tentang generative AI (dari berbagai sumber)

Author:

Penyalahgunaan AI lagi

Ringkasan:

  1. Penulis menemukan makalah yang ditulis ulang oleh ChatGPT dan diklaim sebagai karya baru oleh penulis asal Indonesia. Meski tampak berbeda, kedua makalah ini memiliki struktur dan isi yang sama, hanya gaya bahasa dan pemilihan kata yang berbeda. Makalah tersebut lebih mirip makalah telaah (review paper), tetapi tidak memasukkan ide orisinal atau diskusi mendalam tentang makalah yang dirujuk.
  2. Generative AI memiliki potensi untuk mengatasi kendala bahasa dalam akses materi ilmiah, namun juga berpotensi melanggar integritas akademik. Generative AI adalah alat, bukan entitas mandiri, dan prompt yang dimasukkan oleh pengguna adalah kunci dari prosesnya.
  3. Penggunaan generative AI dalam penelitian harus diakui dan disampaikan dalam makalah secara transparan.

Kemarin saya membaca post di X yang menyebutkan bahwa makalahnya telah ditulis-ulang oleh ChatGPT dan telah diklaim sebagai tulisan baru. Penulisnya adalah dosen Indonesia dari Institut Teknologi PLN, Jakarta.

Kedua makalah orisinal dan makalah tersebut kalau dibaca, memang sepintas terlihat sebagai dua makalah yang berbeda, tetapi kalau dipelajari strukturnya, maka sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan oleh penulis makalah kedua. Mereka hanya menulis ulang makalah orisinal dengan gaya bahasa dan pemilihan kata yang berbeda. Bahkan daftar pustakanyapun sama persis, jumlah dan urutannya.

Makalah yang dijiplak…

Making space for the new state capitalism, part II: Relationality, spatiotemporality and uneven development – Ilias Alami, Heather Whiteside, Adam D Dixon, Jamie Peck, 2023

Jadi bahkan ketika suatu makalah memiliki rujukan yang rapih, tetaplah sebuah duplikasi kalau seluruh bagian dari makalah itu adalah hasil penulisan ulang sebuah makalah orisinal.

Saya melihat makalah kedua lebih mirip dengan makalah telaah (review paper), tetapi bahkan sebuah review paper tetap perlu memasukkan ide orisinal, mendiskusikan kesimpulan dari masing-masing makalah yang dirujuk, menilai berbagai kelebihan yang dapat direplikasi dan kekurangan yang dapat ditambal dalam riset berikutnya. Komponen lain yang mungkin dapat diklaim sebagai pemikiran orisinal adalah:

  1. Tabel ringkasan konten rujukan, atau
  2. Diagram keterkaitan konten antar makalah yang ditelaah
  3. Hal-hal baru yang benar-benar tidak ada atau tidak disebutkan di dalam makalah-makalah yang dirujuk.

Ketika dibaca, memang makalah yang dimasalahkan di atas, tidak memaparkan atau menggambarkan hal baru.

  • Update 22 April 2024. Makalah penjiplak sudah dihapus oleh jurnal.

Refleksi

Foto adalah hasil sihir

Seperti halnya generative AI saat ini, dulu di awal abad ke-19, sebuah foto pernah dianggap sebagai hasil sihir oleh para pelukis. Fotografer adalah tukang sihirnya. Anda bisa bayangkan betapa Leonardo da Vinci berpikir dan mengeksplorasi teknik melukis ketika ia melukis Monalisa (dengan asumsi bahwa yang dilukis adalah seorang perempuan bernama Monalisa). Lalu dengan “sekejap mata” (pastinya tidak seinstan membuat dan mencetak foto di era 1980 – 1990-an) kala itu ada seorang fotografer dapat memotret Monalisa di depan sebuah lembah, menghasilkan sebuah foto yang lebih realistis dibanding lukisan Leonardo. Tentu cerita di atas adalah karangan saya, tapi seperti itulah kira-kira yang terjadi dulu.

Pada era digital yang serba instan ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah sebuah foto dapat dianggap sebagai sebuah karya kreatif? Perdebatan ini bermula dari anggapan bahwa keberhasilan sebuah foto tidak semata-mata terletak pada hasil akhir yang terlihat di layar atau kertas, melainkan juga pada proses penciptaannya.

Dalam diskusi yang lebih mendalam, muncul pemahaman bahwa tidak semua foto dapat dikategorikan sebagai ‘bagus’. Sebuah foto yang bagus adalah hasil dari eksplorasi seorang fotografer dalam mengatur berbagai elemen di dalam kameranya, mulai dari pencahayaan, angle, hingga komposisi objeknya.

