Pengelolaan jurnal ilmiah: konvensional vs open access bagian 4

Author:

Posting ini merupakan bagian ke-4 dari serial artikel blog yang saya tulis tiga tahun yang lalu tentang model bisnis jurnal:

  1. Bagian ke-1: Pengelolaan jurnal ilmiah
  2. Bagian ke-2: Tentang APC
  3. Bagian ke-3: Pernyataan sikap kita
  4. Bagian ke-4 (artikel ini): Apa yang terjadi tiga tahun kemudian?

Apa yang terjadi tiga tahun kemudian?

Artikel ini berawal dari gambar ini.

Gambar ini saya buat karena setelah tiga tahun, belum ada perbaikan signifikan tentang hal ini. Ini bisa ditandai dari percakapan susulan setelah seseorang memajang makalahnya yang baru terbit di medsos.

Biasanya pertanyaan yang mengikuti akan berkisar kepada “berapa bayarnya?” Bukan “apa isinya?”, tapi “berapa bayarnya?”

Setelah saya buat gambar ini dan memasangnya di medsos, berikut komentar anonim yang muncul:

  1. tentang lisensi karya, apakah dipengaruhi oleh model bisnis itu?
  2. tentang perubahan fase penerbitan dari fase non komersial memasuki fase komersial,
  3. menafikan komersialisasi dan menghubungkan masalah publikasi dengan pahala,
  4. … dst akan disambung

Tanggapan saya:

  • tidak ada hubungan antara OA vs non OA dengan lisensi artikel. Tapi sampai sekarang umumnya yang terjadi adalah: non OA hampir selalu “all rights reserved” dan yang OA hampir selalu CC-BY-?? (?? bisa NC atau SA atau keduanya)
  • yang berkuasa atas karya anda adalah anda sendiri sebagai penulisnya. Hal ini yang kita sering tidak sadar atau sadar tapi lupa. Karena itu ke manapun anda mengirimkan naskah, pastikan mengunggah preprintnya ke repositori (non RG dan Academia), untuk mengklaim hak anda di awal. Setidaknya kalau akhirnya menerbitkannya ke jurnal non OA, yang “all rights reserved”, anda punya versi yang sepenuhnya masih anda miliki.
  • Tidak salah untuk menhubungkan APC dengan dana operasional jurnal. Hanya saja jurnal terutama penerbit komersial sejak awal di kepalanya adalah profit. Mau berawal dari OA atau non OA, yg ada di kepala mereka adalah profit. Tapi saya setuju kalau APC ekivalen dengan “dana operasional”, sebagai uang capek. Bukan profit sebesar-besarnya. Karena itu model pengelolaan jurnal di indonesia sudah bagus, jangan malah mau dibawa-bawa agar meniru yang di LN. Profesionalisme kok dihubungkan dengan profit. Mari kita sama-sama jalankan ekosistem riset. Beban dibagi.
  • Jangan terlalu naif mengenai hubungan antara publikasi dengan pahala. Jadi maksud saya begini: kita ini harus sadar dulu kalau sedang dan masih akan terus diperas habis-habisan. Itu dulu harus disadari. Industri publikasi bidang kedokteran dan kesehatan adalah yang paling tidak masuk akal menurut saya. Para dokter itu kan sekolahnya lama, paling sulit, bertanggungjawab atas nyawa pasien, tapi saat publikasi (dan siklus penelitiannya) kok masih mau ditarik sampai ribuan dolar oleh pihak yang tidak memberikan bantuan apa-apa dalam riset. Satu-satunya bisnis yang tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan baku adalah industri publikasi ilmiah. Itu dulu disadari beraama, baru kemudian “mari kita ikhlaskan itu semua demi pahala”. Saya bingung dengan dosen-dosen sejak yang masih AA sampai GB yang selalu bilang bahwa komersialisasi tidak terjadi. Terlalu lugu atau sengaja tidak mau mengakui.