Saat ini saya sedang mengusulkan kenaikan jabatan dari Lektor ke Lektor Kepala. Beberapa waktu lalu saya menerima informasi bahwa dokumen usulan saya memiliki kekurangan makalah yang dimuat dalam jurnal nasional terakreditasi.
Kebetulan saya bersama beberapa rekan pernah diminta melakukan telaah akademik mengenai perda pengelolaan air (khususnya air tanah), kemudian jadilah makalah berikut ini (lihat citation info di bawah).
Paper sedang dalam proses peer-review pada Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora dan kami unggah sebagai Preprint di Zenodo (tautan ada di bawah).
Kami memberi judul “double burden” karena memang regulasi yang mengatur pengelolaan air (dan air tanah) terganggu oleh dua hal:
- Pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Mahkamah Institusi
- Perubahan kewenangan pemerintah daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014.
Belum sempat UU yang baru terbit, ada UU berikutnya yang menarik kembali kewenangan pengelolaan air dari kabupaten/kota ke provinsi (lihat gambar di bawah ini).
Baca juga: Quo vadis pengelolaan air tanah yang diterbitkan oleh Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI).
Makalah kami telah terbit dalam dua format:
Cite as preprint version:
Irawan, Dasapta Erwin, Darul, Achmad, Sumadi, Hendy, Argo, Teti Armiati, & Nurhayati, Yunie. (2017). BEBAN GANDA (DOUBLE BURDEN) PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN/KOTA PASCA PEMBATALAN UU NO 7/2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR: ILUSTRASI DARI KOTA BANDUNG. Zenodo. http://doi.org/10.5281/zenodo.345418.
Cite as published version:
Irawan, Dasapta Erwin, Darul, Achmad, Sumadi, Hendy, Argo, Teti Armiati, & Nurhayati, Yunie. (2017). BEBAN GANDA (DOUBLE BURDEN) PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN/KOTA PASCA PEMBATALAN UU NO 7/2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR: ILUSTRASI DARI KOTA BANDUNG. Zenodo. http://dx.doi.org/10.23887/jish-undiksha.v6i1.9720.