Perjalanan dari Bandara AMMA (Madinah) ke Hotel Al-Phyrous, nama maktab kami, kira-kira 1 jam. Jalan membelah gunung/bukit/jabbal yang tandus kami lalui. Sepintas batuan yang tersingkat di tepi jalan adalah batupasir kompak, berwarna coklat kemerahan. Ini lah yang membentuk bukit-bukit itu. Jalan terlihat rapih, walaupun terkesan gersang tidak dapat disembunyikan. Ditambah dengan debu dari proyek pembangunan di banyak blok. Saat saya bilang gersang, bukan berarti tidak ada air. Banyak pusat pertokoan dan perkantoran. Pastinya ini jadi indikasi bahwa suplai air yang bagus agar perekonomian berjalan lancar. Satu kesan sepintas lainnya adalah tidak terlihat mobil (dengan berbagai merk) atau sedikit sekali mobil yang mulus tanpa cacat. Umumnya baret, lecet sudah biasa, bahkan mobil dengan penyok berat pun, masih beredar di jalanan.
Sampai di hotel masih merupakan petualangan tersendiri. Mengurus koper hingga masuk kamar, tak selesai hingga adzan maghrib berkumandang. Koper-koper yang dilemparkan dari Zhong Thong Bus tadi masih bergeletakan di basement hotel, tanpa pemilik. Jamaan yang bernasib baik akan menemukan kopernya terkulai di lorong-lorong hotel atau di depan lift. Namun banyak lainnya yang masih sibuk mencari miliknya hingga naik-turun lift beberapa kali. KBIH saya termasuk yang konsisten metodenya dalam mengurus koper. Secara komunal kuncinya. Semua koper bertanda Yahdi (KBIH kami) dipilah dan dibawa ke atas (lantai kamar) lantai 3 dan 4. Kepala Regu (Karu) dan Kepala Rombongan (Karom), bernama Malik, sibuk mengawasi porter dalam menaikkan koper-koper. I’ll talk about this guy later on. Di sisi lain hotel, masih terlihat banyak koper yang tergolek di sudut-sudut menunggu si empunya menjemput.
Haji memang ibadah personal, but from day one, it’s a very communal activities. Bahkan untuk mencari koper saja diperlukan kerjasama tim. Bukankah ini yang diajarkan Rasullulah.