Artikel kami berjudul International disparities in open access practices in the Earth Sciences telah terbit di European Science Editing (https://ese.arphahub.com/article/63663/).
Tulisan ini merupakan kerjasama enam peneliti bidang kebumian dari enam negara (empat benua) yang merupakan salah satu indikasi bahwa telah terjadi disparitas praktek publikasi akses terbuka di dunia, khususnya di bidang ilmu kebumian. Modus publikasi akses terbuka yang awalnya diciptakan untuk meruntuhkan “tembok pembatas” antara pembaca dan ilmu pengetahuan, sekarang telah terbukti digunakan untuk membangun “tembok-tembok” baru atas dasar motivasi reputasi, prestise, dan gengsi.
Walaupun Open access (OA) awalnya bertujuan untuk membuat lingkungan akses bebas dan tidak terbatas serta penggunaan kembali artikel penelitian. Baru-baru ini, penerbitan OA telah melihat gelombang minat, perdebatan, dan praktik baru seputar mode penerbitan itu.
Artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran umum tentang praktik publikasi dan untuk membandingkannya di antara enam negara untuk meningkatkan kesadaran tentang OA serta untuk memfasilitasi pengambilan keputusan tentang pengembangan praktek OA dalam ilmu bumi lebih lanjut.
Kami menganalisis sejumlah artikel OA yang ada dalam lingkup ilmu kebumian dari pangkalan data Scopus dan Web of Science. Daftar artikelnya diakses pada bulan Februari 2020, tetapi artikel-artikelnya sendiri terbit di tahun 2018. Kami memilih artikel yang terbit di tahun 2018 sebagai basis perhitungan, karena seringkali angka pencarian di pangkalan data bersifat dinamis untuk artikel terbitan tahun 2019. Kala itu beberapa eksperimen pencarian kami untuk artikel yang terbit di tahun 2019, memperlihatkan hasil pencarian yang masih berubah, setiap minggunya.
Peningkatan penerbitan OA memiliki implikasi potensial bagi peneliti tetapi pada saat yang sama juga mengalihkan biaya pemrosesan artikel dari organisasi ke individu. Yang menarik adalah bahwa tren OA justru tidak hanya diisi oleh peneliti dari negara maju (lihat tabel di bawah ini). Tetapi angka-angka yang ada di dalam tabel, tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Ini karena pangkalan data WoS dan Scopus telah membatasi artikel berdasarkan bahasa dan kriteria seleksi lainnya.
Dapat dilihat dari grafik di bawah ini, bahwa artikel yang terbit di jurnal-jurnal top 10 hanyalah 8% saja dari seluruh artikel OA yang terbit di tahun 2018. Tentu saja proporsi ini belum memperhitungkan jurnal-jurnal yang dikelola dengan bahasa nasional (bahasa selain Bahasa Inggris).
Pada tahun 2018, hanya 24%–31% dari total jumlah artikel yang diindeks oleh salah satu database adalah artikel OA. Enam dari sepuluh jurnal ilmu bumi teratas yang menerbitkan artikel OA sepenuhnya jurnal OA dan empat jurnal hibrida. Jurnal OA sepenuhnya sebagian besar diterbitkan oleh penerbit baru dan biaya pemrosesan artikel mereka berkisar antara $1000 (Rp. 14 juta) hingga $2200 (Rp. 31 juta).
Berikut ini adalah plot antara harga APC tahun 2019 dan Journal Impact Factor (JIF) tahun 2019. Dapat dilihat bahwa mayoritas jurnal top 10 diterbitkan oleh penerbit komersial (biru), beberapa lainnya diterbitkan oleh asosiasi dengan kerjasama dengan penerbit komersial (hijau), dan hanya 1 jurnal yang murni dikelola oleh asosiasi (merah), yaitu American Meteorological Society (AMS).
Di sini dapat dilihat pula bahwa untuk jurnal dari penerbit komersial (biru) ada korelasi antara harga APC dengan JIFnya. Sementara untuk jurnal jenis hijau dan merah korelasinya tidak terlalu terlihat. Korelasi ini dapat saja berbeda ketika data diperbanyak.
Selain mendapatkan fakta di atas, kami juga melihat bahwa evaluasi peneliti di enam negara, masih berdasarkan kriteria berbasis nama jurnal. Penggunaan kriteria itu akan menghasilkan iklim yang tidak sehat. Dari sudut pandang peneliti, nama jurnal menjadi target, bukan lagi konten dari riset. Dari sudut pandang pembaca, nama jurnal dapat mengalihkan perhatian mereka dari konten riset yang harus dibaca. Pada akhirnya situasi tersebut meningkatkan posisi tawar dari penerbit dan membuat mereka memasang harga APC yang mahal dengan imbalan persepsi reputasi.
Sampai komunitas ilmuwan kebumian memutuskan untuk menjauh dari kriteria berbasis jurnal untuk mengevaluasi peneliti, kemungkinan besar biaya tinggi seperti itu akan terus membuat ketidaksetaraan finansial dalam komunitas riset ini. Secara logis situasi tersebut merugikan para peneliti dari negara-negara tertinggal dan berkembang, karena kemampuan membayar mereka jelas minimum atau tidak ada sama sekali. Selain mereka, kelompok ilmuwan di negara maju pun tidak semuanya memiliki daya membayar yang kuat. Sebagian institusi tidak menempatkan ilmu bumi sebagai keunggulan strategis dan akhirnya mengurangi porsi dana riset untuk bidang itu.
Untuk mengatasinya kewajiban membayar APC, para ilmuwan kebumian dapat memilih (juga) rute pengarsipan mandiri (self archiving) hasil risetnya serta mempromosikan akses yang adil dan berkelanjutan ke berbagai pihak. Namun kami sadar ini jelas bukan langkah utama, karena pada dasarnya yang pertama yang harus dilakukan adalah menghapuskan persepsi reputasi dari nama jurnal. Seluruh pembaca wajib membaca isi makalah dan mengevaluasinya secara kritis sebelum menilainya.
Foto thumbnail oleh Sharon McCutcheon via Unsplash