Sydney trip 2016: some reality checks from an academia

Author:

Reality check no 1: Sekolah di LN bukanlah segalanya

Saya pernah bertemu, berdialog secara langsung, mendengar pengalaman rekan saya atau cerita dari istri saya, tentang banyaknya alumni pasca sarjana LN baik S2 atau S3, bahkan yang masih mahasiswa dan belum lulus, yang over-confident dengan statusnya. Mereka merasa sebagai kaum pilihan, yang juga patut mendapatkan perlakuan beda ketika pulang nanti, beberapa malah tidak ingin pulang.

Buat anak-anak ini, saya sebut anak-anak, karena mereka lebih muda dari adik saya yang paling kecil, saya pun sudah tua (masuk 40 tahun), dan tingkah mereka memang kekanak-kanakan:
  • Dik bisa sekolah s2/s3 di LN itu memang luar biasa, tapi tidak seheboh itu untuk bisa disombong-sombongkan. Attitude (perilaku) justru yg no 1.
  • Ya anda memang brilian, pastinya pintar. Setidaknya anda sedang brilian atau pintar persis di hari anda ujian seleksi. Tidak lebih. Lantas apa yang mau anda sombongkan. Biarlah orang lain yang menilai anda brilian, pastinya setelah melihat karya anda.
  • Menurut anda, kalau anda saat ini bersaing dengan sesama alumni LN lain yang sama-sama brilian tapi punya perilaku dan budi pekerti yang lebih baik, kira-kira siapa yang akan dipilih oleh para pemberi kerja?
So stop being an educated fools.

Reality check no 2: manfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dari orang lain

 Ada dua orang peneliti yang saya temui di Sydney, satu ahli ekologi/biologi dari UNSW, dan satu lagi ahli geografi dari University of Sydney. Keduanya kurang lebih seusia dengan saya, sudah profesor, tentunya dengan track record yang lebih panjang. Output risetnya seperti biasa ada laporan, publikasi di jurnal ilmiah, abstrak atau poster di berbagai pertemuan ilmiah. Biasa. Yang tidak biasa adalah aktivitasnya di masyarakat. Dua orang ini menulis buku untuk anak-anak sesuai dengan bidang ilmu mereka, membina masyarat melalui komunitasnya. Plus, masih membalas dengan rendah hati saat pertama kali saya sapa (kata anak sekarang “mention”) di media sosial Twitter.
Saya tanya, “bagaimana anda bisa mengerjakan berbagai hal ini?”
And they said, “I just got lucky”. 🙂 Surrounded by a bunch of nice people”. “We’ve got the very same 24 hours with so much to learn, gladly you can always find someone to learn something from”, tambahnya.
 
Bandingkan dengan reality check no 1 di atasnya. :).
Sebelum lanjut ke RC no 3, saya perlu mengucapkan terimakasih terlebih dahulu kepada kawan-kawan saya di berbagai benua. Artikel ini telah dibaca oleh kurang lebih 115 pengunjung. Gambar di bawah ini peta lokasi kawan-kawan saya itu.
So start learning from everyone, everywhere, at any time.

Reality check no 3: fasilitas (termasuk uang) bukanlah segalanya

Banyak peneliti di dalam negeri mengeluh masalah fasilitas dan dana. Harus diakui memang itu juga saya rasakan, tapi setidaknya saya membatasi diri untuk mengeluh. Saat saya tanyakan mengenai hal itu kepada dua kawan saya ini. Jawaban mereka sungguh tidak terduga.
“Di sini juga kami tidak berkelebihan dana riset dan fasilitas”, ujarnya. Mereka menambahkan, “untuk bidang-bidang tertentu memang harus diakui dana mereka berlebih, tapi untuk bidang-bidang seperti yang kami tekuni, kami harus berhemat dan menentukan prioritas dengan cermat”.
Dari kawan saya yang lain, kebetulan ia lulusan Teknik Kimia ITB yang kemudian lulus dari sebuah universitas di Belanda, dan saat ini lanjut S3 di bidang yang sama di UNSW, saya menangkap bahwa memang terjadi ketimpangan pendanaan. Sama kan dengan yang terjadi di Indonesia. Khusus untuk bidang kawan saya di Teknik Kimia ini, ia sampai harus meluangkan waktu khusus ke Canberra, karena alat yang diperlukan hanya ada satu di Australia, dan itu hanya ada di ibukota negara.
Yang menarik adalah fakta bahwa mereka ini terus berkarya sebisanya memanfaatkan fasilitas dan dana yang ada. Tanpa banyak mengeluh.
So stop whining about everything.

Reality check no 4: pintar bukanlah segalanya

Pesan berikutnya disampaikan oleh beberapa kawan yang sedang S3 di sini. Mereka mendapati banyak rekan-rekanya, baik dari Indonesia atau dari negara lain, yang sampai harus cuti kuliah atau yang terburuk adalah mengundurkan diri dari studinya.
Kenapa?
Stress.
Wah pasti anda bertanya-tanya, “kok bisa, bukankah semua fasilitas dan dana telah ada”.
Itulah fakta yang terjadi. Studi pasca sarjana bukanlah semata butuh kecerdasan. Semangat yang tangguh serta daya tahan psikologi yang prima adalah beberapa prasyarat utamanya.
“Jadi mahasiswa S3 di sini mas, dan pastinya di negara-negara lain, harus tahan banting dan tidak boleh pundungan (mudah ngambek)”, ujar salah seorang dari mereka.
Benturan dengan supervisor adalah salah satu penyebab paling sering.
“Supervisor itu kan juga manusia. Kadang mereka juga bisa mengambil keputusan yang salah, atau mempermasalahkan hal-hal yang menurut kita kecil”, itu yang saya dengar dari mereka.
Kalau dimarahi supervisor saja sudah “mengkeret” wah jangan harap bisa lanjut studinya. Oya, “mengkeret” ekivalen dengan “mengkerut” :).
So be a bad-ass without being a hard headed fools.

Reality check no 5: kerumitan riset bukanlah yang dicari

Maksud saya begini, kalau anda berpikir bahwa riset yang original adalah yang sangat rumit, maka anda salah. Masih banyak hal-hal sederhana di muka bumi ini yang perlu dipecahkan. Bahkan kalau memang anda akan memecahkan masalah yang sangat rumit, maka munculkan solusi yang sederhana, yang mudah dipahami orang lain.
Ada beberapa orang yang merasa bidang ilmunya adalah yang paling rumit, paling sulit, sehingga jadi yang paling keren diantara rekan-rekannya. Dear sir believe me, “complexity is only in the state of mind”. Buat orang ekonomi, mungkin bidang ilmu kebumian menurutnya paling rumit. Di sisi lain, para ahli kebumian merasa apa yang dikerjakannya adalah yang paling sederhana di dunia ini. Justru mereka beranggapan ilmu yang menggabungkan berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, itu lah yang lebih rumit.
So stop bragging about what major you are in, and what university you go to.

screen-shot-2016-09-24-at-7-46-17-pm