Jabatan sebagai Amanah dan Kesempatan untuk Membawa Perubahan

Author:

Jabatan sebagai Amanah dan Kesempatan untuk Membawa Perubahan

Oleh: Dasapta Erwin Irawan (ITB)

Konteks

Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya mengamati proses kenaikan jabatan akademik dosen (JAD) yang baru-baru ini mengalami perubahan regulasi (perhatikan Surat 3605/B4/DT.04.01/2025 tanggal 7 Oktober 2025 tentang Informasi Pembukaan Usulan Kenaikan Jabatan Akademik Dosen (JAD) Gelombang III. Surat tersebut berdasarkan regulasi tersebut sebenarnya sudah dirilis sejak 2023 (Peraturan BKN No. 3/2023), namun baru benar-benar diberlakukan pada proses kenaikan JAD Gelombang III. Pemberlakuan ini memicu berbagai pertanyaan dan keresahan di kalangan dosen.

Keresahan yang Muncul

Keresahan pertama muncul dari kenyataan bahwa profesi dosen yang saya jalani ternyata berbeda dengan yang saya bayangkan dulu ketika mendengar cerita dari mentor. Tentu, kita perlu memahami bahwa zaman berubah, dan cara pandang pimpinan serta pembuat kebijakan terhadap profesi dosen juga ikut berubah.

Keresahan kedua adalah perasaan bahwa situasi kenaikan jabatan saat ini seperti akibat dari kesalahan struktural yang bebannya justru dirasakan paling berat oleh pelaksana di tingkat bawah—mereka yang sehari-hari menjalankan tugas tridarma dengan sepenuh hati. Tentu pembuat kebijakan tidak akan mengakui bahwa regulasi ini adalah bentuk “hukuman” atas kesalahan struktural tersebut. Karena saya suka bilangan ganjil, maka baca terus artikel ini untuk sampai ke keresahan saya yang ketiga (yang terakhir).

Memahami Situasi

Untuk memahami situasi ini lebih baik, mari kita batasi pembahasannya pada konteks PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Perlu saya jelaskan bahwa yang saya maksud dengan “dosen” adalah pengajar di perguruan tinggi, sedangkan “non-dosen” bukanlah tenaga kependidikan (tendik), melainkan pegawai yang bekerja di instansi selain perguruan tinggi.

Baik PNS dosen maupun PNS non-dosen sama-sama memiliki jabatan fungsional. Namun di sinilah letak perbedaan mendasarnya.

Mungkin ada yang berargumen: “Bukankah sejak awal menjadi dosen seharusnya untuk pengabdian? Mengapa sekarang terlihat seperti mengejar jabatan?” Argumen ini valid untuk sebagian orang, tapi mari kita tunda dulu pembahasan ini.

“Jabatan” dalam konteks dosen sangat berbeda dengan “jabatan” yang dipahami oleh PNS non-dosen atau masyarakat umum. Yang kita bicarakan di sini adalah jabatan akademik—sebuah jabatan fungsional yang memang juga dimiliki oleh PNS non-dosen. Setiap instansi memiliki dua jenis jabatan: fungsional dan struktural.

Perbedaan mendasar antara jabatan fungsional dosen dengan non-dosen menjadi sangat jelas ketika kita lihat hubungannya dengan jabatan struktural.

Untuk dosen, jabatan struktural sangat bergantung pada jabatan fungsional. Tidak ada dosen yang menjabat struktural tanpa memiliki jabatan fungsional tertentu. Selalu ada persyaratan—misalnya, untuk menjadi rektor sangat disarankan (bahkan hampir mutlak) harus bergelar profesor; untuk dekan minimal harus profesor atau setidaknya sedang dalam proses pengajuan ke profesor.

PERBEDAAN PNS DOSEN DAN PNS NON DOSEN (SEBATAS YANG SAYA PAHAMI)

AspekPNS DosenPNS Non-Dosen
Jabatan FungsionalWajib dan aktifOpsional, bisa nonaktif saat struktural
Jabatan StrukturalTambahan, bersifat penugasanJalur karier utama atau alternatif
Relasi antar jabatanKomplementerAlternatif atau eksklusif
Penilaian KinerjaBKD + angka kreditSKP + indikator jabatan
Mobilitas antar jabatanTerbatas, fungsional tetap aktifFleksibel, bisa berpindah jalur

Sebaliknya, untuk non-dosen, jabatan fungsional bukanlah syarat mutlak. Pegawai non-dosen dapat memilih jalur karirnya: mau fokus ke jalur struktural atau jalur fungsional.

