Masih tentang pengecekan similaritas

Author:

Sumber: Akun Twitter Ryan Regier

Artikel ini ditulis karena maraknya kekhawatiran atau ketakutan yang berlebihan kepada proses pemeriksaan similaritas. Ini akan bertentangan dengan semangat Kemenristekdikti yang ingin lebih memasyarakatkan temuan-temuan sains dan teknologi kepada masyarakat, misalnya melalui Puspiptek Ristekdikti.

Tiga versi manuskrip

Beberapa jenis versi manuskrip dalam proses penerbitan makalah:

  • No (1) dokumen versi preprint (pra peer review),
  • No (2) naskah yang diterima (accepted manuscript/postprint), dan
  • No (3) naskah versi penerbit (publisher’s version).

Yang no 1 dan 2 HAKInya sepenuhnya ada di Penulis. Yang no 3 HAKInya sebagian ada di Penerbit. Inilah penyebab media sosial ResearchGate digugat beberapa penerbit beberapa waktu lalu.

Yang no 1 dan 2 masih bebas untuk diunggah di manapun (mayoritas penerbit membolehkannya). Tapi yang no 3 tidak bebas.

Masalahnya: saat proses no 1 menuju no 2, atau no 2 menuju no 3, terjadi pengecekan similaritas (bukan pengecekan plagiasi). Kalau no 1 diunggah daring, maka hasil pengecekan similaritas no 2 pasti tinggi.

Pertanyaan: apakah similaritas tinggi = terjadi plagiasi atau swa-plagiasi?

Mestinya tidak.

Berikut ini adalah beberapa hal “aneh” yang dilakukan aplikasi pendeteksi similaritas dan apa solusinya

  1. mendeteksi perangkat penulisan daring seperti Authorea, Overleaf dan Google Docs yg sdh dibuka tautannya. Solusi: Jadi selalu gunakan perangkat lunak luring (offline).
  2. mendeteksi blog tentang riset yang Anda lakukan. Solusi: Jadi rahasiakan semua kegiatan anda, sampai artikel anda terbit. Biarlah yang tahu dan mengerti riset Anda, hanyalah kawan-kawan sesama peneliti. Masyarakat belakangan saja, kalau ada waktu.
  3. mendeteksi tesis anda sendiri yang telah diunggah daring ke repositori. Solusinya: Jadi pastikan universitas anda tidak mengunggahnya. Jangan pula menyerahkan dokumen digital apapun ke universitas saat anda lulus. Tahan semua dan simpan offline dalam laptop atau PC anda dalam laci terkunci, di dalam kamar, di dalam rumah. Jangan dibawa kantor atau kampus.
  4. media sosial seperti twitter juga muncul dalam pencarian google. Jadi ada potensi ini akan muncul juga di perangkat pendeteksi kemiripan (bukan plagiasi). Solusi: Jadi jangan pernah posting info-info tentang riset anda, dan kegiatan anda di lapangan atau di laboratorium.  Kalau anda bekerjasama dengan mahasiswa, pantau aktivitas medsos mereka, larang jangan sampai menyebarkan foto selfie mereka di lokasi riset atau di lab dengan latar belakang bahan eksperimen. Termasuk mahasiswa Anda, larang mereka untuk selfie di lab atau lokasi penelitian. Mereka juga perlu dilarang menjelaskan apa yang sedang mereka kerjakan.
  5. kabarnya kemiripan akan meningkat saat diperiksa
    lebih dari sekali. Solusi: Jadi pastikan para anggota tim penulis untuk tidak melakukan pemeriksaan menggunakan aplikasi tersebut  sebelum anda.
  6. Pernah dengar thesis by publication. Banyak Perguruan Tinggi di luar negeri (LN) yang mengadopsi cara ini. Tesis yang dikumpulkan ke perguruan tinggi hampir dapat dipastikan memiliki kemiripan lebih dari 80% dengan artikel di jurnal. Jadi pastikan anda tidak memilih tesis ini.
  7. aplikasi ini juga akan mendeteksi kemiripan dengan preprint yang sebenarnya adalah dokumen yang sama dengan yang Anda kirim ke jurnal. Solusi: Jadi kembali lagi, rahasiakan penelitian anda sampai terbit sebagai artikel di jurnal/konferensi.

Nah kalau dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi, ini sains atau perang-perangan dokumen intelijen (menurut Sandy Herho, rekan kami)?

Solusi lainnya

Artikel ini telah saya bagikan di media sosial dan menuai beberapa komentar. Salah satu yang bagus datang dari Pak Ismail Wekke (GS, ORCID). Beliau mengusulkan bahwa batas tegas antara terpublikasi atau tidak bisa menggunakan kode ISBN (FAQ, Benefit) atau ISSN (FAQ). Artikel ini juga menjelaskan ISBN dan ISSN. Kalau satu artikel telah masuk ke dalam dokumen terbitan yang ber-e/p issn atau ber-isbn, maka tidak dapat lagi digunakan ulang dalam karya lain, kecuali dengan cara menyitirnya.

Kasus lain: Kalau anda menuliskan artikel yang telah terbit dalam satu bahasa ke bahasa lain, apakah ini duplikasi?

Artikel ini memberikan beberapa argumentasi, bahwa kondisi di atas tidak dapat dikategorikan sebagai duplikasi. Sayangnya artikel tersebut paywalled, saya sedang menghubungi penulisnya (dari RRC) untuk meminta artikel lengkapnya, selain juga untuk berkenalan.

Tentunya hal ini tidak berlaku untuk usulan kenaikan jabatan. Maksud saya, kalaupun ada dua versi artikel (dalam dua bahasa), yang diajukan salah satu saja. Tapi sitasinya bisa digabung. Ah sitasi lagi …

🙂

@dasaptaerwin (CC-BY)

Hasil pertemuan dengan Dr. Alvin Lee (Deakin University) dan Jack Brazel (Turnitin/iThenticate) (LPPM ITB, 03-07-2018)

Masih tentang pengecekan similaritas. Pagi ini LPPM ITB mengundang dua pembicara: Dr. Alvin Lee dosen/peneliti dari Deakin University dan Jack Brazel (representatif Turnitin kawasan Asia). Keduanya sepakat:

  1. dalam hal ada duplikasi dengan dokumen-dokumen seperti dalam gambar di bawah ini, maka tidak dapat secara langsung dikategorikan sebagai plagiasi, bahkan bisa jadi bukan sama sekali. Jadi jangan takut untuk mengunggah artikel versi preprint (pra-peer-review) secara daring,
  2. dalam kondisi ada “trail of work” atau jejak riwayat riset yang dideklarasikan di awal (dalam surat pengantar saat pengiriman makalah) antara dokumen artikel dengan jenis publikasi yang lain seperti blog, maka tidak juga secara langsung didefinisikan sebagai plagiasi. Jadi jangan takut untuk membuat serial blog post yang secara informal menjelaskan riset anda secara lebih “manusiawi”,
  3. dalam kondisi pengecekan lebih dari sekali, misal dua penulis memeriksa dokumen yang sama pada waktu yang berbeda, dapat mengakibatkan hasil pengecekan meningkat prosentasenya. Untuk itu, prosedur “exclude sources” dapat dilakukan dan dibenarkan,
  4. mereka juga menyadari bahwa tautan terbuka (open link) dokumen-dokumen via piranti lunak penulisan daring (seperti: Google Docs, Authorea, Overleaf), dapat terdeteksi oleh mesin mencari aplikasi pendeteksi similaritas. Prosedur “exclude sources” juga dapat dilakukan bila ditemui masalah ini,
  5. bahwa sumber data dari aplikasi meliputi: (1) data CrossRef (doi artikel) artinya memeriksa dokumen dalam Bahasa Indonesia sangat mungkin dilakukan, (2) repositori, terdiri dari: (2a) repositori internal aplikasi (saat kita memeriksa dokumen, maka dokumen akan diunggah ke sini), (2b) repositori institusi yang didaftarkan ke pengelola aplikasi (misal repositori kampus, atau bahkan INArxiv), dan (3) “online crawling” dari aplikasi sendiri.
  6. pemangku-kepentingan (penulis, dosen/peneliti, editor jurnal, pemeriksa dokumen kenaikan pangkat/jabatan) mempelajari filosofi kerja piranti lunak sejenis, bahwa fungsinya adalah untuk mendeteksi similaritas, bukan plagiarisme. Bahwa tuduhan plagiarisme sangat ofensif jadi perlu hati-hati dalam menggunakannya,
  7. bahwa mereka (narasumber) sadar perlu banyak edukasi mengenai alur kerja piranti lunak, bagaimana mengoperasikannya, dan bagaimana menginterpretasi hasil pengecekan,

Jadi buat yang berkepentingan dalam hal ini, mulailah belajar, banyak tutorial tersedia daring (berbentuk teks atau video). Jangan hanya bersandar pada angka hasil deteksi. Saya juga telah membuat diagram ini.

Materi dari Jack Brazel