada Jurnal Berkala Ilmu Perpustakaan UGM (Jurnal BIP UGM) yang telah terakreditasi. Berikut makalah kami tentang SainsTerbuka yg…
Jurnal OpenAccess: kualitas vs prestise
Pendahuluan
Saat ada waktu senggang, saya membuat gambar di atas. Apakah memang relevan dengan kondisi dunia publikasi ilmiah saat ini? Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun, via Twitter, saya memantau hal ini. Jurnal OA (open access) selalu diasosiasikan dengan kualitas rendah (setidaknya bila dibandingkan dengan jurnal non-OA). Tidak diindeks oleh ini dan itu. Tapi kalaupun telah diindeks ini dan itu, publik tetap meminta lebih. Fenomena di Indonesia, publik tetap meminta jurnal produk LN, yang diposisikan di atas produk DN. Apakah benar?
Beberapa hal berikut ini merupakan persepsi yang paling umum saat penulis mendengar kata-kata “Open Access”. Beberapa referensi utama yang saya gunakan dalam artikel ini adalah:
- Thinking about prestige, quality, and open access yang ditulis oleh Peter Suber untuk SPARC Newsletter isu no 125 yang terbit pada bulan September 2008. Sudah hampir 10 tahun, tapi nampaknya masih relevan hingga sekarang. Terutama di Indonesia.
-
Deep impact: unintended consequences of journal rank yang ditulis oleh Björn Brembs, Katherine Button, Marcus Munafò (ketiganya ahli syaraf) yang terbit di jurnal Frontiers of Neuroscience, tapi ada versi preprintnya di Arxiv.
Freedom to publish
Pagi (buta) ini saya menerima tiga surel, satu menanyakan komentar saya mengenai tawaran dari sebuah penerbit LN untuk menerbitkan buku. Surel kedua menanyakan mengenai INARxiv dan apakah dibolehkan mengirimkan makalah yang telah daring sebagai preprint ke sebuah jurnal. Surel ketiga mengomentari aktivitas saya sebagai blogger, bagaimana saya bisa menulis artikel — hampir setiap pagi — , dari mana idenya. Ketiganya bertema freedom to publish (kebebasan untuk publikasi) . Saya masih sulit untuk mencari padanan katanya. Untuk ketiganya, saya menulis artikel blog yang akhirnya saya pisahkan jadi tiga artikel.
Untuk menjawab pertanyaan ketiga, saya sampaikan surel balasan saya dengan menganonimkan penerimanya.
Preprints, Arxiv and INARxiv (a view from Prof. Bryan Gaensler)
For some of you who are still skeptical or still having doubts about preprint and how it supports science, you might want to watch this…
INArxiv: 7 days and 77 preprints
7 days 77 preprints
Sudah satu minggu sejak pertama kali INArxiv menerima preprint pertamanya. Saat ini telah ada 77 dokumen (27 Agustus 2017, 22:00) yang diunggah ke INArxiv.
(image from Pixabay CC0)
Review dokumen Pedoman Publikasi Ilmiah (Kemristekdikti, 2017)
Blog post ini awalnya adalah review terhadap Review dokumen Pedoman Publikasi Ilmiah (Kemristekdikti, 2017) yang kemudian akan kami kembangkan sebagai makalah berjenis literature review. Dokumen…