Air di Kawasan Pegunungan dalam Perspektif Hidrogeologi
Oleh: Dasapta Erwin Irawan (dosen dan peneliti bidang hidrogeologi dari FITB)
Di hutan pegunungan, air jernih mengalir di antara bebatuan berlumut. Air ini adalah bagian dari siklus hidrologi—proses alami yang menghubungkan atmosfer, daratan, dan kehidupan.

Prosesnya dimulai ketika uap air di atmosfer mengalami pendinginan dan berubah menjadi awan. Saat suhu turun, awan melepaskan air dalam bentuk hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Sebagian air hujan meresap ke dalam tanah, mengisi celah-celah di antara batuan dan tanah, membentuk air tanah yang tersimpan di bawah permukaan.
Di daerah pegunungan, proses peresapan ini penting karena struktur batuan yang berpori memungkinkan air bergerak ke lapisan yang lebih dalam. Air kemudian mengalir perlahan mengikuti gravitasi menuju lapisan penyimpan air yang disebut akuifer. Sebagian air muncul kembali ke permukaan sebagai mata air, menciptakan aliran sungai kecil yang jernih.
Sementara itu, air yang tidak meresap akan mengalir di permukaan menuju sungai dan akhirnya ke laut. Di laut, panas matahari menyebabkan air menguap kembali ke atmosfer, melengkapi siklus yang terus berulang.
Air pegunungan yang kita lihat adalah hasil dari keseimbangan proses ini: jernih, dingin, dan mengandung mineral alami dari interaksi dengan batuan. Air ini menjadi sumber kehidupan bagi ekosistem pegunungan dan manusia.
Apa Itu Air Pegunungan?
Istilah “air pegunungan” bukanlah kategori resmi dalam ilmu air tanah, melainkan istilah umum untuk menyebut semua air yang berasal dari daerah pegunungan. Ini bisa berupa mata air, sungai pegunungan, atau air tanah dangkal di kawasan tersebut.
Dalam siklus hidrologi, air pegunungan termasuk air meteorik—yaitu air yang berasal dari hujan atau salju yang meresap ke dalam tanah dan kemudian muncul kembali di permukaan. Air ini biasanya jernih, dingin, dan mengandung mineral alami seperti kalsium dan magnesium yang berasal dari pelarutan batuan endapan gunung api. Kualitasnya umumnya baik karena lokasinya jauh dari sumber pencemaran. Namun perlu kita sadari bersama bahwa kondisi ideal ini semakin sulit ditemukan.
Kedalaman Lapisan Air, Pengaruh Hujan, dan Kerentanan terhadap Pencemaran
Dalam sistem air tanah di gunung api dan sistem lainnya, kedalaman lapisan penyimpan air (akuifer) memengaruhi respons terhadap hujan dan tingkat kerentanan terhadap pencemaran.

Akuifer dangkal (sekitar 10 meter) sangat dipengaruhi oleh musim hujan. Permukaan air tanah akan turun saat kemarau dan naik saat hujan. Namun, kedalamannya yang dangkal membuat akuifer ini mudah tercemar dari permukaan karena tidak memiliki lapisan pelindung.
Akuifer dalam (30 hingga 60 meter) memiliki pengaruh hujan yang lemah. Permukaan air tanah di kedalaman ini relatif stabil sepanjang tahun. Akuifer dalam biasanya dilindungi oleh lapisan kedap air, sehingga lebih tahan terhadap pencemaran dari permukaan. Perlindungan ini membuat air di akuifer dalam lebih aman untuk dikonsumsi, meskipun proses pengisian ulangnya lebih lambat.
Jadi semakin dangkal akuifer, semakin besar pengaruh hujan dan semakin tinggi risiko pencemaran, karena aktivitas di permukaan. Sebaliknya, semakin dalam akuifer, pengaruh hujan makin berkurang dan lebih tahan terhadap pencemaran dari permukaan. Sekarang bayangkan akuifer dangkal saja masih rentan kontaminasi dari aktivitas manusia di permukaan, apalagi kalau air yang dikonsumsi mengalir sebagai air sungai.
Peran Daerah Resapan dan Akuifer Tertekan
Sistem air tanah di gunung api memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi oleh bentuk permukaan dan struktur batuan. Air hujan yang jatuh di puncak gunung meresap ke dalam tanah melalui zona resapan di elevasi tinggi. Proses peresapan ini memungkinkan air bergerak ke bawah, mengisi lapisan akuifer di bawah permukaan. Akuifer ini sering berada di antara lapisan kedap air, membentuk akuifer tertekan yang menyimpan air dalam kondisi bertekanan.