Untuk dosen, pilihan tersebut tidak ada. Bahkan ketika seorang dosen sedang menjabat struktural, ia tetap tidak boleh meninggalkan tugas-tugas tridarma yang menjadi kewajiban jabatan fungsionalnya.

Karena fungsi dosen sebagai pelaksana tridarma begitu sentral—yang kemudian menjadi ukuran prestasi dan basis kenaikan jabatan akademik—maka dosen tidak bisa lepas dari jabatan fungsional. Karena itu pula, wajar jika dosen lebih fokus pada jabatan fungsional.

Mungkin terdengar sederhana, tapi inilah alasan paling fundamental mengapa PNS dosen tidak bisa begitu saja disamakan dengan PNS non-dosen dalam satu kerangka regulasi kepegawaian.

Tentang Jabatan yang (ternyata) Merupakan Amanah

Ketika saya bilang bahwa analisis di atas adalah analisis sederhana, kenyataannya regulasi yang menyamakan PNS dosen dengan non-dosen saat ini tetap berlaku, bahkan semakin diperluas.

Yang memprihatinkan adalah bahwa mereka yang saat ini menjadi pembuat dan pembahasan regulasi tersebut adalah para dosen dengan jabatan tertinggi (profesor)—mereka yang pasti pernah merasakan betapa beratnya proses kenaikan jabatan dulu. Ketika dulu regulasi kenaikan JAD masih berbeda dengan jalur non-dosen, prosesnya sudah sangat berat. Apalagi sekarang ketika peraturan disamakan.

Faktanya, ada masalah serius dalam karir dosen PNS di negeri ini. Padahal, ada banyak dosen dengan jabatan tertinggi. Namun entah mengapa, suara dan aksi mereka belum mampu meluruskan regulasi yang—menurut banyak kalangan—terasa kurang sesuai dengan realitas profesi dosen. Saya yakin sudah ada yang bersuara, sudah ada yang berusaha, tapi faktanya belum mampu mengubah arah kebijakan.

Situasi saat ini mengarahkan saya ke keresahan ketiga—dan ini yang paling dalam—adalah pertanyaan: masihkah profesi ini adalah jalan hidup yang tepat untuk kita? Jawabannya bisa “ya” untuk sebagian orang, tapi bisa juga berbeda—terutama bagi mereka yang terdampak langsung oleh regulasi ini atau pernah mengalami kekecewaan dalam perjalanan karirnya.

Refleksi

Saya mengakui bahwa setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing. Saya juga mengakui bahwa setiap jabatan memiliki wilayah dan tanggung jawabnya sendiri. Dan ya, energi setiap orang berbeda-beda.

Namun kita juga perlu menyadari bahwa kesempatan untuk membawa perubahan seringkali tidak datang sesuai rencana atau harapan kita.

Justru karena kita tidak tahu kapan kesempatan itu akan datang, maka yang lebih penting adalah memastikan bahwa dalam setiap posisi dan langkah kita—terutama ketika kita memegang amanah jabatan tertinggi—kita selalu berusaha membawa perubahan positif.

Ketika orang lebih mendengarkan kita karena posisi kita sebagai pengemban jabatan akademik tertinggi, gunakanlah kesempatan itu untuk berargumentasi dengan data, menyebarkan pemikiran yang konstruktif, dan mempengaruhi arah kebijakan ke yang lebih baik.

Ini penting untuk disadari: tidak semua orang yang memiliki kapasitas dan prestasi yang sama dapat mencapai jabatan akademik tertinggi. Itu adalah realitas.

Maka bagi mereka yang telah sampai di posisi Guru Besar, saya berharap akan selalu ada upaya untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi sesama dosen—dalam setiap kesempatan, dalam setiap forum, dalam setiap keputusan. Karena memang tidak semua orang bisa mencapai posisi itu.

Keresahan yang saya sampaikan ini baru sebatas tentang karir dosen. Belum lagi jika kita berbicara tentang karir tendik—itu adalah persoalan lain yang juga belum terpecahkan, bahkan oleh para dosen dengan jabatan tertinggi sekalipun.