Jadi, dalam konteks ini, kreativitas bukanlah sesuatu yang dapat diukur hanya dari hasil foto itu sendiri, melainkan lebih kepada bagaimana seorang fotografer dapat berkreasi dan bereksplorasi dengan alat yang ada di tangannya. Foto, dalam hal ini, hanyalah menjadi saksi bisu dari proses kreatif yang terjadi di balik layar.

Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman ini, sebuah foto dapat dikategorikan sebagai karya kreatif. Ini karena foto adalah hasil dari eksplorasi dan kreativitas fotografer dalam meramu berbagai elemen menjadi sebuah karya visual yang menarik dan memiliki nilai estetik.

Mencari rujukan

Dari kejadian itu dan kejadian-kejadian lain sebelumnya, saya mulai mengumpulkan beberapa referensi terkait penggunaan AI untuk penulisan pu/blikasi ilmiah. Beberapa di antaranya saya ambil dari penerbit besar seperti Elsevier, Springer Nature, Taylor-Francis, Emerald, dan Wiley, asosiasi European Geoscience Union (EGU), serta komite etika publikasi COPE.

Untitled

Selain itu saya juga menonton/mendengarkan beberapa video di Youtube.

EGU webinar tentang perangkat AI dalam penerbitan ilmiah.

Diskusi tentang etika penggunaan Generative AI di MIT.

Diskusi tentang aspek etika, hukum, dan teknis dalam penggunaan Generative AI di Santa Clara University.

Panduan penggunaan AI untuk mahasiswa (Texas A&M University).

Beberapa catatan dari referensi

Semua penerbit tersebut, bersama dengan EGU dan COPE, memiliki pemahaman yang jelas bahwa teknologi generative AI tidak hanya ada, tetapi juga berkembang dengan pesat. Mereka telah memahami bahwa teknologi ini telah dan terus digunakan oleh para penulis dan peneliti dalam proses penulisan dan penelitian mereka. Mengingat realitas inilah, mereka telah menemukan bahwa penggunaan teknologi generative AI ini tidak lagi dapat dihindari atau diabaikan. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk memperkenalkan aturan dan regulasi yang akan mengatur penggunaan teknologi ini dalam proses penelitian dan penulisan, sehingga dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat.

Berikut beberapa catatan yang berhasil saya tangkap:

  1. Bahwa semua pihak sepakat bahwa kecerdasan buatan generatif, atau yang dikenal sebagai generative AI, memiliki potensi untuk menghancurkan tembok kendala bahasa yang ada saat ini. Tembok kendala bahasa ini seringkali menjadi penghalang utama dalam mengakses berbagai jenis materi ilmiah yang tersedia dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Dengan kemampuan generative AI ini, akses ke material ilmiah bisa ditingkatkan secara signifikan, terlepas dari bahasa aslinya. Dengan kata lain, bahasa Inggris, yang selama ini dianggap sebagai standar internasional dan seringkali menjadi kendala bagi banyak pihak, benar-benar bukanlah lagi menjadi penghalang.
  2. Meskipun demikian, seluruh pihak yang terlibat, termasuk pengguna, pengembang, dan pengawas, sepenuhnya sadar bahwa penggunaan AI generatif, teknologi yang mampu menciptakan konten otomatis, berpotensi besar untuk melanggar prinsip integritas akademik yang sangat dihargai. Keberadaan dan penggunaan teknologi seperti ini menimbulkan tantangan dan pertanyaan baru dalam memastikan kejujuran dan integritas dalam penulisan akademik.
  3. Bahwa semua pihak, baik itu pemangku kebijakan, peneliti, atau pengguna teknologi, sepakat bahwa generative AI atau Kecerdasan Buatan generatif adalah sebuah perangkat atau alat, bukanlah suatu entitas mandiri. Ia hanya alat yang membantu dalam proses kreatif.
  4. Bahwa prompt atau petunjuk yang dimasukkan ke dalam generative AI adalah kunci dari seluruh proses. Prompt ini ibaratnya adalah data yang berasal dari penulis atau pengguna AI. Di sinilah terletak nilai jual dan kreativitas penulis saat menggunakan perangkat generative AI. Prompt ini menjadi instruksi bagi AI untuk menghasilkan konten yang diinginkan.
  5. Bahwa seperti halnya perangkat riset yang lain, penggunaan generative AI perlu, bahkan mungkin diwajibkan, dimasukkan ke dalam Bab Metode dalam makalah penelitian atau bab lain yang relevan. Hal ini penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam proses penelitian, serta memastikan bahwa pembaca (dan penelaah) memahami metode yang digunakan.