Kali ini bukan tentang sains terbuka.
Ya kemarin memang Hari Lahir saya. 17 April 43 tahun lalu. Di sebuah RS di Jalan Pacarkeling Surabaya. Siti Aisyah namanya. Kenapa di situ? Saya belum pernah tanya ke ayah/ibu saya. Mestinya karena dekat dengan rumah. Rumah kami waktu itu di Kedung Tarukan dan rumah kakek-nenek saya di Pacarkembang. RS itu masih ada sampai sekarang. Dan setelah SMA, saya baru kenal satu orang yang mengaku dilahirkan di RS yang sama.
Ada banyak yang ingat hari lahir saya, terima kasih untuk media sosial. Terima kasih atas perhatian dan doanya. Saya sudah jawab satu-satu sepertinya. Hanya itu yang bisa saya lakukan.
Saya sudah 43 tahun, anda juga pasti ada yang sudah merasakan. Usia 40 kabarnya awal dari banyak hal yang menyenangkan. Buat saya ada benar, tapi ada banyak kesenangan lain yang dicabut sebagai konsekuensinya.
Satu per satu kenikmatan mulai dicabut.
Yang pertama rambut hitam, walaupun ini saya harus mengaku sejak masuk kuliah, rambut juga sudah memutih. Kata kawan-kawan saya, kebanyakan mikir yang tidak perlu dipikirkan. Nah ini makin terbukti. Walaupun saya tidak ambil pusing dengan warna rambut, tapi saya tidak pernah menolak kalau istri saya menyemir rambut saya. Lagipula adem rasanya kena cairan semir.
Kenikmatan berupa ingatan. Ini sering membuat kesal dan capek. Bagi yang sering dengar cerita saya, sudah beragam cerita lupa saya bagikan. Dari lupa bawa pulang mobil, sampai lupa pakai sepatu. Dari lupa bawah ransel yang sudah ada di samping pintu kendaraan, sampai lupa mengembalikan sepatu dari atap mobil. Hebatnya sepatu itu tetap aman di atap, walaupun sudah melewati tol 20 km dari rumah ke kampus. Baru-baru ini saya baru tahu ada yang lebih ekstrim. Orang ini lupa memakai jam tangannya yang diletakkan di panel luar dekat wiper mobil. Jam itu tetap di tempatnya dari Jakarta sampai ke Bandung. Kapan-kapan kita buat thread khusus tentang ini.
Kenikmatan lain yang sudah dicabut adalah makan. Beberapa gigi sudah tanggal. Apalagi yang tanggal adalah gigi yang paling berguna saat makan sate dan steak. Tapi Alhamdulillah, sudah lama saya lebih sering makan nasi goreng. Saya memang tidak pilih-pilih makanan, bahkan saat saya diminta memilih. Istri saya hapal sekali. Saya akan makan apa yang disiapkan. Tidak pernah minta yang tidak ada di meja. Buat saya masakan dia antara enak dan sangat enak saja. Rekan kerja saya di kantor juga senang. Kalau memesankan makanan untuk saya tidak repot. Banyak orang senang dengan ini rupanya.
Makin ke sini, saya juga makin jarang menolak. Terutama kalau ada yang bertanya. Saya upayakan menjawab. Yang senang biasanya mahasiswa. Kalau mau bimbingan tidak perlu khawatir dimarahi karena tidak janjian. :). Tapi bagaimana cara dan di mana tempat bimbingannya terserah saya. Kadang di tempat parkir, ruang tunggu, di mobil, di motor, di gerbang kampus, di masjid, di ruangan TU, di ruangan dosen lain, di ruang rapat milik unit kerja lain, di angkot, di perjalanan jalan kaki di Jalan Dago, di SPBU, di telepon, di kantin (minus semut merah).
Susah menolak itu siksaan. Jadi kalau saya ada hutang penjelasan atau pekerjaan, silahkan ingatkan saya. Mohon maaf kalau respon saya ada yang terlambat. Istri saya juga sering mengingatkan masalah ini, kenapa jarang nolak orang? Mohon maaf saya sering tidak nurut, terutama untuk yang dekat-dekat jaraknya dari Bandung.
Yang terakhir, kenikmatan untuk punya keinginan, terutama barang. Istri saya korban pertama biasanya, karena setiap ditanya pingin apa, saya selalu bilang, “Tidak perlu apa-apa. Sudah punya semua”. Yang sering saya jawab, “Kamu saja, jangan pergi-pergi”. Tapi saya tidak pernah menolak kalau diberi. Apapun yang diberi, selalu saya pakai. Bahkan baju warna merah pun, saya pakai, kalau itu dari istri saya.
Dari banyak yang mampir, ada kurang satu. Ayah saya.
Pesan dari ayah saya. Biasanya dia akan bilang, “tambah tua harus tambah sabar, agar selalu sehat”. Mungkin karena kebiasaan bangunnya sama, maka pesan dari ayah-ibu saya adalah yang biasanya saya terima pertama kali.
Yang belum pernah saya sampaikan ke ayah saya adalah pemikiran saya tentang sabar. Sabar, itu memang sulit. Lebih mudah marah. Semua orang juga tahu. Tapi yang tidak banyak diketahui adalah, sebenarnya yang ada batasnya justru marah. Siapa yang mau marah seumur hidup. Pasti ada redanya. Kalau sabar, tidak akan mereda, malah bertambah, sepertinya.
Mohon maaf kalau saya ada salah. Makin hari karena ada medsos, saya lebih banyak bercakap secara virtual dengan banyak orang dibanding 20 – 30 tahun lalu. Peluang untuk menyinggung lebih besar. Mohon maaf …