Masih tentang #Permenristekdikti2017
Banyak yg pesimis, tidak sedikit yang optimis.
Menurut saya, kita lebih banyak menghindar daripada berusaha. Berikut sedikit analoginya, seandainya hiruk pikuk #Permenristekdikti2017 diilustrasikan sebagai percakapan antara ayah dan anak.
Banyak juga yang menghubungkan aturan itu dengan perbaikan di sektor hulu, misal penambahan dana riset dan infrastrukturnya.
Saya bukan staf dikti dan “buzzer” Dikti ya :). Tapi coba pikirkan, bagaimana kalau sebenarnya Dikti (ibaratkan sebagai seorang ayah), merasa sudah melakukan banyak hal ini itu yang kemudian membuat mereka berpikir sudah saatnya untuk meminta bukti pada kita (anaknya), apakah bisa nilainya di rapot bisa naik.
Saya mungkin baru satu generasi bekerja sebagai dosen, tapi coba saya tanya kepada ibu dan bapak yang lebih senior, “apakah saat ini dengan era internet masuk kampus, penambahan alat labotatorium, pembangunan kampus dan gedung baru, bahkan via pinjaman luar negeri, perbaikan ini itu dll dll terasa bahwa ada perbaikan dari Dikti?
Kalau jawabnya, “iya”, maka mestinya boleh dong Sang Ayah minta sesuatu.
Respon kita sebagai seorang anak, apakah minta fasilitas lebih banyak, misal “Yah terimakasih sudah memberi banyak fasilitas, tapi tolong saya minta satu lagi. Tolong belikan mobil, supaya saya tidak terlambat kuliah?”
Respon si ayah mungkin, “lho kenapa dengan motormu bukankah dulu kamu minta motor karena takut terlambat?” Sambil Si Ayah berpikir, dulu membelikan motor, cicilannya masih belum lunas.
Jawabnya, “betul yah tapi sekarang ada jalan tol yang membuat perjalanan lebih cepat lagi, tapi motor tidak boleh lewat, harus mobil”.
Ayah: “Duh maaf nak, ayah belum ada uangnya. Tapi nanti ayah upayakan. Buktikan dulu nilainya semester ini yang bagus ya”.
Anak: “Tidak bisa Yah, saya harus punya mobil atau jangan minta nilai yang bagus”
Ayah: “Nak, maaf ayah bukan mau mengancam, tapi motormu itu cicilannya belum selesai. Bapak sudah kerja setengah mati ini. Tolonglah buktikan dulu prestasimu”.
Anak: ” Yah kalau tidak saya lakukan terus kenapa?”
Ayah: “Maaf nak, ayah harus ambil kembali motormu untuk dikembalikan ke toko, supaya beban cicilan bulanan ayah jadi hilang”.
Terus Sang Anak harus bilang apa? Apakah mau ngotot menunggu mobil sebelum ia meningkatkan nilainya atau dia harus bangun lebih pagi dan men-tune-up motornya agar bisa lebih kencang di jalan lurus?” (Ini filosofi pembalap, saya dulu juga maaf pernah beberapa tahun ikut balap haha).
Atau jalan paling murah buat Si Anak, misalnya bangun lebih pagi dan membawa bekal sarapan dari rumah.
Dalam hati Si Ayah dengan sedih berpikir dalam hati, “kenapa anda tidak cerdas nak. Kenapa tidak ikut mobil kawanmu dulu, sambil belajar nyupir dan tahu berapa bayar tol, bensin dan biaya perawatannya”.
Nah kembali ke topik di atas. Bagaimana kalau sebenarnya Dikti masih mengira bahwa mereka sudah memberi fasilitas tapi merasa belum melihat prestasi?
Intinya apa.
Seringnya respon dari kita (termasuk saya) saat diminta output, adalah balik mempertanyakan proses yang tidak lengkap. Padahal saat menentukan output banyak hal yang tidak diatur. Artinya kita masih bisa memodifikasi output agar tujuan tercapai tapi tidak melanggar hukum dan kaidah akademik.
Ibaratnya kita selalu menganggap kalau ada suatu persyaratan, seolah itu menjadi penghalang (road block).
Padahal sebenarnya bukan road block tapi ada sekumpulan sapi menghalangi jalan.
Jadi cara termurahnya kan sapinya dihalau suruh minggu. Bukan beli Range Rover.
Begitulah kesimpulan artikel saya sebelumnya. Jangan menghindar dulu, mari kita upayakan. Setelah akhir Okt nanti sudah terlihat tidak tercapai, baru kita protes sama-sama.
@dasaptaerwin (Lektor yang menunggu hasil reviewer pakar tidak keluar-keluar haha tapi tetap ceria)