Di salah satu GWA yang saya ikuti ada seorang senior saya yang bertanya: “Apakah dapat dijelaskan pertimbangan apa saja, kenapa penulis (yang juga peneliti) masih harus mengeluarkan dana atau sehari-hari dinyatakan harus bayar untuk mempublikasikan di jurnal terbitan Elsevier atau di jurnal ilmiah lainnya?
Institusi penerbit tsb, sepertinya telah tidak mampu lagi mendapatkan sponsor.
Berikut respon saya.
Pertimbangannya: Agar artikelnya dapat terbit secara “open access (OA)” (gratis untuk pembaca).
Agar terbit secara OA perlu ada yang menanggung biaya publikasi. Dalam hal ini penulis yang menanggung. Padahal agar dapat terbit secara OA penulis tidak harus membayar. Pilih saja jurnal yang tidak mengenakan biaya publikasi. Saya juga pernah menulis mengenai model bisnis pengelolaan jurnal, ada tiga bagian. Ini bagian pertamanya.
Di DOAJ.org ada 70% lebih jurnal OA (tepatnya 73%) yang tidak mengenakan biaya publikasi atau biasa disebut dengan istilah “diamond OA”. Tapi jurnal-jurnal ini (baik terbitan LN atau DN) kurang mendapat perhatian penulis. Penulis umumnya mencari “prestise” yang didapat dari jurnal-jurnal “top” yang dikelola mayoritas oleh perusahaan komersial. Perusahaan-perusahaan ini margin keuntungannya bisa lebih besar dari 40 persen. Mereka mungkin lebih kaya dari perusahaan migas.
Kenapa?
Karena tidak banyak mengeluarkan biaya, contoh:
- honor reviewer: kita kerja gratisan, tapi bangga, sementara dapat tugas tanpa SK kita sering menolak,
- biaya riset: jelas dikeluarkan oleh penulis atau lembaga perguruan tinggi/penelitian,
- biaya promosi: cukup para penulis yang jadi tenaga pemasar dengan menyebut QQ jurnal yang memuat artikelnya dan mungkin
- biaya-biaya lain.
Penerbit besar hanya mencari keuntungan. Mereka tidak perlu sponsor. Kalaupun mereka mendapat sponsor, maka mereka akan mencari keuntungan dari sisi yang lain.
Yang unik, setelah artikel terbit, kita (via universitas/perguruan tinggi), masih disuruhnya membeli akses basis data (eg Scopus, Web of Science). Dan kita tenang saja dengan kondisi itu, malah bangga kalau institusinya berhasil mengalokasikan dana untuk menyediakan akses tersebut. Sampai level tertentu, yakni motivasi perguruan tinggi untuk menyediakan akses umber informasi, saya tidak keberatan dengan hal ini. Tapi tidak kalau digunakan sebagai standar kualitas atau kepakaran. Sebagai catatan, Indonesia via Kemristekdikti, juga telah membeli akses beberapa basis data, tentunya tidak murah.
Jadi kita ibarat petani, punya lahan sendiri, menggarap lahan sendiri, setelah panen, kita sendiri harus membelinya. :).
Komersialisasi ini memang nyata. Karena itu dalam pesan awal, saya tulis “komersialisasi ini bukan hanya penghindaran kewajiban untuk menulis publikasi”. Mungkin ada juga yang memang menghindar, tapi itu tidak menutup fakta bahwa terjadi komersialisasi.
Mumpung hari Sabtu, kalau ada waktu ibu dan bapak dapat menonton video dokumenter ini. Bertema komersialisasi publikasi yang dibuat oleh Jason Schmitt . Durasi film 65 menit. Tapi kalau Anda belum punya waktu, bisa melihat catatan visual yang saya buat untuk film itu. Pembuatnya sudah mencetak catatan itu dan memasangnya di kantornya.
Dalam film itu, seluruh nara sumber tidak ada yang dari Asia atau Asia Tenggara. Toh semua menyatakan hal yang sama. :).
Pesan terakhir Sabtu pagi ini. Selamat libur akhir minggu.