Pengetahuan bagi sesama …
Kebijakan akademik saat ini masih terbatas dalam menyebarkan pengetahuan kepada sesama dosen atau peneliti (selanjutnya akan disebut “akademia”). Buktinya apa? Mudah. Indikator kinerja akademia adalah makalah ilmiah. Ilmiah untuk siapa? Untuk sesama akademia. Padahal risetnya sendiri berawal dari masalah sehari-hari di masyarakat.

Untuk mengatasinya, pemerintah (melalui kementerian terkait) perlu mengambil langkah strategis meningkatkan aksesibilitas pengetahuan akademik. Salah satu cara efektif adalah menyediakan sumber bacaan open access yang memungkinkan masyarakat mengakses hasil riset yang mudah dicerna, secara langsung, dan gratis.
Biasanya akademia berpikir itu karena artikel ilmiah adalah luaran riset yang telah lolos tahapan peninjauan sejawat (peer review), yang artinya sudah terbukti (dan dapat dibuktikan ulang) serta kecil kemungkinan salahnya. Walaupun risetnya benar, tetapi kalau hasil risetnya belum ditulis sebagai makalah ilmiah, maka riset tersebut belum bisa disebut sebagai kegiatan ilmiah.
Mengapa ini penting?
Kalau sekarang saya tanya, apa sumber pengetahuan masyarakat? Jawabannya mungkin adalah Whatsapp. Di Whatsapp ada banyak “pengetahuan” yang terlihat yang paling ilmiah (misalnya tentang Covid) sampai yang paling absurd. Herannya banyak yang percaya, karena tanpa pikir panjang banyak orang langsung meneruskan pesan hoax yang diterimanya dari sebuah Grup Whatsapp (GWA) tersebut ke GWA lainnya, yang seringnya tidak hanya satu GWA.
Pemanfaatan Repositori Terbuka
Pemerintah dapat memanfaatkan repositori terbuka di kampus dan lembaga riset—seperti BRIN—untuk menyebarkan pengetahuan akademik kepada masyarakat. Repositori ini dapat diakses siapa saja, termasuk jurnalis, untuk menelaah dokumen akademik yang mendukung pengambilan keputusan, penelitian, dan pengembangan literasi masyarakat.
Saat ini mayoritas kampus-kampus di Indonesia telah memiliki dan mengoperasikan repositori kampus. Sayangnya seluruhnya hanya dibuat untuk menyimpan tugas akhir mahasiswa (Program S1, S2, dan S3). Repositori-repositori itu sudah dapat ditemukan menggunakan mesin pencari biasa, sepert Google (searchable atau findable). Tapi kalau dilihat lebih mendalam, repositori-repositori itu hanya menampilkan lembar judul sampai abstrak. Paling jauh yang ditayangkan adalah Daftar Isi. Sisanya tidak ditayangkan, atau dapat ditayangkan atau diunduh secara lengkap, kalau pengunjung dapat login (accessible). Biasanya yang bisa login hanya warga kampus tersebut. Jadi walaupun riset tugas akhir itu bisa ditemukan, tapi bisa jadi tidak bisa diapa-apakan kecuali di-screenshoot (tidak interoperable) (catatan: baca Prinsip FAIR).
Apakah praktik di atas memenuhi kaidah ilmiah? Tidak, karena apapun yang kita lihat/baca, tidak dapat dipakai dan diuji ulang (tidak reusable). Tabel data adalah salah satu yang paling tidak dapat dibuka dalam dokumen-dokumen tugas akhir yang diunggah ke repositori kampus.
Manfaat dan Tindak Lanjut
Penyediaan akses terbuka pada pengetahuan akademik memungkinkan pemerintah mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan ini sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan penelitian. Keberhasilan implementasi kebijakan ini membutuhkan pemantauan, evaluasi, dan penyempurnaan berkelanjutan.
Tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah:
- Menjadikan repositori sebagai tempat penyimpanan utama hasil penelitian yang bisa diakses dan diunduh gratis oleh masyarakat.
- Mewajibkan peneliti untuk menyimpan hasil penelitiannya di repositori, terutama untuk penelitian yang didanai oleh pemerintah.
- Membuat satu portal yang mengumpulkan dan meringkas semua hasil penelitian dari berbagai repositori. Proses ini bisa dilakukan dengan mudah menggunakan teknologi AI.