Air yang tersimpan di akuifer tertekan dapat dimanfaatkan melalui sumur bor. Namun, perjalanan air tidak selalu lurus; sebagian air dapat bocor ke lapisan lain, tergantung pada kondisi geologi dan kemampuan batuan untuk melewatkan air. Analisis isotop (penanda kimia dalam air) sering digunakan untuk melacak asal-usul air dan memahami dinamika pengisian ulang di sistem ini.
Daerah resapan di elevasi tinggi sangat penting sebagai sumber utama pengisian akuifer. Lapisan kedap air berperan menjaga tekanan dan kualitas air. Pemahaman tentang hubungan antara elevasi, struktur lapisan, dan aliran air sangat penting untuk pengelolaan sumber daya air di kawasan gunung api.
Perlu dicatat bahwa daerah resapan tidak berfungsi seperti spons yang sempurna. Kemampuan dan kecepatan tanah serta bebatuan di daerah tinggi untuk menyerap air hujan sangat beragam dan terbatas.
Selama ini dalam tata ruang, daerah tinggi selalu secara automatis dianggap dan ditetapkan sebagai daerah resapan. Langkah ini mestinya perlu didukung data pengujian infiltrasi. Saya beri contoh, daerah Bandung Barat ada pegunungan batu gamping yang berbatasan juga dengan pegunungan gunung api. Ketika hujan, sering dijumpat air tergenang di daerah-daerah tersebut. Itu terjadi karena meskipun daerah tinggi, tapi tanahnya banya mengandung lempung dan bebatuannya memiliki kemampuan meresapkan yang sangat kecil. Jadi tidak selamanya daerah tinggi adalah daerah resapan air.
Laju Peresapan Air di Daerah Pegunungan Jawa Barat
Daerah pegunungan di Jawa Barat, yang didominasi oleh batuan vulkanik dan tanah berpori, memiliki kemampuan peresapan yang relatif tinggi. Air hujan yang jatuh di kawasan ini dapat meresap ke dalam tanah, mengisi celah dan pori-pori batuan. Penelitian menunjukkan bahwa laju peresapan bervariasi secara signifikan, tergantung pada jenis batuan, vegetasi, dan kemiringan lereng.
Di kawasan Gunung Pancar, Bogor, laju peresapan tercatat antara 9,6 cm/hari hingga 55,2 cm/hari. Sementara di daerah Jatigede, Sumedang, nilai peresapan berkisar antara 120 cm/hari hingga 1200 cm/hari, dengan variasi yang dipengaruhi oleh jenis batuan. Batuan vulkanik yang berpori cenderung memiliki peresapan lebih tinggi dibandingkan lapisan yang lebih padat. Angka ini hanya dari dua lokasi. Daerah yang berbeda akan memiliki nilai yang berbeda, bahkan perbedaan signifikan dapat terjadi dalam area yang sama.
Jadi, kemampuan daerah resapan untuk menyerap air hujan tidak dapat disamaratakan. Bahkan dalam kondisi lahan yang masih alami, lebih banyak air hujan yang mengalir di permukaan dibanding yang meresap menjadi air tanah, apalagi jika tutupan lahan telah berubah.
Pentingnya SIKAP KRITIS terhadap Sumber Air Minum
Sifat kritis masyarakat terhadap sumber air minum kemasan botolan sudah sangat baik, namun sikap yang sama perlu diterapkan secara lebih seimbang terhadap sumber air minum lainnya, seperti air minum isi ulang. Air minum isi ulang telah menjadi pilihan praktis bagi banyak masyarakat, namun kewaspadaan terhadap kualitasnya sering hanya sebatas rasa dan harga. Padahal, kualitas air isi ulang sangat bergantung pada dua hal: sumber air baku dan proses pengolahan. Pertanyaan mendasar seperti “dari mana air ini berasal?” dan “proses apa saja yang dilakukan sebelum sampai ke galon?” harus menjadi perhatian.

Sumber air bisa berasal dari mata air pegunungan, sumur dalam, atau air permukaan. Setiap sumber memiliki risiko pencemaran yang berbeda, mulai dari mikroorganisme hingga bahan kimia. Proses pengolahan di tempat pengisian juga tidak selalu sama; ada yang menggunakan penyaringan sederhana, ada yang menambahkan tahap ozonisasi atau sinar ultraviolet, dan ada pula yang minim pengawasan. Tanpa pemahaman yang cukup, masyarakat berisiko mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Oleh karena itu, sikap kritis terhadap air minum isi ulang harus mencakup: memastikan sumber air baku aman, memeriksa prosedur pengolahan yang diterapkan, dan meminta bukti hasil uji kualitas secara berkala. Keterbukaan informasi dari penyedia layanan dan kesadaran konsumen adalah kunci untuk memastikan air yang dikonsumsi benar-benar sehat dan layak.
Penutup
Meskipun penjelasan ini awalnya saya sampaikan kepada dua jurnalis yang berkunjung dua hari lalu, saya berharap kontennya dapat dibaca dan dipahami oleh khalayak yang lebih luas. Upaya keras telah dilakukan untuk menggambarkan proses hidrogeologi sesederhana mungkin, sehingga diharapkan visualisasi ini mampu memperkaya pemahaman masyarakat tentang air pegunungan, siklus air, dan sistem air tanah.

Berbagai fenomena teknis dan sosial di masyarakat terkait air dan air tanah telah memberikan banyak pembelajaran bagi saya. Dalam interaksi selama 2,5 jam itu, berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh Ibu dan Bapak jurnalis itu saya posisikan sebagai pertanyaan umum yang sering dilontarkan orang tentang air. Setiap pertanyaan menghadirkan perspektif baru tentang pemahaman manusia tentang sistem hidrogeologi di alam. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi semua pihak yang peduli terhadap pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan.