Assalamu’alaikum wrwb
Post ini diawali kemarin pagi dengan diskusi mengenai tingginya biaya berlangganan jurnal dan juga layanan Scopus dengan pimpinan saya.
Scopus mestinya diutamakan untuk mencari rujukan bukan sebagai indikator utama untuk menentukan kualitas jurnal, apalagi kualitas makalah, apalagi kualitas kepakaran seseorang. Posisikan perusahaan-perusahaan pengindeks ini sesuai kapasitasnya.
Kenapa saya berpendapat seperti itu?
Karena memang Scopus itu adalah sebuah database saintifik yang sangat besar. Makalah-makalah yang mungkin berasal dari tahun 60’an (atau bahkan lebih tua lagi) hingga terbaru ada di sana. Ini adalah sumberdaya yang sangat potensial dan bermanfaat buat para peneliti bila tahu cara menggunakannya. Tautan ini berisi tutorial Scopus dari Univ Aberdeen yang cukup mudah diikuti. Semoga ITB sudah punya ya.
Scopus juga punya tools analyze results yang dapat mengolah data paper-paper yang kita cari berdasarkan asal negara, afiliasi penulis, dll. Ini sangat penting untuk para mahasiswa juga (S1, S2, dan khususnya S3) untuk dapat memposisikan risetnya dengan riset-riset sebelumnya.
Scopus sebenarnya adalah sebuah etalase besar dari para penerbit/publisher.
Kenapa saya bilang begitu?
Karena memang Scopus mengindeks jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh berbagai lembaga dan juga even konferensi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga. Mereka mendaftarkan media yang mereka kelola ke Scopus yang dimiliki oleh Elsevier. Jadi Scopus itu dibuat untuk memudahkan mencari makalah yang terserak di berbagai jurnal, ke dalam satu portal. Tidak lebih.
Anda mungkin bertanya, “lho kalau Scopus itu milik Elsevier, kenapa kok mereka memasukkan jurnal-jurnal dari penerbit lainnya ke dalam database mereka?”
Itulah pintarnya Elsevier, ia ingin menguasai alur publikasi saintifik dari hulu — Elsevier sebagai penerbit berhubungan langsung dengan penulis — hingga ke hilir — berhubungan dengan para pembaca/pengguna/pencari informasi.
Pertanyaan berikutnya mungkin, “Bila suatu institusi berlangganan layanan Scopus, apakah artinya juga berlangganan jurnal-jurnal di dalamnya?”
Jawabnya pasti tidak. Mungkin “iya” untuk jurnal-jurnal terbitan Grup Elsevier, tapi jelas “tidak” untuk jurnal terbitan penerbitan lain. Mereka pasti sudah menghitung untung ruginya.
Oleh karenanya, institusi pendidikan sangat berat bebannya. Ini bukan hanya keluhan universitas di Indonesia (termasuk ITB), juga universitas di LN. Mereka ini jelas membelanjakan banyak uang untuk urusan ini. Dan mohon diingat, anggaran ini harus keluar tiap tahun.
Dan setelah beberapa saat ada beberapa komentar yang menarik, sehingga saya tulis bagian yang ini.
… tapi banyak universitas yang masih memandang bahwa jurnal yang terindeks lembaga ini lebih terhormat dibanding yang tidak terindeks…, bahkan LPDP membuat standar sitasi oleh Scopus sebagai salah satu kriteria seleksi pemberian insentif makalah intl….
Nah di sinilah mulai kondisi menjadi tidak sehat, dan mungkin juga dimanfaatkan oleh Scopus. Ia diposisikan sebagai lembaga yang menjaga kualitas jurnal dan menentukan mana kualitas jurnal yang baik dan mana yang jelek. Kalau ditilik-tilik, sebenarnya kriteria Scopus tidak ada yang spesial. Semua pengelola jurnal juga sudah paham tentang kriteria ini, dengan atau tanpa Scopus.
Roda Scopus pun terus bergulir
Institusi mulai mensyaratkan bahwa artikel yang berbobot perlu/harus/sebaiknya dimuat di media terindeks Scopus. Berikutnya, bahkan lembaga yang akan memberikan insentif (secara terseleksi tentunya) juga mensyaratkan bahwa makalah yang diajukan harus disitasi oleh lebih dari sekian paper. Jumlah sitasinya juga harus menurut Scopus.
Untuk hal yang terakhir ini, saya berandai-andai, apakah pengelola lembaga pemberi insentif itu tahu bahwa yang dimaksud “data sitasi Scopus” adalah hitungan sitasi artikel yang dimuat dalam sesama jurnal yang masuk database Scopus. Artinya sangat sempit bukan. Sementara hitungan sitasi lainnya, seperti oleh Google Scholar (yang seringkali lebih banyak dibanding Scopus), tidak digunakan, bahkan diabaikan.
Wawasan saya memang belum luas, tapi pastinya ada banyak jurnal di luar sana yang berkualitas dan bereputasi baik, tapi karena suatu hal (biasanya dana) mereka tidak mendaftarkan diri ke Scopus.
Selanjutnya impact factor (IF) juga mengalami mis-persepsi yang sama.
..to some extent scoring IF juga disalah-persepsikan sama dengan terindeks Scopus. Bahwa jurnal yang tidak ber-IF dinilai lebih rendah kualitasnya dari yang punya IF. Sekarang ada indikator baru yang lebih egaliter “Altmetrics”.
Apakah Altmetric itu? Silahkan lihat di sini.
Masih mengenai Altmetric, perkenankan saya mencuplik bagian kesimpulan dari paper ini. Makalah ini kalau dibaca lengkap kira-kira menceritakan bagaimana Altmetric bekerjasama dengan berbagai institusi untuk melacak dampak publikasi para stafnya. ITB kapan?
Altmetrics providers are keen to work with scholarly publishing and institutional repository communities to develop the quality and breadth of persistent identifiers and standard metadata fields. During Altmetric’s work to develop automated item tracking processes, version disambiguation techniques and integrating with a range of publication systems, we identified a number of benefits and potential improvements to the existing practices as described above. However, an overwhelming finding is by connecting Altmetric to existing institutional publication systems, builders of altmetric tools are able to offer low barrier entry to altmetrics at the institutional level to enable deeper impact analysis and uncover conversations about research across broader society.
Bereksperimen dengan jurnal open access dan low APC (article processing cost).
Karena kawan-kawan twitter saya aktif mengenalkan berbagai media open access generasi baru, seperti PeerJ, PLOS, F1000Research, RioJournal (Research Ideas and Outcome) dan ScienceOpen, maka saya pun mencobanya.
Dua artikel saya yang terakhir di Scienceopen dan RioJournal — kedua media ini tidak menganut aliran IF (dan tidak mendaftarkan ke Scopus) — memiliki kenaikan hitungan jumlah pembaca (readers count) yang lumayan. Dalam seminggu sudah ada hampir 800 pembaca yang terukur di Altmetrics.
Saya tidak bilang bahwa artikel saya bagus, tapi bukankah ini merupakan salah satu contoh bahwa ada indikator lain yang lebih obyektif dibanding yang sering kita pakai sekarang.
Saya memang sedang bereksperimen di jurnal-jurnal open access (apa ini? silahkan baca F1000Research) ini. Saya utamakan yang mereka memberikan diskon atau bahkan waivery kepada penulis dari negara-negara berkembang. Dua yang sudah terbit. Berikut adalah tautannya: ScienceOpen (doi: 10.14293/S2199-1006.1.SOR-LIFE.AH9PUY.v1) dan RioJournal (doi: 10.3897/rio.2.e9841).
Kedua media di atas walaupun tidak terindeks Scopus dan tidak punya IF, tapi mereka terdaftar di DOAJ dan Sherpa Romeo, sekaligus juga tidak masuk ke daftar hitam (yang bersifat subyektif) Beall’s list.
Setelah ini ada dua lagi yang sedang antri, yakni di Earth System Science Data (terbitan Copernicus) dan Facets Journal (terbitan Canadian Science Publishing).
Ibu dan Bapak, saya tidak anti Scopus dan IF. Saya juga masih ada makalah yang antri di jurnal jalur itu. Hanya saja saya juga sendang bereksperimen saintifik di jalur selain itu, yang lebih rasional dan tidak berbiaya tinggi.
- slide saya tentang Science Communication: beyond Impact Factor dan Scopus Index — F1000Research.
- Towards an open science publishing platform — F1000Research.
- Single Figure Publications: Towards a novel alternative format for scholarly communication — F1000Research.