Saya menulis ini untuk merespon pesan di laman salah satu grup Facebook yang saya ikuti. Seperti yang sering saya bilang. Tidak ada industri lain yang seperti industri publikasi. Sebuah industri yang terbalik-balik menurut saya. Pihak yang memproduksi riset sangat tergantung kepada pihak yang tugasnya mengemas dan sekaligus sebagai penjual. Pihak yang menjual ini bahkan mendapatkan untung, salah satunya dengan tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk bahan bakunya. Nah masalah sitasi ini juga imbas dari kondisi yang aneh di atas. Mau dilihat dari sudut manapun, bahkan 360 derajat hasilnya akan tetap sama anehnya.
Saya kasih analogi dengan produk mobil ya. Katakan merk X. Mungkin sitasi ini setara dengan jumlah penjualan. Artinya sitasi tinggi sama dengan tingginya jumlah pembeli mobil merk X. Untuk kasus mobil, anda pasti bisa menerima kalau agar penjualan meningkat, promosi perlu gencar. Selain kualitas mobilnya memang harus bagus, disesuaikan dengan harganya. Harga Altis ya beda dengan Agya.
Nah sekarang kalau saya kembali ke masalah publikasi. Apakah ada upaya-upaya pemasaran paper yang anda lakukan, selain hanya memajang status impact factor dan Q nya? Saya betulan bertanya ini ke yang sering melakukannya. Apakah itu sudah anda anggap sebagai upaya pemasaran?
Nah sekarang. Bagaimana pembaca bisa memutuskan pada akhirnya akan menyitir makalah anda bukan yang lain? Apakah ia membandingkan isi makalah (dari sisi metode atau hasil) dengan makalah yang lain. Apakah prosedur membandingkan produk mobil yg sekelas, juga dilakukan oleh pembaca makalah? Sepertinya tidak. Kalaupun ini dilakukan, juga sudah ada bias awal, yakni di jurnal apa suatu makalah diterbitkan. Pembaca mungkin akan lebih menyitir makalah yang terbit di jurnal A dibandingkan jurnal B, bahkan mungkin tanpa membaca makalahnya lebih dahulu? Apakah ini betul? Memang banyak yang salah di lingkungan kita ini.
Anda mungkin harus merevisi nasehat ke anak-anak agar tidak melihat orang lain dari luarnya saja, karena anda tiap hari melakukannya.
Lagi pula saat memilih mobil, kita hanya dihadapkan kepada beberapa pilihan saja, tiga atau empat saja. Kalau di Indonesia hanya satu atau dua, karena ada bias juga. Merk dari Eropa dianggap mahal dan tidak tahan panas udara tropis. Ini bias juga. Sementara itu berapa jumlah makalah yang dapat kita temukan setiap kita memasukkan kata kunci ke pengindeks? Ratusan bahkan ribuan. Mungkin pembaca akan hanya memperhatikan makalah-makalah yang muncul di lima halaman pertama. Sementara yang paling relevan dan paling sesuai untuk disitir mungkin muncul di halaman ke-6. 🙂
Jadi jelas, jumlah sitasi ini ada di luar kuasa kita. Yang bisa diukur menurut saya yang masih lektor, bukan sitasinya, tapi justru upaya apa saja yang telah seseorang lakukan setelah menerbitkan makalah, tidak cukup dengan membuat pengumuman dan syukuran dengan menampilkan status Q dan Impact Factor.
Tapi ini hanya saya, yang masih Lektor. :). Tidak menurut mayoritas dari anda yang paling senang menggunakan argumen self-serving, sehingga tidak sadar bahwa sebagian besar hal yang mereka percayai sebenarnya sudah jadi mitos.
Berat memang jadi dosen. Jadi harus hati-hati saat kita menyarankan putra/putri, keponakan, kerabat untuk memilih profesi menjadi dosen.
Salam #terbukatautertinggal
Penulis: Dasapta Erwin Irawan (KK Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung)